Islamsantun.org – Seperti saya katakan sebelumnya, akademisi sering kali membuat masalah yang rumit jadi tambah rumit, atau sebaliknya mudah jadi rumit seperti mencari vaksinasi ketiga hari-hari ini. Tetapi begitulah hidup. Jika kita terbiasa menghadapi yang rumit, maka urusan lain jadi tampak mudah. Saya kira ini tujuan seluruh kampus di dunia ini menyelenggarakan program magister atau doktoral.
Saya termehek-mehek membaca sejumlah bahan bacaan wajib tentang Islam dan Demokrasi di era pertengahan 90-an. Dari tiga tulisan yang saya baca, kesimpulannya sepertinya sederhana: hubungan Islam dan demokrasi nyatanya rumit. Agar terlihat lebih ilmiah, bisa saja kita menyebutnya dengan “kompatibilitas Islam dan demokrasi”. Bukankah lebih indah didengar?
Saya menikmati “keributan” yang dibuat Mohamed Elhachmi Hamdi untuk Bernard Lewis dalam “Islam and Liberal Democracy: the Limits of the Western Model”. Di tulisan yang terbit pada 1996 itu, doktor asal Universitas London kelahiran Tunisia sebetulnya hanya ingin mengatakan ini: konsep dan model demokrasi Barat sangat sulit diterima secara universal, termasuk di negara-negara
Barat. Dan gagasan demokrasi Lewis berjangkar dari paradigma itu.
Hamdi lalu ngomel-ngomel. Kira-kira begini ia bicara. “Demokrasi Barat saja tak bisa mencegah kuasa dalam politik AS yang lebih berpengaruh melebihi orang-orang yang memilih siapa yang akan memerintah. Demokrasi gagal mencegah rasisme terhadap kulit hitam atau anti-Semitisme. Jika begitu ceritanya, bagaimana bisa demokrasi Barat diyakini dapat menyelesaikan masalah di tempat lain.”
Jika Hamdi seorang penceramah dari Indonesia, mungkin saja ia akan mengutip ayat Al-Quran yang sering kita dengar itu “amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. “Anda ngomong demokrasi itu nilai universal, tapi lihat kelakuan Prancis yang berperilaku demokrasi di Prancis, tapi tidak di Aljazair”.
Hamdi juga tak setuju dengan pandangan Lewis yang bilang “mungkin umat Islam, setelah terjangkit penyakit Kristen, akan mempertimbangkan obat Kristen, yaitu pemisahan agama dan negara”. Pernyataan ini ditulis Lewis dalam “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview” yang diterbitkan Journal of Democracy pada 1996. Lewis profesor sejarah pada Universitas London, kampus yang sama dengan Hamdi.
Di akhir tulisan, emosinya mungkin sudah mereda. Sebab nadanya lebih tenang seperti sedang menasihati anak-anak agar rajin-rajin ibadah. “Kita umat Islam tidak hanya bisa, tetapi harus belajar dari Barat jika kita ingin mengatasi banyak masalah yang terjadi di dunia Islam,” katanya. Tapi untuk bisa ke sana, kata Hamdi, kita membutuhkan dialog antara orang-orang di mana identitas dan kepentingan masing-masing diberi penghormatan yang sama.
Saya tidak mengerti mengapa Hamdi tidak menyinggung John Louis Esposito, akademisi Amerika-Italia dan profesor Professor bidang Agama of Religion, Hubungan Internasional, dan Kajian Islam di Universitas Georgetown Amerika Serikat. Mungkin karena ia sama-sama sepandangan dengan pikiran Hamdi.
Dalam “Islam and Democracy” (1996). Esposito juga mengatakan kebanyakan orang yang mengadvokasi demokratisasi masih kurang mempertimbangkan demokrasi sebagai sebuah konsep yang diperebutkan. Hasilnya, mereka berpandangan orang-orang yang berbeda pandangan dalam menginterpretasikan demokrasi berbahaya dan menyesatkan. Padahal, katanya, penting sekali untuk memahami demokrasi dalam gerakan keislaman saat ini.
Esposito memang tampak “bersimpati” dengan gerakan kebangkitan dunia Islam di era itu. Saya menyukai gagasannya bahwa fundamentalisme, misalnya, dianggap bukan tidak harus selalu dilihat sebagai “kontra-bukti terhadap globalisasi lawan dari demokrasi, tetapi ide-ide partikular yang dikontekstualisasi secara kuat oleh fenomena meningkatnya globalisasi”. Dalam bagian lain ia menyebut ini sebagai bentuk partisipasi dalam demokratisasi. Rumit bukan? Sederhananya, fundamentalisme adalah jenis gerakan yang lumrah sebagai konsekuensi dari globalisasi.
Apa yang hendak saya katakan dalam belantara kerumitan tadi adalah bahwa hubungan Islam dan demokrasi tidak dapat dilihat dalam warna senada dan hubungan itu kini masih akan menghadapi dinamikanya sendiri. Kini orang mungkin tidak banyak meributkan lagi soal kompatibilitas Islam dan demokrasi, tapi justru bagaimana menghidupkan demokrasi dalam Islam dan mempercakapkannya di internal mereka dengan latar dan pandangan yang beragam.
Kalimulya, 11 Oktober 2022
Alamsyah M Djafar