Islamsantun.org. Berbeda dengan pemikiran Ibnu Masarrah, sebagaimana disebutkan dalam catatan terakhir yang diliris beberapa waktu lalu. Kajian filsafat Islam di wilayah Barat tak berhenti di Ibnu Masarrah, akan tetapi masih dan berlanjut serta berkembang hingga mengalami puncaknya.
Nama Abu Muhammad Ali ibn Hazm (w.454/1063) atau yang lebih dikenal Ibnu Hazm al-Andalusi (selanjutnya disebut Ibnu Hazm al-Andalusi) menjadi pembawa obor pencerahan dan pembaruan serta merupakan salah satu tokoh awal dari sekian banyak intelektual Islam penting dan luar biasa dari darat barat yang berkembang di Cordova, Spanyol di sekitar abad V/IX M.
Sejak kecil kehidupan Ibnu Hazm ini terbilang enak, karena diasuh dan dididik oleh para baby suster keluarga dan pembantu istana. Keluarganya berasal dari keluargningrat. ayahnya memiliki posisi dan kedudukan penting sebagai wazir sejak masa khalifah al-Mansur Abi Amir.
Sebabnya, dapat dikatakan kalau Ibnu Hazm al-Andalusia hidup di masa dan zaman yang tepat. Ia hidup dimana mazhab-mazhab fikih sudah mapan, mazhab-mazhab dalam teologi Islam juga sudah berkembang pesat, bahkan filsafat sudah menjadi tren di dunia Islam di wilayah Timur.
Di kalangan mahasiswa jurusan filsafat Islam di perguruan tinggi di Indonesia nama dan pemikiran Ibnu Hazm al-Andalusi sudah taka sing lagi, sering sekali terdengar, bahkan menjadi bahan diskusi diruang-ruang kelas. Karya-karya asli intelektual Indonesia maupun karya terjemahan hampir dapat dikatakan banyak yang membahas secara agak detail pemikiran Ibnu Hazm al-Andalusia.
Ibnu Hazm al-Andalusi dikenal sebagai seorang hakim, moralis, ahli sejarah, filosof, sastrawan, dan bahkan dikenal sebagai seorang teolog. Lebih dari ini, Ibnu Hazm juga dikenal sebagai seorang penafsir dalam bidang yuridisprodensi atau ahli fiqih yang lebih bercorak zahiri. Karenanya ia dikenal sebagai tokoh yang memiliki permikiran sangat tekstualis, ketika berbicara tentang hukum Islam.
dalam bidang teologi, Ibnu Hazm dikenal sebagai pengkritik tajam terhadap teologi Abu Hasan al-Asy’ari yang berkembang di andalusia saat itu. Karyanya dalam bidang sastra sering kali menjadi sasaran hantam dari karya-karya yang berkembang, maka tak jarang lawannya acapkali menggelegak ciut. Tak heran, jika para pengkaji pemikirannya menyebut Ibnu Hazm al-Andalusi sebagai seorang encyclopedist sejati.
Sebagai seorang intelektual, karya-karya Ibnu Hazm al-Andalusi lebih banyak berhubungan dengan pelbagai cabang kajian keislaman, termasuk di dalamnya perbandingan agama dan filsafat. Misalnya, karyanya yang berjudul, Kitab al-Fisal fi’l-Milal wa’il-Ahwa wa’l-nihal oleh kalangan intelektual belakangan dianggap menjadi karya paling awal dalam kajian perbandingan agama. karya ini di kemudian hari diikuti oleh Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973/1048 M) dengan karya yang berjudul Tahqiq ma lil-Hind.
Selain itu, antara karya Ibnu Hazm dalam berbagai bidang seperti, an-Nubad fi al-Fiqh az-Zahiri (fikih), ar-Radd ‘Ala ibn an-Nagrila al-Yahudi (perbandingan agama dan teologi), Jawami’ as-Sirah (sejarah), ar-Radd ‘Ala al-Kindi al-Failasuf (filsafat dan ilmu), dan Tauq al-Hammah (etika dan sastra).
Karya yang disebut terakhir ini terbilang menarik dan uniknya. Karena karyanya ini memiliki dua sayap pemikiran secara bersamaan. Di satu sisi berbicara tentang autobiografi Ibnu Hazm itu sendiri. Namun, di sisi yang lain diposisikan sebagai kitab tentang cinta sarat akan pengalaman pribadinya. Terlepas itu, karyanya ini tetap dikaji, penafsirannya masih tetap aktual untuk dikaji sampai hari ini.
Konon saking menarik dan unik karya ini diterjemahkan berulang kali ke dalam bahasa Latin Eropa, dimana kemudian dianggap sebagai perwakilan dari penjelasan islam tentang cinta Platonik. Gaya bahasa yang digunakan sangat indah, sepertinya ibnu hazm mengikuti gaya platonis muslim awal seperti, filosof Persia; Muhammad ibn Da’ud al-Isfahani (w.297/909) yang merupakan pengemar dari ajaran cinta plato dalam Phaedrus.
Namun, gagasan yang tertuang dalam Tauq al-Hammah ini tentang cinta dan kasih sayang. Ibnu Hazm al-Andalusi dalam Karya ini mengkonsepsikan dan dideskripsikan cinta dan kasih sayang dengan penuh emosi sampai pada taraf sophistic dan filosofis. Cinta dan kasih sayang dalam pemikiran Ibnu Hazm diposisikan sebagai seorang manusia biasa dan seorang pemikir.
Ini salah satu pengakuan Ibnu Hazm al-Andalusi tentang cintanya, “ketika masih remaja, aku jatuh cinta kepada seorang gadis berambut pirang. Sejak saat itu, aku tak mengagumi gadis berambut hitam, meski pemilikinya berada di matahari atau sangat molek. Sejak saat itu, aku tak lagi mengagumi siapapu lagi kecuali gadis berambut pirang”
Kata-kata Ibnu Hazm al-Andalusi ini penuh keindahan ruh dapat menarik pada suatu obyek yang indah. sebagai akibatnya eksistensi obyek yang indah dikorespondensikan pada alam ruh dimana cinta adalah diciptakan.
Dalam pengakuan lain Ibnu Hazm al-Andalusi mendeskripsikan begini, “saya ingat banar ketika saya selalu pergi ke ruangan tempat ia tinggal. Rasanya saya selalu ingin menuju pintu itu agar bisa dekat dengannya. Begitu ia melihat saya di dekat pintu, dengan gerakan lemah gemulai ia pergi ke tempat lain. Saya pun menguntitnya sampai ke pintu rumah tempat ia tinggal”
Sekilas ungkapan cinta di atas agak terkesan fulgar dan erotis, jika mendengar kata-kata cinta. Dan, juga terkesan milik anak muda yang sedang mabuk asmara, bukan miliki seorang yang ahli dalam studi keislaman apalagi seorang yang serius dalam mengkaji filsafat.
Tentu, kesan ini tak pernah lepas dari commen sense yang digunakan Ibnu Hazm al-Andalusi terbilang dengan bahasa terbuka. Namun, dalam konteks ini, sepertinya Ibnu Hazm al-Andalusi lebih mengedepankan suatu pemahaman bahwa konsep cinta bukan hanya persoalan psikologis semata, melainkan juga persoalan religiusitas dan sosial.
Konsep religiusitas cinta Ibnu Hazm al-Andalusi ini pada dasarnya harus dipahami sebagai pada visi dan misi serta orientasi dimana cinta adalah karunia. Cinta itu bersifat suci, yang harus dimaknai sebagai wujud dan sikap dari kecenderungan individu dalam memaknai cinta.
Dengan demikian, Ibnu Hazm al-Andalusi membebaskan dirinya untuk dapat memasuki sebuah ide-ide baru diluar kebiasaan orang. tentu ini agak berbeda dengan konsepsi cinta dalam pemikiran sufi Rabi’ah al-Adawiyah dan imam al-Ghazali yang memposisikan diri sebagai seorang sufi.
“Mendobrak” demikian kata yang pantas disematkan untuk Ibnu Hazm al-Andalusi menjadi langkah awal yang bisa member arti bagi gagasan Ibnu Hazm al-Andalusi tentang cinta.