Memang, jatuh cinta tak perlu belajar

Tapi kita harus belajar bagaimana mencintai dengan benar

#LogikaCinta

 

Dalam sulūk, tazkiyah al-nafs, zuhd, atau yang lebih dikenal dengan taṣawuf, ada pembahasan wajib yang tak boleh terlewatkan, yaitu cinta (maḥabbah).  Dalam elaborasinya tentang kaidah cinta, Ibn Taimiyyah membahas faktor utama dalam taṣawuf, yaitu ‘ibādah  yang sering dipadankan dengan cinta (maḥabbah) dan ketaatan (ṭā‘ah), yang erat kaitannya dengan hukum, perintah, dan Ketuhanan.[1]

Ibadah adalah inti dari visi Ibn Taimiyyah.[2] Ibadah adalah kekuatan pendorong di balik upayanya untuk mengartikulasikan dan mempromosikan Islam yang dia yakini sebagai agama raḥmatan li al-‘Ālamīn. Ibn Taimiyyah menulis, “Secara general, agama memiliki dua prinsip: bahwa kita hanya menyembah Tuhan yang Esa, dan kita menyembahNya hanya melalui apa yang telah Dia tetapkan. Kami tidak menyembahNya dengan cara yang bid‘ah.[3]

Menurutnya, kedua prinsip ini berlandaskan pada dua kalimat syahādah lā Ilāha illa Allāh wa Muḥammad Rasūl Allāh (tidak ada Tuhan selain Allāh, dan Muḥammad adalah Utusan Allāh.” “tiada Tuhan selain Allāh” memiliki arti bahwa hanya Allāh yang harus disembah, dan “Muḥammad adalah Utusan Allāh” memiliki arti bahwa Allāh harus disembah hanya dengan cara yang diwahyukan kepada Muḥammad. Syahādah bukan sebatas keyakinan tapi juga panggilan untuk melakukan tindakan.[4]

Interpretasi etis atas syahādah ini bertentangan dengan tafsir sebagian Ṣūfī dan mutakallim saat itu yang cenderung bersifat metafisik-ontologis. Beberapa Ṣūfī menafsirkan “lā Ilāha illa Allāh” dengan ‘pada akhirnya tidak ada eksistensi kecuali eksistensi Allāh’. Ibn Taimiyyah menolak tafsir semacam ini karena menyangkal realitas eksistensi konkrit dari dunia yang diciptakan.

Menurutnya, para mutakallim Asyā‘irah menafsirkan bahwa “lā Ilāha illa Allāh” adalah penegasan akan keberadaan satu Tuhan, kesatuan esensi Tuhan, dan keunikan Tuhan sebagai pencipta semesta. Ibn Taimiyyah tidak menyangkal keesaan Tuhan ini, tetapi dia mengambil penafsiran etis yang khas dengan menempatkan makna utama dari syahādah dalam tindakan manusia.

“lā Ilāha illa Allāh” menandakan bahwa tidak ada yang lain selain Tuhan yang harus disembah dan dipatuhi. Hak Tuhan untuk disembah adalah yang utama, keesaan Tuhan dan yang lainnya merupakan turunan dari makna etis ini. Etika yang pertama, baru ontologi berikutnya. Penafsiran “lā Ilāha illa Allāh” sebagai penyembahan hanya kepada Tuhan ini menemukan landasan kuat dalam teologi Ṣūfī dan al-Qur’ān.[5] Dan, mengikuti Ibn Taimiyyah, tafsiran kesaksiaan pertama dari syahādah ini menjadi tafsir yang diikuti oleh Wahhābī, Salafī, dan para Muslim reformis saat ini.[6]

Interpretasi dari kesaksian kedua dalam syahādah tidak begitu banyak perbedaan. Para mutakallim Asyā‘irah dan yang lainnya juga memahami “Muhāmmad utusan Allāh” berarti bahwa Muḥammad telah membawa wahyu dengan segala konsekwensi yang harus ditaati. Namun demikian, ada perbedaan dalam memahami maksud dari mengikuti Nabi dalam praktiknya. Ibn Taimiyyah secara khusus mengkritik para Ṣūfī karena merusak makna ketaatan pada hukum Tuhan dengan faham esoterisme dan elitisme, serta mempromosikan praktik bid‘ah yang tidak memiliki landasan wahyu yang tegas (al-naṣ al-ṣarīḥ). Ibn Taimiyyah menegaskan, taṣawuf (spiritualitas Islam) adalah hak setiap muslim; awwām maupun khawwāṣ. Bukankah Islam diturunkan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh semua? Ajaran Islam bukanlah milik segelintir elit agama, bermesraan dengan Tuhan adalah hak yang bisa diperoleh sesiapa.

Ibn Taimiyyah juga mengaitkan dua prinsip ibadahnya dengan filosofi ‘bagaimana seharusnya menjadi manusia’, dan apa maksud dari ‘menjadi hamba ciptaan Tuhan’. Bagi Ibn Taimiyyah sifat manusia itu dinamis dan memiliki tujuan. Setiap makhluk hidup memiliki kekuatan motif, spiritualitas, energi kehidupan, yang oleh Ibn Taimiyyah disebut cinta, ibadah, ketaatan, dan kehendak. Energi kehidupan ini selalu berorientasi pada suatu tujuan. Manusia tidak bisa lepas dari tujuan, dan untuk itu harus mengikuti jalan menuju tujuan. Tujuan dari penciptaan itu adalah Tuhan, dan jalan yang benar menuju Tuhan adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan.[7]

Cinta, ‘ibādah, agama, dan ketaatan adalah esensi kehidupan. Ibn Taimiyyah tidak membatasi cinta, ibadah, dan agama pada ranah pribadi. Makhluk hidup tentu mencintai dan memuja sesuatu dalam segala hal yang mereka lakukan. Pertanyaannya bukanlah apakah mereka akan menyembah, mencintai, dan taat. Tapi, apa yang akan mereka sembah dan bagaimana caranya. Bagi Ibn Taimiyyah, Tuhan adalah satu-satunya objek ibadah, dan Islam adalah metode yang tepat untuk mengekspresikannya. Inilah prinsip beragama Ibn Taimiyyah: menyembah Tuhan saja dan menyembah melalui hukum yang telah ditetapkanNya.[8]

Ibn Taimiyyah menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan makhluk hidup dengan caraNya. Menurutnya, Tuhan menciptakan jin dan manusia untuk mengabdikan seluruh energi hidup mereka kepadaNya.[9] Tuhan menciptakan manusia untuk mencintai dan menyembah Tuhan secara fiṭrī (alamiyah).[10]

Beberapa ulama menafsirkan fiṭrah sebagai pengetahuan manusia tentang Islam, berapa yang lain menafsirkan fiṭrah dengan keadaan netralitas moral saat dilahirkan. Ibn Taimiyyah memperluas makna fiṭrah ke arah yang etis, fiṭrah tidak hanya pengetahuan tentang Tuhan dan lahir ke dalam Islam. Tapi juga merupakan naluri moral yang kuat, bahkan lebih kuat dari naluri bayi untuk meminum susu ibunya. Tuhan secara alami membentuk manusia untuk mencintai dan menyembah hanya kepadaNya. Dan mereka akan melakukannya jika dibiarkan tanpa hambatan, seperti orang tua yang beragama Yahudi, Kristen, atau Zoroaster.

Manusia secara alami akan melakukan apa yang benar dan adil, serta menghindari apa yang salah dan ẓālim. Manusia secara naluriah akan mencari apa yang menguntungkan dan menyenangkan, dan menghindar dari apa yang berbahaya dan menyakitkan. Mereka akan menyembah Tuhan dengan menaati perintah dan laranganNya, mencintai apa yang Dia cintai, dan membenci apa yang Dia benci.

Ibn Taimiyyah melihat fiṭrah sebagai kecenderungan positif dari manusia. Seolah Nabi tidak diperlukan karena sudah ada fiṭrah bawaan. Dengannya manusia mampu menemukan jalannya menuju Tuhan. Ibn Taimiyyah menjelaskan kemudian, bahwa tugas para Nabi adalah untuk melengkapi dan menyempurnakan fiṭrah ini. Akal tahu bahwa Tuhan itu ada dan bahwa penyembahan hanya ditujukan kepadaNya. Selain itu, akal mengetahui yang benar dari yang salah, kesenangan dari kesedihan, dan manfaat dari maḍarāt. Seperti halnya fiṭrah, nubuwwah tidak bertentangan dengan akal tetapi datang untuk menegaskan dan melengkapinya.[11]

 

Pustaka

[1] Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Al-Rasā’il wa al-Masā’il, ed. oleh Fawwāz Muḥammad Al-‘Awaḍī, 2022, 166; Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Faṣl fī Tazkiyah al-Nafs, ed. oleh Fawwāz Muḥammad Al-‘Awaḍī (Kuwait: Maktabah al-Nahj al-Wāḍiḥ, 2018).

[2] F Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (London: George Allen & Unwin, 1958), 104.

[3] Ibn Taimiyyah, Majmū’ Fatāwā Syaikh al-Islām Aḥmad ibn Taimiyyah, 10:234.

[4] Lihat pengantar dalam terjemah Kitāb al-‘Ubūdiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah dan James Pavlin, Epistle on Worship (Risālat Al-ʿUbūdiyya) (Cambridge, UK: Islamic Texts Society, 2015).

[5] Mereka menjadikan para rabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) sebagai tuhan-tuhan selain Allah serta (Nasrani mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam. Padahal, mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan”. Q.S. al-Taubah:31

[6] Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Risālah fī al-‘Ubūdiyyah, ed. oleh Fawwāz Aḥmad Zamralī dan Fārūq Ḥasan Al-Turk (Riyāḍ: Dār Ibn Ḥazm, 2011); Ibn Taimiyyah dan Pavlin, Epistle on Worship (Risālat Al-ʿUbūdiyya); Jon Hoover, Ibn Taymiyya: Makers of The Muslim World (London: Oneworld Academic, 2020) khusunya pada bab 3 dan 4.

[7] Ibn Taimiyyah, Al-Rasā’il wa al-Masā’il, 166.

[8] Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm Ibn Taimiyyah, Al-Zuhd wa al-Warā’ wa al-‘Ibādah, ed. oleh Ḥammād Salāmah (Beirut: Dār al-Manār, t.t.).

[9] Ibn Taimiyyah melandaskan pandangannya ini pada Q.S. al-Żāriyāt:56

[10] Dia menguatkan pendapatnya ini dengan sabda Rasulullah yang terkenal: “Setiap bayi baru lahir dilahirkan dengan fiṭrah. Kemudian, orang tuanya menjadikannya seorang Yahudi, Kristen atau Zoroaster.”

[11] Lihat, Al-Barīdī, Ibn Taimiyyah Failasūf al-Fiṭrah: Naḥwa Kabsalah al-Failasūf; Felicitas Opwis, Maṣlaḥa and the Purpose of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th to 8th/14th Century (Leiden: Brill, 2010); Sophia Vasalou, Ibn Taymiyya’s Theological Ethics (New York: Oxford University Press, 2016).

Komentar