Ketika sedang berada dalam perjalanan, Jabir bin Abdullah melihat sekelompok orang sedang berkerumun. Salah seorang dari mereka terkena batu di kepalanya hingga retak. Entah kenapa. Di malam harinya, pria naas ini mimpi basah (ihtilam). Keesokan harinya, bertanya dia kepada teman-temannya apakah ada keringanan baginya untuk bertayamum. “Tidak kami dapati bagimu keringanan (rukhshah), sedangkan kamu masih mampu menggunakan air,” jawab teman-temannya sekenanya. Dengan polos, pria malang itu pun mandi yang, akibat lukanya yang teramat parah, menyebabkan kematiannya.

Sepulang dari perjalanan itu, Jabir bin Abdullah pun mengadukan kejadian tragis itu kepada Nabi Muhammad Saw. Sontak Nabi berkata, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya jika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum dan atau membalut lukanya dengan kain perban, lalu mengusap di atasnya, dan membasih anggota badannya yang lain.”

Kisah tragis di atas berasal dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitabnya, Sunan Abi Dawud, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya, Al-Dâ’ wal Dawâ’ (1978) atau juga dikenal sebagai Al-Jawâb al-Kâfi li-man sa’ala al-dawa’ al-shafi.

Kisah ini tampaknya menempati kedudukan penting dalam karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ini, mengingat pembahasannya berada bagian paling awal. Seperti ditunjukkan oleh judulnya, buku ini membahas seputar penyakit dan obatnya. Mungkin kita umumnya sudah tahu bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dikenal sebagai seorang alim yang menulis sebuah buku seputar penyembuhan atau pengobatan ala Nabi atau yang lebih dikenal sebagai al-Thibb al-Nabawi.

Namun, kitab al-Da’ wa al-Dawa’ ini agak berbeda, kendati, sama seperti kitab al-Thibb al-Nabawwi (1957), juga membahas penyembuhan. Kitab Al-Thibb al-Nabawi lebih banyak membahas tentang penyembuhan yang bersifat praktis seperti hijamah (bekam) dan ruqyah (rukyah, berupa doa-doa), berbagai bahan obat (herbal), dan sebagainya. Al-Da’ wa al-Dawa’ lebih fokus pada penyembuhan terhadap penyakit yang bersifat ruhani dan psikologis.

Baiklah kita kembali ke hadis yang kita ceritakan di atas. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa bertanya (al-su’al) adalah obat dari semua penyakit, mencakup penyakit hati, jiwa, dan badan. Hadis di atas tidak dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah secara eksplisit berkaitan dengan penyakit badan. Namun, jika kita perhatikan dengan saksama, jelas bahwa ada anggota badan yang sakit, yaitu kepala yang retak akibat terkena batu. Sakit yang diderita oleh pria malang tersebut tampak jelas menjadi parah dan berujung pada kematian gara-gara kebodohan atau ketidaktahuan diri dan teman-temannya. Jika mereka paham aturan agama (dalam hal ini boleh disebut fikih), tentu tidak akan melalukan hal yang fatal tersebut. Kebodohan teman-teman pria malang itu telah membunuhnya. Nabi Saw. mengatakan bahwa mereka telah membunuhnya.

“Bodoh adalah penyakit, dan obatnya adalah bertanya”, demikian Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyimpulkan hadis di atas. Ya, benar. Bodoh adalah penyakit! Kita harus melawan penyakit itu dengan bertanya. Bertanya kepada siapa? Hadis di atas berkaitan dengan persoalan agama. Jadi, jika demikian, bertanya kepada ahli agama, atau biasa disebut ulama, adalah obat paling manjur. Allah berfirman: “… Bertanyalah kalian semua ahli zikir, jika kalian tidak mengetahui” (Qs. Al-Nahl [16]: 43). Yang dimaksud ahli zikir di sini, menurut Tafsir al-Jalalain, adalah ulama yang mengetahui Injil dan Taurat. Sedangkan Ibnu Katsir (2019: 263-264) menyebutkan beberapa tafsir dari ahli zikir, di antara adalah ahl-ahli kitab terdahulu, dan ahli kitab (al-Quran).

Intinya, dalam masalah agama, kita harus bertanya kepada ahli agama. Orang disebut ahli agama, apa pun sebutannya, tentu memiliki kualifikasi yang spesifik yang berkaitan dengan agama. Kualifikasinya bisa kita lihat dengan mudah pertama-tama dari pendidikannya, apakah dia pernah belajar di madrasah, pesantren, dan pusat-pusat pendidikan Islam lainnya. Jika kita bertanya soal agama kepada ahli bangunan, tentu salah alamat, meskipun tidak mustahil tukang bangunan memiliki keahlian agama juga.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa tidak semua yang berbicara agama adalah agama. Ini penting diperhatikan. Pasalnya, di zaman kebebasan informasi seperti sekarang ini, siapa pun bisa bicara soal agama, bahkan dengan retorika yang memukau. Mereka bisa kita temukan di media sosial ataupun media konvensional seperti televisi. Kultur selebritas yang diciptakan oleh media masa juga kadang mengaburkan kejelian kita untuk menilai apakah seseorang ahli agama atau bukan. Orang terkenal buah sorotan kamera sering menyilaukan pandangan kita bahwa seorang pelawak, motivator, penyanyi, dan artis sinetron juga bisa bicara soal agama dengan penuh kepercayaan diri. Lantas kepada siapa kita seharusnya bertanya soal agama? Saya tidak ingin menjawab secara langsung.

Ibarat kita membeli obat atau berobat, tentu kita datang ke tempat dan orang yang tepat. Jika beli obat, kita harus periksa khasiatnya dan cara memakainya dengan melihat pada kertas labelnya. Dengan begitu, kita akan selamat dari kekeliruan membeli dan minum obat. Sikap seperti ini sendiri adalah cermin kecerdasan. Cerdas memilih obat. Datang ke dokter, umum atau spesialis tergantung kasusnya, adalah cara yang tepat untuk menghilangkan kebodohan kita tentang berbagai penyakit yang kita derita. Dalam memberantas kebodohan kita mengenai agama, kita juga akan melakukan itu bukan? Ulama, ustaz, tuan guru, ajengan, dan buya adalah sebutan-sebutan yang biasa disematkan kepada mereka yang ahli agama. Sudahkah kita menakar kualifikasi mereka?

Bodoh itu penyakit, lawanlah dengan cerdas! Wa Allahu a’lam bi-l-shawwab.

 

Delanggu, 3 Mei 2020.

  

Rujukan

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, al-Da’ wa al-Dawa’, Kairo: Maktabah Usamah, 1979.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, al-Thibb al-Nabawi, Beirut, Lebanon: Mu’assasah Jamal, 1957.

Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid 4, Kairo: Dar al-Hadits, 2019.

 

Komentar