Dr. Ali Imron*

Sekira seminggu yang lalu seorang kolega menanyakan sebuah viral. Isinya mengharamkan seorang wanita mencantumkan nama suaminya di belakang namanya. Sebagai dalil, dicantumkanlah QS al-Ahzab: 05 dan beberapa hadis. Intinya, wanita yang melakukan praktik ini adalah terlaknat, kafir, tidak akan masuk surga.

Sebagai orang yang tiap hari bergelut di bidang studi hadis, saya ingin sedikit urun rembug.

Setelah saya telusuri, referensi paling “otoritatif” viral ini adalah bersumber dari Arab Saudi, yakni Fatwa Lajnah Daimah, pertanyaan ketiga dari fatwa no 18147. Beberapa dalil yang dipakai adalah berikut:

1. QS al-Ahzab: 05
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]

2. Hadis Abu Dzar

عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر

Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang MENASAB-kannya diri kepada orang selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia telah kufur,’” (HR Bukhari).

3. Hadis Bukhari-Muslim

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa (mengaku) BERNASAB kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari-Muslim).

Berbekal dalil dalil inilah kemudian disimpulkan bahwa seorang istri haram menambahkan nama suami di belakang namanya.

****

Memahami Perbedaan Konteks

Demikianlah dalil-dalil itu berbicara. Namun bila kita cermati, ada yang janggal.

Perhatikan kata-kata yang tertulis huruf besar. Dalam dalil-dalil itu jelas bahwa yang diharamkan adalah mencantumkan nama orang lain untuk tujuan klaim nasab, alias garis keturunan/hubungan darah. Kata kuncinya: NASAB. Apa itu nasab?

Kita cek kamus bahasa indonesia:
na·sab: 1] keturunan (terutama dari pihak bapak); 2] pertalian keluarga. Contoh kalimat: “Raja Iskandar Zulkarnain termasuk “nasab” Sulaiman; Iskandar ini keturunan sulaiman. Kata “Nasab sultani” artinya keturunan Sultan. (Lihat: https://kbbi.web.id/nasab.html ). Di sini jelas makna nasab adalah hubungan darah, terutama antara anak-ayah (orang tua kandung).

Dalam tradisi orang Arab, nama seseorang biasanya hanya terdiri dari satu suku kata, lalu di belakangnya ditambahkan nama orang tuanya. Jadi kata kedua otomatis adalah nama orang tuanya. Jadi ketika kita mendengar seseorang berkata, “Zainab binti Ahmad” maka kita memahami bahwa ini maksudnya adalah: si Zainab ini anaknya pak Ahmad.

Ini berbeda dengan konteks budaya Indonesia. Hal yg sama tidak otomatis terjadi. Misalnya ketika kita mendengar kata, “Tien Soeharto”, maka orang Indonesia tidak ada yang memahami: ibu Tien itu anaknya pak Suharto. Demikian pula ketika kita mendengat nama “Ibu Ainun Habibi,” maka tidak ada orang Indonesia yang memahami bahwa Ibu Ainun itu anak dari pak Habibi.

Dari penejelasan di atas, tampak bahwa Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi di atas terasa tidak nyambung dengan konteks Indonesia. Mengingat di Indonesia seorang istri yang mencantumkan nama suaminya (misalnya Tien Suharto atau Ainun Habibi tadi) sama sekali tidak ditujukan untuk mengklaim nasab, bahwa ia adalah anak dari si pak Harto atau Habibi seperti pada contoh di atas.

Jadi dalilnya, baik QS al-Ahzab: 05 maupun hadisnya, memang betul menyatakan begitu. Shahih. Tapi konteks antara kondisi di Arab dengan di Indonesia sudah berbeda. Dalam ilmu tafsir maupun syarah hadis, perbedaan konteks seperti ini penting untuk diperhatikan.

Contohnya adalah hadis

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. al-Albani menyatakan, “Hadits ini, shohih sebagaimana yang telah saya takhrij dalam Irwa`ul Gholil, no. 292, lihat Ashlu Shifati Sholati an-Nabi, jilid 1/71, karya al-Albani)

Bila hanya berpegang pada makna tekstual hadis ini, seharusnya kiblat itu ada dua: utara, atau selatan. Karena nabi mendefinisikan kiblat sebagai “antara timur dan barat.”

Namun dengan belajar ilmu geografi, kita tahu bahwa Nabi berkata demikian ini tidak lepas dari konteks georgafis. Beliau tinggal di kota Madinah, yg terletak di sebelah utara Makkah. Dengan begitu, ketika beliau berkata, “antara timur dan barat adalah kiblat” maka kita paham dari konteks ini bahwa yang dimaksud beliau ialah: arah kiblat itu selatan.

Hadis kiblat ini tidak bisa diterapkan begitu saja secara tekstual, mentah-mentah, di Indonesia, karena ada perbedaan konteks geografis. Indonesia terletak di sebelah Timur Makkah, sehingga kiblatnya justru ke arah barat. Tidak boleh kita shalat menghadap ke selatan, sebab ini bukannya menghadap ke Ka’bah yg ada di Makkah, tetapi justru ke arah Australi.

Perbedaan konteks seperti ini bisa dideteksi, asal memiliki ilmu geografi. Ini agak mirip-mirip dengan hadis yang dipakai dalil untuk mengharamkan wanita mencantumkan nama suaminya di atas tadi. Dalam hal ini pun terdapat perbedaan konteks.

Bila untuk memahami hadis kiblat ini kita perlu belajar ilmu geografi, maka untuk memahami hadis no 2 dan 3 di atas tadi butuh belajar ilmu antropologi. Tujuannya, agar tidak keliru mengambil istimbath hukum akibat terjebak makna tekstual.

Pencantuman nama orang lain di belakang nama sendiri, dalam budaya arab langsung dianggap sebagai pengingkaran atau penolakan terhadap ayah kandung. Di sana, jika seseorang mencantumkan namanya, “Zaid bin Aslam” (padahal sebenarnya si zaid ini anaknya Umar), maka si Zaid dianggap tidak mengakui lagi Umar sebagai orang tua kandungnya. Ia justru mengklaim sebagi anak dari Aslam.

Jika seorang anak tidak mau lagi mengakui orang tua kandungnya seperti ini, malah ia mengaku-ngaku sebagai anak dari orang lain, maka ia bisa dikategorikan sebagai anak durhaka. Maka wajar kalau Nabi begitu keras melarang hal seperti ini sebagaimana tampak pada hadis di atas tadi.

Tetapi konteks Indonesia berbeda. Penggunaan nama suami di sini hanya sebagai identitas panggilan belaka. Misalnya “Bu Ani Yudhoyono”, maka semua orang Indonesia paham bahwa maksudnya adalah “Bu Ani ini istrinya bapak SBY, mantan presiden RI, bukan anaknya SBY.

***

Belajar Dari Ibnu Hajar Al-Asqalani Via Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub

Hadis yang dipakai dalil untuk mengharamkan di atas, diriwayatkan oleh Bukhari. Kita tahu bahwa keshahihan hadis-hadis yang ada dalam kitab shahih bukhari memiliki nilai paling tinggi. Sekarang mari kita melihat penjelasan Syeikh Ibnu Hajar al-Asqalani ini atas hadis ini melalui tokoh yg bernama KH prof. Ali Mustafa Yaqub.

Hampir semua orang yang bergelut studi hadis sepakat bahwa Fathul Bari, kitab yang ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, adalah karya kitab penjelas (syarah) Shahih Bukhari yang paling bagus. Sebenarnya ada banyak kitab yang mensyarahi shahih al-Bukhari. Hanya saja, andai semua kitab-kitab itu dilombakan seperti halnya lomba karya tulis ilmiah, maka kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani ini akan keluar sebagai juara pertama.

Sementara Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub adalah ahli hadis Indonesia, profesor hadis Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta. Hampir tidak ada mahasiswa prodi Ilmu Hadis di kampus-kampus agama Islam yang tidak kenal nama beliau. Bagaimanakan penjelasan beliau atas hadis-hadis di atas?

KH Ali Mustafa Yaqub mengutip Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa dalam memahami sebuah hadits seseorang harus mengetahui illatnya, termasuk dalam memahami hadits di atas.

Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, “yang dimaksud oleh hadits riwayat Bukhari di atas (dan hadits riwayat Muslim) sebenarnya bukan untuk semua orang yang menambahkan nama orang lain setelah namanya, namun lebih spesifik kepada orang yang mengakui orang lain sebagai ayahnya. Dengan demikian yang dimaksud dalam hal ini adalah menasabkan dirinya dengan orang yang bukan ayah kandungnya.

Hal itu dilarang karena seolah-olah dia mengatakan bahwa “Allah mencipatakanku dari spermanya si fulan”. Dengan begini, otomatis orang tersebut telah berbohong atas nama Allah.

Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Hajar yang mengutip pendapat Ibnu Bathal. Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah tidak semua orang yang namanya terkenal dengan tambahan nama orang lain (seperti menambahkan nama suami setelah nama istri), melainkan hadits tersebut ingin mengoreksi budaya Jahiliyah yang mengadopsi anak dan anak tersebut dinasabkan kepada ayah angkatnya. Sehingga seolah-olah orang yang mengadopsi tersebut adalah ayahnya yang sesungguhnya.
.
Namun menurut Ibnu Hajar, masih ada beberapa orang yang dipanggil dengan nama bapak angkatnya seperti Miqdad bin Al-Aswad. Padahal nama bapak kandungnya adalah Amr bin Tsa’labah. Dia dinisbatkan kepada Al-Aswad bin Abdul Yaghuts Az-Zuhri karena Al-Aswad adalah bapak angkatnya. Menurut Ibnu Hajar, hal ini diperbolehkan karena bukan untuk tujuan nasab tapi untuk ta’rif atau identifikasi panggilan belaka. Hal spt ini menjadi kajian tersendiri dalam studi ilmu hadis, sebagaimana akan kita bahas nanti.

Demikianlah penejalasan Syeih Ibnu Hajar al-Asqalani. (Referensi: http://www.nu.or.id/post/read/77483/hukum-tambahkan-nama-suami-di-belakang-nama-istri).

*****

Syarah Syeikh Badrudin Al-Aini

Sebagai bahan perbandingan, sekarang mari kita tengok kitab lain yang juga Syarah atas kitab Shahih Bukhari. Kita kutipkan lagi hadisnya, agar jelas.

عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر

Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang menisbahkan diri kepada selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia menjadi kufur,’” (HR Bukhari).

Hadis ini, oleh syiekh Badruddin Al-Aini dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, dijelaskan sebagai berikut .

إلى غير أبيه قوله وهو يعلمه جملة حالية أي والحال أنه يعلم أنه غير أبيه وإنما قيد بذلك لأن الإثم يتبع العلم وفي بعض النسخ إلا كفر بالله ولم تقع هذه اللفظة في رواية مسلم ولا في غير رواية أبي ذر فالوجه على عدم هذه اللفظة أن المراد بالكفر كفران النعمة أو لا يراد ظاهر اللفظ وإنما المراد المبالغة في الزجر والتوبيخ أو المراد أنه فعل فعلا يشبه فعل أهل الكفر

Artinya, “…Kepada selain bapaknya dan dia mengetahuinya (dengan sengaja). Ini adalah kalimat jumlah haliyah (clausa keterangan keadaan). Artinya, saat itu yang bersangkutan secara sadar melakukannya, bahwa penasaban itu ia lakukan itu kepada orang yg bukan bapak kandungnya. Perbuatan “Penasaban” ini dikaitkan dengan “kesengajaan,” karena suatu kesalahan dihitung dosa ketika dilakukan dengan sengaja.

Sebagian riwayat menggunakan lafaz, “كفر بالله ” ‘kufur kepada Allah”. Lafaz ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim; dan hanya ada pada riwayat Abu Dzar. Lafaz ‘kufur kepada Allah’ di sini musti dipahami sebagai “kufur nikmat”. Atau, maksudnya tidak seperti yang tertera secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan, sekaligus pernyataan bahwa adalah aib bila seseorang menasabkan dirinya kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya sendiri. Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penasaban itu merupakan perilaku yang serupa dengan perbuatan orang kafir,” (Lihat Badruddin Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz 24, halaman 35).

Demikianlah penjelasan Syeikh al-Aini. Isinya kurang lebih sama dengan IBnu Hajar al-Asqalani.

Sekarang kita lihat lagi konteks Indonesia. Dalam konteks orang Indonesia, apakah nama “Bu Ainun Habibi”, “Bu Tien Suharto” dll seperti yang lazim terjadi di Indonesia, apakah itu penasaban yg berarti bahwa Bu Tien itu anaknya pak Suharto? Apakah itu berarti Bu Ainun itu anaknya pak Habibi? Tentu bukan.

Penambahan nama SUharto, Habibi di belakang nama “bu Tien” maupun “Bu Ainun,” sama sekali tidak ada makna penggantian nasab dari orang tua kandung kedua wanita tersebut kepada suami masing-masing (pak Harto maupun pak Habibi).

*****

KONTEKS QS AL-AHZAB: 05

Lalu bagaimana dengan QS al-Ahzab yang secara jelas memerintahkan kita agar memanggil seseorang dengan nama bapaknya?

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]

Baiklah. Kita bahas. Dalam tradisi Arab, seseorang biasa dipanggil bukan dengan nama aslinya, tetapi justru dengan nama orang tuanya. Hal ini lumrah terjadi, karena ada banyak nama yang sama. Misalnya pada zaman shahabat, ada empat orang yang memiliki nama Abdullah: 1) Abdullah bin Umar bin Khathab, 2) Abdullah bin Zubair bin Awwam, 3) Abdullah bin Abbas, 4) Abdullah bin ‘Amr bin Ash.

Kebiasaan orang Arab itu memanggil dengan nama orang tua, demi memudahkan mengidentifikasi abdullah mana yang dimaksud dalam sebuah percakapan. Abdullah bin Umar biasa dipanggil dengan nama Ibnu Umar, Abdullah bin Zubeir biasa dipanggil dengan nama Ibnu Zubeir, Abdullah bin Abbas biasa dipanggil Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Amr bin Ash biasa dipangil Ibnu ‘Amr. Ini merupakan budaya Arab.

Terkait dengan QS al-Ahzab: 05, maka ada konteks historis yang harus dipahami. Pada saat itu Nabi memiliki budak yang beliau merdekakan, bernama Zaid. Nabi kemudian mengambilnya sebagai anak angkat. Karena saking lekatnya Zaid dengan nabi, maka oleh orang-orang, Zaid ini dipanggil “Zaid bin Muhammad.” Zaid statusnya dianggap sama seperti anak kandung nabi sendiri. Maka turunlah QS al-Ahzab:05 di atas.

Asbabun Nuzul ini terekam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berikut ini.

أن زيد بن حارثة مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم ما كنا ندعوه إلا زيد بن محمد. حتى نزل القرآن) ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله (فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أنت زيد بن حارثة بن شراحيل

Artinya, “Adalah Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dimerdekakan Nabi. Kami selalu memanggilnya dengan panggilan “Zaid bin Muhammad” hingga turunlah ayat ‘Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah,’ (Surat Al-Ahzab ayat 5). Nabi pun berkata kepada Zaid, ‘Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.’”

Dengan memahami konteks historis ini, maka jelaslah bahwa maksud ayat ini bukanlah larangan seorang wanita menambahkan nama suami di belakang namanya. Tetapi ayat ini bermakna larangan menasabkan (ingat, NASAB/hubungan darah) seorang anak kepada selain orang tua kandungnya.

Apalagi dalam hadis Ibnu Umar ini, jelas ada tambahan “IBNU atau BIN” (yang artinya: anak dari …) di sela antara nama orang yang bersangkutan, dengan nama orang tuanya. Dalam kasus Zaid di atas, nyaris terjadi perubahan nama dari “Zaid bin Haritsah” menjadi “Zaid bin Muhammad”.

Sekarang kita bandingkan deng.an tradisi yg ada di Indonesia. Dalam tradisi Indonesia, adakah seorang istri yang menambahkan klausa “bin/binti” antara nama dirinya dengan nama suaminya?

Tidak ada. Yang ada adalah “Ainun Habibi”, bukan Ainun binti Habibi.” Jadi jelas beda antara yg ada di Arab dg yg ada di Indonesia. Tidak ada klaim nasab dalam kontek tradisi masyarakat Indonesia ini. Jadi ayat ini tidak bisa dipakai untuk menghukumi apa yg ada di Indonesia. Karena yg ada di Indonesia bukan penasaban seorang istri kepada suaminya, melainkan hanya panggilan identitas belaka.

****

Tafsir QS Al-Ahzab: 05

Agar semakin jernih, ada baiknya kita lihat Tafsir Syekh Wahbah Az-Zuhayli atas QS al-Ahzah: 05 ini.

انسبوا الأبناء لآبائهم الحقيقيين الذين هم من أصلابهم لا للذين تبنوهم فنسب الابن لأبيه الأصيل هو أعدل حكما

Artinya, “Nasabkan anak-anak (angkat) itu kepada bapak mereka yang sebenarnya, di mana mereka adalah orang tua kandung mereka, bukan kepada orang tua angkat mereka. penasaban anak kepada bapak kandung itu lebih adil statusnya,” (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz ala Hamisyil Qaur’anil Azhim, Damaskus, Darul Fikr, cetakan kedua 1416 H/ 1996 M, halaman 419).

Penjelasan Sayyid Al-Alusi berikut ini semakin memberikan kejelasan. Menurutnya, penisbahan nama secara biologis kepada selain orang tua itu dilarang kalau memang dilakukan secara sengaja.

وظاهر الآية حرمة تعمد دعوة الإنسان لغير أبيه ، ولعل ذلك فيما إذا كانت الدعوة على الوجه الذي كان في الجاهلية ، وأما إذا لم تكن كذلك كما يقول الكبير للصغير على سبيل التحنن والشفقة يا ابني وكثيراً ما يقع ذلك فالظاهر عدم الحرمة

Artinya, “Secara lahiriyah, ayat ini mengharamkan dengan sengaja penyebutan nisbah seseorang kepada selain bapaknya. Bisa jadi keharaman itu karena penyebutan nama dilakukan seperti tradisi masyarakat Jahiliyah. Sedangkan panggilan yang berbeda dengan konsep penyebutan nama dalam Jahiliyah seperti bentuk panggilan orang dewasa kepada mereka yang lebih muda dengan sapaan ‘Anakku’ dan banyak sapaan kasih-sayang dan ramah-bersahabat serupa itu, secara lahiriyah tidaklah haram,” (Lihat Sayyid Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma‘ani, Beirut, Daru Ihya’it Turatsil Arabi, tanpa tahun, juz 21, halaman 149).

Status Zaid yang yg dipanggil “Zaid bin Muhammad” hanya berlangsung beberapa tahun saja. Allah lalu melarang praktik seperti ini di dalam surat al-Ahzab ayat 5 dan 37, serta menyatakan dengan tegas bahwa Nabi Muhammad bukanlah bapak dari laki-laki muslim manapun dalam surah al-Ahzab ayat 40.

Sebagai bukti lepasnya hubungan bapak dengan anak antara Rasulullah dengan Zaid pada waktu itu adalah, dengan halalnya mantan istri Zaid yang bernama Zainab binti Jahsy untuk dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun ke-5 hijriah. Padahal ini sebelumnya terlarang dalam tradisi arab jahiliyah.
*****

Bercermin Ulumul Hadis.

Dalam ilmu hadis, terdapat cabang ilmu yg bernama ilmu rijalul hadis. Ini adalah cabang ilmu hadis yg secara spesifik menelusuri biografi orang2 yg terlibat dalam periwayatan hadis.

Karena jumlah hadis sendiri sudah ratusan ribu, maka tentu saja jumlah perawinya bisa empat kali lipatnya. Sebab, satu hadis biasanya diriwayatkan lebih dari 4 orang perawi.

Di antara ratusan ribu perawi hadis ini, ada sekelompok perawi yang oleh para ulama hadis disebut dg istilah “almansubiina ila ghairi aaba’ihim” (orang2 yg dinisbatkan kepada selain bapak mereka).

kita lihat, misalnya kitab “tadrib alrawi fi syarhi taqrib Al nawawi” yg ditulis oleh imam Al Suyuthi, penulis kitab tafsir jalalayn .

تدريب الراوي في شرح تقريب النووي

Pada jilid ke-2, hlm 336, terdapat sub judul:

النوع السابع والخمسون: معرفة المنسوبين إلى غير آبائهم

Artinya: ragam ke 57, mengenai orang2 yg dinisbatkan kepada orang selain bapak mereka.

Dalam bab ini dibahas ada empat jenis perawi hadis yg namanya tidak disambung dengan nama bapak mereka. Ada yg dinisbatkan dg nama ibunya, ada yg dinisbatkan dg nama kakeknya, ada yg dinisbatkan dg nama sukunya, bahkan ada pula yg dinisbatkan kepada orang lain.

Ini membuktikan bahwa penerapan QS al-Ahzab :05 dan hadis2 di atas tidaklah sesaklek fatwa Arab Saudi di atas.

Lihat referensinya di sini: http://madrasato-mohammed.com/sioti/Page_025_0027.htm
.
****

.
FATWA MUFTI MESIR

Jenggot boleh sama lebat, tapi isi kepala belum tentu sama. Dalil Qur’an hadisnya bisa sama, tapi penafsiran bisa berbeda.

Bila Mufti Arab Saudi mengharamkan seorang wanita menambahkan nama suami di belakang namanya, maka Mufti Mesir, Sheikh Ali jum’ah memiliki pendapat yg berbeda. Mufti Mesir ini menyatakan bahwa hal ini boleh dilakukan, bukan hal yg haram. Tepatnya dalam fatwa no. 140, 04/11/2008. Berikut ini sy copykan.

إضافة لقب الزوج إلى الزوجة
الرقم المسلسل : 140
التاريخ : 04/11/2008

الزواج في فرنسا يجعل الزوجة تحمل اسم زوجها. فما رأي الدين في ذلك؟ وهل يعيب المسلم أن يفعل ذلك؟

الجواب : أمانة الفتوى
العرف الغربي قائم على أن البنت إذا لم تكن متزوجةً فإنها تُذكَر باسم أبيها وعائلتها، أما إذا كانت المرأة متزوجة فإنه يُضاف إلى اسمها لقب عائلة زوجها، وذلك بعد وصفها بكونها متزوجة بالمصطلح المفهوم من ذلك عندهم وهو مسز أو مدام أو نحو ذلك، فتصير إضافة لقب عائلة الزوج حينئذٍ إلى اسم الزوجة في مثل هذا العرف قائمةً مقام قولنا: فلانة متزوجة من عائلة فلان، وهو نوع من التعريف الذي لا يوهم النسبة عندهم بحال، وباب التعريف واسع؛ فقد يكون بالولاء كما في: عكرمة مولى ابن عباس، وقد يكون بالحِرْفة كما في: الغزَّالي، وقد يكون باللقب أو الكنية كالأعرج والجاحظ وأبي محمد الأعمش، وقد يُنسَب إلى أمه مع معرفة أبيه كما في: إسماعيل ابن عُلَيَّة، وقد يكون بالزوجية كما ورد في القرآن من تعريف المرأة بإضافتها إلى زوجها في مثل قوله تعالى: ﴿امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ﴾ [التحريم: 10]، ﴿امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ﴾ [التحريم: 11].
وقد روى البخاري ومسلم من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه “أن زينب امرأة ابن مسعود رضي الله عنهما جاءت تستأذن على رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، فقيل: يا رسول الله هذه زينب تستأذن عليك، فقال: «أَيُّ الزَّيَانِب؟» فقيل: امرأة ابن مسعود، قال: «نَعَم؛ ائْذَنُوا لَهَا»، فأُذِن لها.
والمحظور في الشرع إنما هو انتساب الإنسان إلى غير أبيه بلفظ البنوَّة أو ما يدل عليها، لا مطلق النِّسبة والتعريف، وقد يشيع بعض هذه الأشكال من التعريف في بعض الأماكن أو في بعض الأحوال ويغلب في الإطلاق حتى يصير عُرفًا، ولا حَرج في ذلك ما دام لا يُوهم الانتساب الذي يأباه الشرع، وهو الانتساب بلفظ البنوة أو معناها إلى غير الأب،

Judul: “Menambahkan nama suami di belakang nama istri”
….

Pertanyaan:
Pernikahan di Perancis biasa menjadikan seorangpun istri menambahkan nama suami di belakang nama. Bagaimana pandangan agama dalam masalah ini? Apakah seorang muslim yg mempraktekkan hal ini dipandang tercela?

Jawab:

Tradisi orang Barat adalah seorang wanita bila belum menikah maka namanya ditempeli nama orang tuanya atau nama marganya. Namun bila sudah menikah maka ditempeli nama suaminya. Dengan adanya pernikahan ini, maka si wanita tersebut di panggil dengan istilah “Mrs Fulan,” atau “Madam Fulan”.

Dengan demikian, tradisi penambahan nama suami di belakang nama istri seperti ini adalah mirip dengan ucapan kita, “Si fulanah ini adalah istri si Fulan,” atau “Fulanah ini istri seorang laki-laki dari keluarga Fulan.”

Dalam kebiasaan mereka, ini termasuk ta’rif (identifikasi panggilan belaka), bukan penggantian hubungan nasab.

Ihwal ta’rif ini luas cakupannya. Kadang ada yg dikaitkan dg hubungan mawla (mantan budak), seperti Ikrimah Maula Ibnu abbas (artinya Ikrimah mantan budak Ibnu abbas, ada yg dikaitkan dg profesi seperti Al Ghazali (artinya tukang tenun kain), ada yg dikaitkan dengan julukan seperti al-a’mas dan aljahiz, dll.

Kadang ada juga yg namanya ditambahi nama ibunya, meskipun nama bapaknya diketahui secara jelas, misalnya Ismail bin ulayyah. (Juga, Abdullah bin ummi Maktum).

Kadang ta’rif ini juga dikaitkan dengan pernikahan. Seperti yg dilakukan Al-Qur’an saat menjelaskan identitas wanita dengan menyebut nama suaminya, misalnya “wanitanya Nuh” dan “wanitanya Luth” dan “wanitanya firaun” (QS altahrim 10-11).

Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari abu Sa’id Al Khudri, bahwa Zainab pernah minta izin menghadap nabi. Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasul, Zainab minta ijin menghadap.”

“Zainab siapa?” Tanya nabi.

“Imroatu Ibnu Mas’ud.” (Istrinya Ibnu Mas’ud).
“Izinkan dia.”

Maka Zainab pun diijinkan menghadap.
.
Yg dilarang syariat adalah menasabkan seseorang kepada orang lain yg bukan orang tuanya, dengan diksi yg jelas, atau diksi yng menunjukkan makna penasaban tersebut sebagai keturunan biologis. bukan semua penisbatan secara mutlak.
.
Ta’rif (identitas panggilan) ini di berbagai tempat dan keadaan memiliki bentuk yg berbeda-beda, dan kadang telah menjadi tradisi/kebiasaan (‘urf).
.
Hal ini tidak apa2 selama tidak dilakukan dengan menasabkan seseorang kepada orang lain, dg kalimat yg secara syariat dianggap sama dengan hubungan darah ayah-anak.

(Link resminya di sini: http://www.dar-alifta.org/ar/ViewFatwa.aspx?ID=11040&LangID=1&MuftiType=0 )
***

Demikian penjelasan panjang lebar masalah ini. Kesimpulanya, dalam masalah wanita yg menambahkan nama suami ini terdapat perbedaan pendapat. Ada yg mengharamkan, yakni fatwa Mufti Arab Saudi. Mereka mengharamkannya karena menganggap hal ini sama dengan mengganti nasab kepada orang yg bukan orang tua sendiri.

Tapi ada pula yg tidak mengharamkan, alias membolehkan, karena hal ini tidak serta Merta dapat diartikan sebagai penggantian nasab. Melainkan hanya sebagai ta’rif, identifikasi panggilan sehari-hari saja.

Dari dua pendapat di atas, menurut sy pendapat Mufti Mesir lebih feasible dalam konteks masyarakat Indonesia.

*Dosen ilmu hadis UIN sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar