Apa yang penting dari sosok, gagasan, dan pemikiran KH Afifudin Muhajir yang mendapat gelar doktor honoris causa di bidang ilmu fikih atau ushul oleh UIN Walisongo sudah banyak dibicarakan. Informasi itu bisa dijumpai dalam dua karya ini: KH. Afifudin Muhajir Faqih-Ushuli dari Timur dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid).
Cukuplah saya kutip gagasan pokok beliau tentag Pancasila berikut ini. “Pancasila adalah syariat itu sendiri karena dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.” Pikiran ini jelas sekali bukan hanya menyelesaikan debat apakah Pancasila bertentangan dengan syariat, melainkan juga apakah Pancasila bagian dari syariat atau bukan.
Dari salah satu buku itu, hal yang belum menjadi perhatian adalah mengapa dan bagaimana gagasan dan kiprah Kiai Afifudin bisa meluas dan “berkaki” seperti kita kenal sekarang ini. Maka salah satu kaca mata memahami ini dapat meminjam pendekatan jejaring sosial yang terkenal, tapi rumit itu.
Saya membayangkan pendekatan jejaring sosial ini mirip laba-laba dan sarangnya. Makhluk ini dapat lincah bergerak karena sarang yang terbentuk dari berbagai serabut yang terhubung. Serabut itu banyak, berbeda, namun terhubung. Jika putus beberapa bagian saja, dapat mempengaruhinya. Dengan proses semacam itulah pikiran dan gagasan Kiai Afif meluas dan pada akhirnya bisa menggerakkan sebuah gerakan.
Sekali lagi teori jejaring sosial memang tampak rumit, tapi apa sih yang tidak bisa disederhanakan dalam hidup yang fana ini. Lalu ada beberapa orang pintar yang merangkum tiga saja yang bisa dipahami dari pendekatan ini. Pertama, bagaimana mekanisme dan dinamika yang mendorong orang untuk terlibat dalam aksi kolektif. Kedua, bagaimana membantu kita memahami peran identitas, nilai-nilai dan jejaring sosial yang memampukan atau menghambat orang berpartisipasi. Ketiga, bagaimana memahami makna dan budaya sebagai penjelas atas partisipasi individu tersebut.
Melalui pendekatan ini, maka hampir sulit melewatkan jejaring berikut ini dalam perbincangan tentang gagasan Kiai Afif: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur berikut institusi-institusi di dalamnya seperti Universitas Ibrahimy, Ma’had Aly Situbondo, berikut para alumninya. Ditambah lagi jaringan Nahdaltul Ulama.
Untuk memberi jawaban lebih baik lagi, maka sulit juga kita melewatkan peran santri-santri Kiai Afif yang berhubungan langsung dan telah menjadi “kaki-kaki” yang menggerakan pikiran dan gagasan beliau. Sampai di sini, saya rasa sulit juga mengabaikan peran Kiai Moqsith Ghozali yang bukan hanya menunjukkan penghormatannya yang sudah ditumpukknya hingga menyentuh badan langit, tetapi juga usahanya mendampingi Kiai Afif dan “mempromosikan” gagasan-gagasannya.
Jika Malcolm Gladwell bukan asal Kanada tetapi lahir di Madura dan mengenal Kiai Moqsith, mungkin ia juga setuju bahwa Kiai Moqsith adalah seorang konektor dan penjaja, dua istilah yang diciptakan Gladwell dalam The Tipping Point. Konektor adalah tipe atau peran seseorang yang memiliki kemampuan menyediakan sarana penyebaran pengatahuan dan memberi akses ke lingkaran yang lebih luas. Ia seperti orang yang membuat jejaring laba-laba, sehingga laba-laba dapat bergerak ke sana kemari. Sementara itu tipe penjaja, seperti kita tahu memiliki kemampuan untuk membujuk orang untuk yakin dengan apa yang dia katakan. Lantas siapa Marvens? Tak lain Kiai Afif sendiri, sumber dari gagasan.
Melalui peran konektor itu, dengan sekali tepuk, terbitlah buku KH. Afifudin Muhajir Faqih-Ushuli dari Timur dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berisi lebih dari tiga puluh penulis, belum termasuk tokoh dan ulama yang memberi dukungan. Tentu saja kita percaya, kerja itu tak bisa dilakukan sendiri dan karenanya memahami bagaimana peran-peran santri Kiai Afif yang beragam –dalam buku terdapat sebelas santri beliau yang menulis—menjadi bagian dari “kaki-kaki” yang menggerakkan dan nilai-nilai apa yang menggerakannya?
Di atas semua itu, rasanya sulit menolak pernyataan KH Said Aqil Siradj atas kekaguman beliau pada Kiai Afif. “Di lingkungan NU, tak mudah menemukan seorang kiai yang kealimannya disepakati oleh semua. Kiai Afifuddin Muhajir adalah salah satu kiai NU yang kealimannya sudah “mujma’ alaih” itu.” kita sangat mengagumi dan menghargai pikiran-pikiran orisinil Kiai kelahiran Sampang ini. Pemberian doktor honoris causa hanyalah sebentuk penghargaan tersebut.
Kalimulya, 20 Januari 2021
Alamsyah M Dja’far