Menonton film buruk menciptakan dialog singkat dan kesepakatan panjang mengumpat—bahkan sepanjang hidup. Film yang buruk sering tak menarik dibicarakan lama-lama sebab dua atau sekian penonton telanjur tak terpikat, baik dari segi teknis ataupun estetikanya. Film Gundala (Joko Anwar, 2019) tak menghadapi hal yang demikian. Setidaknya di lingkup sosial saya, kawan-kawan memiliki ragam kisah pasca-menonton film preambul jagat sinema Bumi Langit itu. Saya menonton Gundala di hari pertama penayangannya di layar putih bioskop. Dua pekan hampir berlalu, saya mengulang-ulang ingatan atas peristiwa menonton sebab berambisi menemukan kekurangan film.
Selepas menonton, kawan-kawan perempuan saya menyepakati adegan Abimana setelah mandi itu adegan paling menawan sepanjang peristiwa menonton. Mereka menyebut adegan itu sebagai taktik female gaze yang berhasil. Sekian penonton perempuan terpukau mendapati rambut dan badan Abimana basah. Di twitter, sang sutradara mempopulerkan #EfekGundala dan cuitan paling santer dua di antaranya memperkarakan adegan Sancaka alias Gundala selepas mandi dan ketika ia memakai seragam kerja. Para penonton laki-laki mungkin saja melewatkan dua fragmen itu sambil lalu.
Saya merekam komentar kawan-kawan. Masing-masing dari mereka memiliki alasan-alasan logis bertaut hal-hal yang kurang dalam film Gundala. Mulai dari kualitas Computer Generated Imaginery (CGI) yang buruk, fragmen demi fragmen yang tak lepas dari bayang-bayang film superhero pada umumnya, jalinan kasih asmara yang minim atau malah cenderung kering, alur cerita yang terburu-buru, dan lain lain sebagainya. Buruknya kualitas CGI itu dibuktikan oleh efek pecah-pecah atau aneh alias tidak tampak sungguhan setiap kali wajah Sancaka terkena petir. Soal kualitas CGI, saya gagal memperhatikan detail itu –alih-alih juga tidak paham.
Bayang-bayang Superhero Barat
Lepas dari perkara teknis CGI, saya memiliki sejumlah pembelaan terhadap film Gundala sebagai respons atas komentar kawan-kawan. Pembelaan itu untuk sekian hari saya simpan sebagai rahasia paling privat. Bagaimanapun kawan-kawan memiliki lebih banyak basis pengetahuan dan pengalaman bertaut film-film superhero, dan saya tidak mau bunuh diri. Seorang kawan bercanda, dirinya ingin muntah selepas menyaksikan Gundala. Menurutnya, film itu cukup layak disebut buruk sebab banyak hal di dalamnya tak lepas dari bayang-bayang film superhero Barat.
Ia menyebut beberapa hal, di antara yang paling kuingat ialah perkara kostum dan kemunculan Gundala yang sering tiba-tiba laiknya pahlawan atau malah malaikat jelmaan Tuhan. Kostum Gundala memang sangat khas superhero yang lazim kita tahu. Wajah sang patriot bertopeng alias tertutup sebab tokoh itu memang perlu merahasiakan identitasnya. Latar sosial politik penuh gejolak dan korup yang coba dikuasai sang mahamafia bernama Pengkor (Bront Palarae) sangat membahayakan misi Gundala menumpas kejahatan demi kejahatan. Penggunaan topeng dan kemunculan serta kepergiannya yang sering tiba-tiba punya dasar sungguh logis. Itu upaya Gundala untuk tak lekas dikenali kelompok mafia dan bukan sekadar gaya-gayaan agar diyakini sebagai pahlawan –yang telanjur kita yakini pertolongannya datang tiba-tiba.
Menariknya, sikap patriotik Sancaka tak muncul tanpa apa. Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) mengalami hari-hari penuh tempaan menuju pembentukan sikap dan kediriannya di hari jelang. Ayahnya (Rio Dewanto) aktif mengorganisasi kawan-kawan sesama buruh di sebuah pabrik bangunan guna menuntut hak-hak mereka. Seorang kawan ayahnya yang tempo hari menjadi perwakilan untuk bernegosiasi dengan pimpinan perusahaan diam-diam mengkhianati perjuangan mereka. Ia lepas tangan dari perjuangan menuntut kenaikan gaji dan bungkam setelah menerima sogokan dari pimpinan perusahaan.
Di lain fragmen, ayah Sancaka memimpin massa buruh sebagai respons atas kabar tidak pulangnya teman-teman yang menjadi negosiator. Sancaka sampai di kerumunan massa dan mendapati tubuh ayahnya sudah ambruk berlumuran darah dan lumpur. Fakta pengkhianatan itu tak pernah sampai pada ayah Sancaka, tapi barangkali sampai kepada kita. Pengkhianatan itu potensial muncul dari radius paling intim sekalipun. Kita mafhum, sekian banyak orang memilih hidup aman daripada berjuang melawan tirani kekuasaan.
Jalinan Asmara yang Kering
Masih menurut kawan-kawan saya, kisah asmara dalam film Gundala terasa hambar alih-alih kering. Penonton mendapati porsi romansa Sancaka dan Wulan (Tara Basro) secara minimalis dan tak romantis menurut konsensus. Sebaliknya, saya sungguhan menikmati kisah asmara keduanya. Kalau mau meneroka film Gundala dengan mata tonton sosiologis dan/atau antropologis, model asmara Sancaka dan Wulan terasa begitu pas dan wajar adanya.
Latar sosial politik yang chaos berdampak pada seluruh segi kehidupan masyarakat dan sikap orang-orangnya. Tingkat ekonomi masyarakat terus melemah, adanya problem kesehatan dan juga disinformasi membuat tatanan kehidupan begitu rumit dan menyita banyak pikiran serta tenaga. Sancaka dan Wulan ialah dua tokoh yang sadar dan aktif melawan tirani mafia melakoni perjuangan mengurai masalah demi masalah di sekitar yang tak ada habisnya. Alur cerita sepanjang film memberitahu kita bahwa keduanya tak punya waktu melakoni romansa sebagaimana laiknya.
Saya menduga, Joko Anwar selaku sutradara dan penulis naskah sengaja membuat jalinan asmara kedua tokoh utama itu tipis-tipis saja sebab itu memang hanya bumbu. Meromantisir kisah asmara Sancaka dan Wulan sangat mungkin akan menggeser hal-hal yang lebih utama yang hendak disampaikan. Saya menafakuri keputusan itu dengan sehormat-hormatnya. Sudah terlalu banyak film Indonesia –khususnya yang tayang di bioskop—menjual label romantik dengan begitu seragam. Pertalian antara laki-laki dan perempuan itu sudah lama jadi komoditas. Film-film Indonesia yang menitikberatkan pada hal itu sering tak bicara apa-apa dan kualitasnya cuma di situ-situ saja. Fungsi film romantis sekadar efektif sebagai pendulang pundi-pundi rupiah dan tidak lebih. Gundala berhasil tak terjebak pada ambisi purba yang begitu itu.
Sikap canggung Wulan saat memasak untuk Sancaka, keputusan Wulan menitipkan adiknya di kontrakan Sancaka, sorot mata dan sikap Sancaka setiap kali terlibat urusan dengan Wulan, dialog-dialog yang terjadi antara keduanya menunjukkan pertautan hubungan antara laki-laki dan perempuan dewasa yang bukan tidak ada apa-apa. Kita menangkap “rasa” meski tak gamblang dan terang-terangan. Begitulah kiranya jalinan asmara yang santun. Tsah!