Islamantun.org. Hampir setiap tahun saya mengajar “Scripture, violence and peace,” sebuah matakuliah yang saya desain untuk Kroc Institute for International Peace Studies, di Notre Dame. Kita mendiskusikan ayat-ayat yang dapat dipahami sebagai merefleksikan ajaran perdamaian atau peperangan/kekerasan, dan sejarah penafsirannya dari generasi ke generasi.
Matakuliah itu fokus pada Bible (Perjanjian Lama dan Baru) dan al-Qur’an. Mahasiswa saya umumnya orang Amerika yang beragama Kristen, tapi kadang juga ada mahasiswa Muslim.
Mungkin karena pengaruh media dan berbagai peristiwa global, terutama terorisme, umumnya mahasiswa punya kesan bahwa al-Qur’an mengajarkan kekerasan, sementara Bible tidak. Itu kesan umum di awal semester.
Di akhir semester, ketika saya tanya apa yg paling berkesan dan dipelajari selama satu semester, umumnya (tentu, tdk seluruhnya) mereka menyadari bahwa baik Bible maupun al-Qur’an sama-sama berisi ayat-ayat kekerasan dan perdamaian, dan mereka melihat pentingnya memahami konteks kelahirannya.
Saya sendiri sudah menulis di berbagaai platform, termasuk tulisan bahasa Indonesia. Pernah menulis tulisan berseri ttg kekerasan dlm kitab-kitab suci (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Buddha). Saya tdk perlu mengulang argumen itu di sini. Yg perlu ditekankan ialah kita perlu mengakui “masalahnya” dahulu, baru kemudian merancang strategi hermeneutik untuk menafsirkannya dalam konteks zaman modern.
Bagi orang kuliahan, memahami elemen2 kekerasan dan perdamaian dalam Kitab Suci itu menjadi keniscayaan, supaya kita mengerti kompleksitasnya. Ruang kuliah memang utk mengeksplorasi berbagai sisi dari topik yg didiskusikan, mengevaluasi apa yg sudah ditulis sarjana lain, dan mengajukan alternatif penjelasan lain, jika memungkinkan.
Saya kira, sikap terbuka seperti itu lebih bermanfaat daripada penolakan/denial: pokoknya yg dikatakan orang lain tdk benar. Sikap denial itu biasanya muncul karena pemahaman dogmatis (pokoknya Kitab Suci saya paling baik, dan yg lain salah) atau karena hanya tahu satu sisi/perspektif (sempitnya bacaan) atau kombinasi keduanya.
Ketika saya posting status podcast Minding Scripture terbaru tentang “perbudakan dan Alkitab”, saya tdk bermaksud berpolemik. Itu podcast yang dikelola Departemen Teologi di kampus saya mengajar, dan saya terlibat di dalamnya. Itu murni perbincangan akademis. Kebetulan dlm podcast terakhir itu saya tdk ikut. Dan saya biasa posting padcast ini setiap bulan di fb. Bulan depan, akan di-released tentang David/Daud dalam Alkitab dan al-Qur’an.
Saya sadar bahwa dari tema “slavery and the Bible” akan muncul komentar yang cenderung denial. Tapi perlu diketahui, soal penggunaan Alkitab untuk menjustifikasi perbudakan, kolonialisme, atau bentuk2 kekerasan lain itu sudah buanyak sekali didiskusikan. (Kesan saya sementara dari beberapa postingan terakhir, sebagian kawan-kawan Kristiani tampak terlalu sensitif terhadap isu yg sebenarnya sudah menjadi perbincangan umum di dunia akademis.) Saya paham soal Kitab Suci dan kekerasan itu karena mangajar matakuliah khusus tingkat S2. Jika perlu rujukan, kontak saya.
Kalau istilah orang Madura, kita perlu mengakui “the elephant in the room” supaya serius menawarkan penafsiran kontekstual. Orang boleh setuju atau tdk, tapi menurut saya, kekerasan merupakan problem kitab suci, bukan semata soal misinterpretasi. Poin ini saya katakan dalam podcast “war and peace” yg sudah saya shared beberapa bulan lalu.
Kita boleh setuju utk tidak setuju!
Kitab suci selalu bicara dua kutub baik dan buruk, aman dan damai untuk membuka mata hati dan pikiran pengkajinya