Suatu ketika, Ada yang mengisahkan di hadapan Rasul dan para sahabatnya. Dahulu kala, seorang lelaki dari kalangan Bani Israil, memiliki kesalehan yang luar biasa. Dalam kurun waktu 1000 bulan, aktivitas yang terus menerus dijalaninya adalah berperang di jalan Tuhan. Mendengar kisah tersebut, pada sahabat pun iri, sebab mereka juga ingin mendapat kesempatan yang sama, beramal selama ribuan tahun. Namun apa daya, mereka sadar, bahwa usia mereka tak seberapa dibanding lelaki tersebut.
Melihat kegelisahan yang dialami para sahabatnya, Rasulullah saw berdoa kepada Allah, agar umatnya diberikan kesempatan yang sama, seperti halnya lelaki pejuang dari bani israil itu. Allah pun menjawab dan mengabulkan doa Rasulullah saw. dengan menagnugerahkan malam lailatul qadar. Demikian penjelasan Ibn Abbas mengenai Ayat 1 Q.S. Al-Qadr.
Dalam literatur klasik, para salaf mencatat pengalaman spiritual-transendental mereka pada malam seribu bulan itu. Rupanya, antara satu dengan lainnya berbeda. Bahkan, rupanya, sejak masa para sahabat pun demikian adanya, pengalaman spritual mereka berbeda-beda.
Sehingga, kalau ditanya, kapan malam lailatul qadar terjadi, jawabannya pasti variatif. Malam 21, 23, 25, 27. Bahkan, ada pula yang mengatakan malam genap, 22, 24, dan seterusnya. Perbedaan waktu kejadian ini bukan tentang mana yang benar atau yang kurang benar. Tetapi, perbedaan ini menjadi salah satu bukti bahwa, lailatul qadar itu sangat private, sangat subjektif. Sehingga, jangankan beda zaman, beda geografis, bahkan di tempat dan waktu yang sama sekalipun, tidak mendapat lailatul qadar secara bersama.
Lailatul qadar sering dikaitkan dengan i’tikaf di masjid, sehingga di malam-malam ganjil sepuluh akhir Ramadan, banyak kaum muslimin yang meninggalkan rumah, dan tinggal di masjid dalam beberapa hari dan malam.
Tetapi, saat ini, di masa pandemi ini berlangsung, melakukan i’tikaf di masjid sudah sangat sulit dan mengkhawatirkan. Sulit, sebab banyak masjid yang meniadakan kegiatan keagamaan yang bersifat massal. Dan mengkhwatirkan sebab penyebaran virus, kedisiplinan masyarakat, sama-sama tidak jelas kondisi dan penangannya.
Lalu, apakah lailatul qadar tidak bisa dijemput di luar masjid? Dalam beberapa riwayat hadis yang menceritakan tentang situasi ibadah Nabi dan Keluarganya di setiap sepuluh akhir bulan ramadan, beliau selalu menemani keluarganya untuk menghidupkan malam-malam sepuluh akhir itu.
Lalu, kira-kira di mana beliau dan Keluarganya menghidupkan malam-malam tersebut ? Mari kita tengok dan komparasikan dengan hadis-hadis lainnya.
Sayyidah ‘Aisyah, meriwayatkan tentang jumlah rakaat shalat sunnah nabi, yang kemudian oleh sebagian ulama dijadikan dalil tentang hitungan atau jumlah rakaat shalat tarawih. Dan sebagaimana kita tahu, Rasulullah melakukan shalat tarawih dan ibadah sunnah (sunnah) lainnya juga di rumah.
Demikian juga, jika kita komparasikan dengan hadis lainnya, tentang keutamaan salat bagi perempuan adalah di rumahnya, bahkan kamarnya lebih baik lagi. Maka hampir dapat dipastikan bahwa, termasuk sayyidah Aisyah pun menghidupkan malam-malam sepuluh akhir itu di dalam rumahnya. Dan, jika lailatul qadar dikatakan hanya dapat diperoleh dengan cara i’tikaf semata, dan hanya di masjid saja, lalu, apakah para shahabiyah, termasuk Aisyah tidak pernah mengalami malam lailatul qadar?
Menjemput malam seribu bulan, tidak harus di masjid, sebab malam agung itu bisa datang menyapa kapan saja, di mana saja, dan siapa saja. Keberadaannya sebagai hadiah Tuhan membuatnya tidak terikat pada ruang dan waktu dan individu yang pasti. Tidak semua yang i’tikaf di masjid mengalami perjumpaan dengan malam agung itu, begitu juga, tak jarang, mereka yang sibuk menemani dan melayani keluarganya di rumah, melayani dan membantu orang lain di luar rumah, mendapatkan anugerah terindah itu.
Perjumapaan malam lailatul qadar, bisa diupayakan dengan berbagai amal kebaikan, tetapi pada akhirnya, terserah Allah, siapa yang akan dipilih untuk diperjumpakan. Perjumpaan dengan malam lailatul qadar bisa diupayakan, salah satunya dengan i’tikaf di masjid, tetapi harus digaris bawahi, bahwa itu bukan cara satu-satunya.