Bagi santri, ada batas yang seharusnya tak disentuh oleh siapa pun di negeri ini: kehormatan kiai dan marwah pesantren. Namun, batas itu ‘sengaja’ dilanggar dengan enteng oleh tayangan Xpose Uncensored di Trans7. Dalam waktu singkat, tradisi luhur yang penuh hikmah diubah menjadi bahan gosip dan olok-olok. Kekhusyukan spiritual dipelintir jadi sensasi, adab santri dipotong-potong agar tampak absurd, dan etika murid ke gurunya berubah menjadi “konten receh.” Ironisnya, semua itu disiarkan di negeri yang konon menjunjung tinggi agama dan ulama.

Televisi yang memiliki tugas menjaga moral publik menjelma menjadi ‘distributor hoax’ visual. Dalam tayangan itu, santri digambarkan jongkok dan ngesot di hadapan kiai, seolah sedang menyembah manusia. Kiai pun dipotret sebagai penerima amplop yang haus akan penghormatan. Bukan hanya kesalahan tafsir—ini senyatanya adalah penghinaan yang dibungkus gaya documenter serta disajikan seolah-olah fakta. Di dunia penyiaran, itu bukan “lupa sensor.” Itu lupa kode etik dan tata krama.

Luka Akibat Framing yang Jahat

Sosok kiai dimata para santri bukan hanya guru, tetapi cahaya penuntun. Menghina kiai berarti menampar wajah sejarah panjang peradaban pesantren yang membangun bangsa ini dengan kesabaran dan keikhlasan. Karena itu, luka akibat tayangan tersebut bukan sekadar marah, tetapi kehilangan kepercayaan. Ternyata di negeri ini, kesalehan bisa dijadikan bahan candaan dan hiburan. Yang memuliakan guru disebut penjilat, yang bersedekah dituduh pencitraan. Apa yang tersisa dari bangsa ini jika kebaikan-kebaikan diparodikan dan yang hal-hal yang tidak elok justru menjadi viral?

Trans7 boleh meminta maaf, tetapi permintaan maaf tidak mengembalikan martabat yang sudah diinjak di depan jutaan pasang mata. Yang mereka rusak bukan hanya citra pesantren, melainkan fondasi moral masyarakat yang menjadikan kiai simbol ketulusan dan kebijaksanaan. Sekali marwah diinjak, luka itu menuntut bukan sekadar maaf, melainkan tanggung jawab—secara moral, etik, dan hukum.

Media semestinya menjadi ruang edukasi publik, bukan ladang sensasi murahan. Tapi Trans7 justru memilih jalan gelap: mengemas tradisi penghormatan sebagai bahan cemoohan, memotong konteks agar tampak ekstrem, dan menukar adab menjadi absurditas.

Santri yang bersimpuh di hadapan kiai bukan sedang menyembah manusia. Tidak. Mereka sedang menundukkan ego dihadapan gurunya. Itu pelajaran dasar dalam pesantren—sebuah laku spiritual yang tak bisa dipahami oleh kamera yang hanya tahu mengejar rating, bukan makna.

Framing yang jahat sering dimulai dengan niat “ingin terlihat berani membongkar.” Namun, yang dibongkar Trans7 bukan penyimpangan, melainkan kebajikan. Di balik amplop ada doa, bukan sogokan. Ada ketulusan, bukan transaksi. Dan di balik penghormatan, ada cinta ilmu, bukan feodalisme. Media yang gagal membaca makna akan selalu keliru menafsir kebaikan sebagai bahan olokan.

Kiai Bukan Objek Lelucon

Santri, apalagi kiai, bukan makhluk pinggiran. Mereka pewaris ilmu dan adab. Generasi yang menegakkan bangsa dari bawah sajadah dan pojok peradaban. Ketika media mempermainkan identitas mereka, berarti mereka sedang mengguncang akar moral bangsa.

Yang lebih berbahaya dari penghinaan itu adalah efek domino-nya: publik awam yang tidak mengenal kehidupan pesantren bisa menelan mentah-mentah narasi tersebut. Lahirlah prasangka bahwa pesantren adalah ruang feodal dan kiai adalah kaum elit haus penghormatan. Inilah bentuk kerusakan moral paling halus—ketika kebodohan disiarkan dan kejujuran disembunyikan dibalik editing.

Permintaan maaf terdengar manis, tapi moralitas tak bisa ditebus hanya dengan kata “maaf.” Trans7 harus bertanggung jawab secara hukum dan etik. Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers harus turun tangan, bukan untuk membungkam media, tapi untuk menjaga martabat publik dari penyalahgunaan kebebasan.

Kebebasan pers bukan lisensi untuk menghina. Idealnya, dalam skala televisi nasional, informasi apapun yang disampaikan harus menjaga sikap profesionalisme dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penghormatan terhadap keragaman tradisi dan budaya tidak bisa disimplikasi dengan pandangan picik. Tayangan Trans7 menabrak prinsip itu: tidak konfirmasi ke pihak pesantren, tidak memberi ruang penjelasan, tidak cover both side, bahkan tidak menampilkan konteks sosial, budaya, dan sejarah. Jika itu bukan pelanggaran etika, lalu apa?

Sensor yang hilang bukan di ruang redaksi, melainkan di relung hati. Saat nurani tumpul, kamera berubah jadi senjata, bukan jendela kebenaran.

Kolonialisasi Narasi dan Penjajahan Makna

Yang dilakukan Trans7 sejatinya bentuk kolonialisasi baru: menguasai narasi pesantren dengan kacamata luar yang tak memahami nilai di dalamnya. Kamera datang tanpa permisi, menyorot tanpa empati, mengedit tanpa nurani. Pesantren direduksi menjadi tontonan, bukan ruang belajar dan berproses. Inilah bentuk ‘penjajahan kultural’ baru, ketika tradisi baik distereotipkan dengan ukuran pasar: rating dan viral.

Dalam dunia penyiaran, setiap potongan video adalah pernyataan ideologis. Saat santri digambarkan “ngesot” atau kiai disamakan dengan pengemis penghormatan, itu menanamkan persepsi bahwa dunia pesantren irasional dan primitif. Dari sinilah lahir generasi yang mencibir adab dan menjadikan hormat sebagai kelemahan.

Perlawanan terhadap tayangan ini bukan sekadar murka, tetapi upaya menjaga akal sehat bangsa. Kita sedang melawan erosi adab yang menyusup dari balik layar kaca. Kita ingin media belajar bahwa menghormati kiai bukan tindakan feodal, melainkan bukti beradab.

Santri tahu: marah pun ada adabnya. Mereka tidak membalas hinaan dengan kebencian, melainkan dengan keteguhan menjaga kehormatan gurunya. Maka reaksi terhadap Trans7 harus bermartabat. Berbagai upaya yang terukur tetap menjadi inti gerakan ini. Upaya hukum yang konstitusional serta perlawanan dengan adu argumentasi dan narasi tetap menjadi alternatif pilihan utama.

Peristiwa ini harus menjadi cermin bagi seluruh media nasional. Satu tayangan sembrono bisa menanam benih kebencian yang sistemik. Televisi nasional bukan sekadar penayang gambar, melainkan pembentuk cara bangsa berpikir. Karena itu, setiap potongan tayangan seharusnya lahir dari empati, bukan dari mengejar iklan dan pemirsa.

Bangsa ini tidak butuh media yang berani memprovokasi, tetapi media yang berani beradab. Dan bagi para santri, jangan biarkan marwah kiai diruntuhkan oleh kebodohan. Tanggapi dengan ilmu, sabar, dan langkah yang santun. Jangan sampai terjadi apa yang diharapkan oleh mereka yang picik memandang pesantren: para santri kehilangan akhlak sehingga berlaku anarkis bahkan kriminal.

Sebab dari pesantrenlah bangsa ini belajar, bahwa kekuatan sejati tidak lahir dari tangan yang mengepal penuh amarah—melainkan dari kepala yang menunduk. Dari hati yang tawadlu. Dari jiwa yang penuh hormat. Serta kemuliaan akhlak yang sarat akan cahaya kebaikan sebagaimana diteladankan oleh Sang Kiai.

Komentar