Suatu kali seorang kawan dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Soloraya memberikan materi literasi media kepada anak-anak muda di pinggiran Sukoharjo. Ia bertanya tentang batas wilayah kota Sukoharjo. Peserta bisa dengan mudah menjelaskan batas utara, selatan, barat dan timur dari kota yang mereka tinggali. Lalu, kawan saya dari Mafindo itu bertanya: jika kota punya batas wilayah, apa batas dari internet?
Banyak peserta menjawab internet tidak punya batas. Sekilas jawaban itu memang benar. Batas-batas telah luruh di internet. Ruang dan waktu terlipat. Tidak ada empat penjuru mata angin di internet. Namun, internet yang tanpa batas ini sering salah dimaknai, dianggap kita bisa bebas sebebas-bebasnya di internet, terutama di media sosial.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Gus Mus dicaci di media sosial oleh seorang laki-laki karyawan BUMN. Laki-laki itu meyampaikan umpatan yang tak pantas kepada Gus Mus. Karena viral, warganet sempat membuat petisi agar laki-laki itu dipecat dari tempat kerjanya. Namun Gus Mus justru melarang. Laki-laki yang garang di media sosial itu dipertemukan dengan Gus Mus di Rembang dan hanya bisa menunduk di hadapan Gus Mus. Menariknya, Gus Mus membagikan nomor Whatsapp ke laki-laki itu, dengan maksud jika ingin mengumpat langsung saja via Whatsapp, jangan di Twitter.
Faktanya, laki-laki itu memang tak mengenal Gus Mus sebelumnya. Tapi ia mudah saja melempar umpatan. Boleh jadi ia mengira jika internet adalah dunia tanpa batas, sehingga bisa berbuat semaunya, sebebas-bebasnya. Padahal etika yang kita pakai di dunia nyata, harus juga dipakai di dunia maya.
Fenomena membenci orang tak dikenal ini menarik. Banyak kasus ditemukan, yang terbaru adalah seorang pemuda yang ingin memenggal kepala presiden. Jika kita membenci orang yang sering berinteraksi dengan kita, karena perkataan atau perbuatannya ada yang menyakiti, itu mungkin masih wajar. Lha ini, bertemu tak pernah, berinteraksi apalagi, tidak kenal juga, tapi bencinya setangah mati.
Lalu, dari mana asal muasal kebencian itu? Sejumlah pakar melihat media sosial menjadi medium yang mampu menularkan kebencian itu. Di sana beredar kabar bohong, caci maki, desas desus, adu domba, prasangka, dan kebencian. Semua itu diproduksi hampir setiap hari. Apakah blokir adalah solusinya? Tentu saja tidak.
Strategi yang mestinya ditempuh adalah membangun kesadaran untuk memenuhi media sosial dengan hal-hal positif. Media sosial lebih butuh banyak cinta dan hal jenaka. Bukan provokasi, agitasi, prasangka dan dusta. Para tokoh dan elite politik mestinya memberi teladan. Internet harus dibanjiri dengan keadaban, bukan kebiadaban.
Beberapa hari ini saya menikmati #SowanKiai di Youtube mojok.co. Kru Mojok mendatangi sejumlah kiai dan membincang banyak hal. Saya kira konten semacam itu adalah oase di tengah panasnya hari hari-hari pasca pilpres. Di Twitter saya juga terhibur dengan akun-akun macam NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu, belakangan juga muncul Katolik Garis Lucu dan Hindu Garis Lucu. Akun-akun itu mengajak kita beragama dengan gembira dan tidak spaneng. Semoga lebih banyak akun serupa itu. Akun-akun itu seribu kali lebih baik dibanding akun-akun hasil ternak yang hanyak melulu memanaskan tensi politik.
Kiranya dengan konten-konten penuh cinta kasih dan hal jenaka (baca: receh) di media sosial, kehidupan kita sebagai sebuah bangsa jadi lebih baik. Sukar kita bayangkan negeri ini koyak karena perang saudara sebagaimana terjadi di negara-negara Timur Tengah.