Kata “khalifah” disebut dua kali dalam Quran. Dalam surah al-Baqarah: 30 dan surah Shad: 26. Ini artinya Quran mengandung konsep khilafah, meski secara harfiah tidak ada kata “khilafah” di dalamnya. Konsep itu diambilkan dari dua kata “khalifah” tersebut. Jika ada seorang khalifah, tentu ada tugas yang diusungnya. Khilafah adalah tugas yang diusung setiap khalifah. Sebelum ke mana-mana, sebelum kamu menuduh saya pro-khilafah, kita kupas dulu barang sedikit kata khalifah yang ada di al-Baqarah: 30 dan Shad: 26.

QS al-Baqarah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.

Al-Maraghi memberikan dua kemungkinan arti untuk kata khalifah dalam ayat ini: 1) pengganti atau penerus dari jenis (makhluk) sebelumnya, dan 2) wakil dari Allah dalam menjalankan perintah-perintah-Nya di tengah manusia. Saya kira, keduanya bisa berlaku secara bersamaan. Dalam hal ini Adam yang dicanangkan Allah dan dikabarkan-Nya kepada para malaikat bahwa ia akan dijadikan khalifah di muka bumi, adalah pengganti dan penerus “makhluk” jenis lain sebelumnya yang juga pernah mendapat tugas yang sama. Ketika tugas itu dipikul Adam, di saat itu pula ia menjadi wakil-Nya di bumi untuk mengelolanya sesuai kehendak-Nya. Penerus bagi yang sebelumnya sekaligus mewakili-Nya mengelola, mengatur dan memakmurkan bumi.

Masih bersama al-Maraghi, ayat ini sedang memancangkan pemahaman dalam benak kita, umat manusia, tentang penciptaan Adam dengan segala keistimewaan yang dimilikinya. Ketika Allah mengabarkan kepada para malaikat bahwa Dia akan menjadikan Adam khalifah di bumi, mereka heran seraya bertanya, “Bagaimana Engkau menciptakan makhluk jenis ini yang memiliki kehendak mutlak dan pilihan tak terbatas. Bisa jadi dengan kehendak bebasnya ia malah berbuat fasad, yakni tindakan-tindakan kontra kemaslahatan dan kebijaksanaan.”Kepada para malaikat yang merasa heran, Allah menegaskan bahwa tugas mereka hanya taat dan tunduk kepada Zat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Sedang QS Shad: 26: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Untuk ayat ini, kita ambil fafsir al-Razi yaitu Mafatih al-Ghaib yang kadang disebut juga al-Tafsir al-Kabir. Kata khalifah pada ayat ini, kata al-Razi, memiliki dua makna. Pertama: “Kami jadikan kamu pengganti atau penerus para nabi terdahulu dalam berdakwah dan mengatur umat manusia.” Kedua: “Kami jadikan kamu penguasa atas manusia dan pelaksana hukum di tengah mereka.” Seperti kita lihat, dua kemungkinan makna ini mirip dengan makna kata yang sama dalam QS al-Baqarah: 30 sebelum ini.

Masih bersama al-Razi. Mengapa Nabi Daud diperintah untuk memerintah di antara manusia dengan kebenaran? Karena harus diketahui bahwa manusia diciptakan sebagai makluk sosial (madaniyun bi al-thab’i). Seorang manusia tidak akan mampu mengurus hajat hidupnya sendirian. Ia butuh satu tatanan masyarakat di mana para warganya berbagi peran: ada yang menanam, ada yang mengolah hasil panen, ada yang membuat roti, ada yang memintal benang, ada yang membuat pakaian, dan seterusnya. Masing-masing fokus pada pekerjaan dan tugasnya. Dalam pada itu, ketika mereka berkumpul di satu tempat yang sama, sangat terbuka kemungkinan terjadi perselisihan dan benturan. Ketika itu harus ada orang yang kuat; punya kuasa dan kemampuan memutus perselisihan dan benturan itu. Dialah penguasa yang menjalankan hukumnya atas semua secara adil.

Seperti saya nyatakan di awal, dari Q.S. al-Baqarah: 30 dan Shad: 26 kita dapat katakan bahwa dalam Quran ada konsep khilafah. Bagaimana tidak, sedang ia menyebut dua kali kata khalifah. Dari dua kata khalifah tersebut kita dapat menarik dua konsep khilafah yang antara keduanya terdapat persamaan dalam satu sisi dan perbedaan di sisi lain. Konsep khilafah dalam Q.S. al-Baqarah: 30 adalah khilafah insan fi al-ardh; kepemimpinan manusia di bumi sebagai wakil Tuhan untuk mengelola, mendayagunakan sumber dayanya, serta memakmurkannya. Terkait dengan ayat ini antara lain QS al-Ahzab: 72, al-Isra`: 70, al-Hijr: 28-29, al-Jatsiyah: 12-13, al-Nahl: 5, Nuh: 19-20, dan al-Zukhruf: 10-13.

Sedang konsep khilafah yang terdapat dalam Q.S. Shad: 26 sudah mengacu ke hal-hal yang lebih “teknis-politis”. Yakni Nabi Daud diangkat langsung oleh Allah menjadi khalifah (raja) untuk memutus perkara di antara manusia dengan adil. Dalam kaca-mata Q.S. al-Baqarah: 30, semua manusia adalah khalifah dengan titah khilafah berupa kewajiban mengelola dan memakmurkan bumi sealur dengan petunjuk-Nya. Tapi dalam kerangka Q.S. Shad: 26, tidak semua manusia adalah khalifah. Tidak semua jadi kepala negara atau pemerintahan. Kebanyakannya justru rakyat atau warga negara yang kemaslahatan, kebaikan dan kesejahteraannya menjadi tanggung-jawab para khalifah (penguasa). Dalam konteks sekarang mungkin dapat diijtihadi bahwa Daud dalam QS Shad: 26 adalah para kepala negara atau pemerintahan yang dipilih berdasar mekanisme politik tertentu yang disepakati oleh tiap-tiap negara-bangsa.

Lalu di mana posisi khilafah yang digembar-gemborkan oleh HTI? Dari dua konsep khilafah di atas, silakan cari cantolannya. Jika tidak ditemukan, maka kemungkinan besar cantolannya adalah sejarah politik umat Islam. Jika demikian, sejarah politik Islam menawarkan banyak sekali haluan dan bentuk serta corak-pendekatan. Mulai dari khilafahnya empat khalifah pertama, Dinasti Umawi, Dinasti Abbasi, Umawi Andalusia, Fatimi, Mamalik, Utsmani, Shafawi, hingga Mughal. Haluan dan bentuk serta corak-pendekatan khilafah mana pun yang dijadikan cantolan, selama itu lahir dari rahim sejarah, maka sifatnya ijtihadiah yang belum tentu cocok diterapkan di era sekarang terlebih dalam sebuah negara-bangsa yang pilar-pilar kenegaraan serta kebangsaannya sudah kokoh dan mapan.

Terakhir, ini penting saya utarakan, jangan sampai meng-iblis-kan orang yang menolak atau mengkritik konsep khilafah dalam kerangka yang terakhir. Yakni konsep politik Islam yang padanya melekat warna historisitas dan sipuhan-sipuhan ijtihadiah. Jika ada yang perlu dihidupkan kembali dari “puing-puing” Islam klasik, maka itu adalah ruh kebudayaan Islam yang—meminjam Cak Nur– merefleksikan kosmopolitanisme.


sumber tulisan: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217668245554235&id=1122386714

Komentar