Selepas sahur kemarin, saya menyelesaikan bagian pertama celotehan buku Francois Gauthier, Religion Modernity Globalisation: Nation-State to Market (2020). Di situ saya merangkum tiga konsep kunci Gauthier: reformasi neoliberalisme, marketisasi dan budaya konsumerisme. Marketisasi menjadi semacam perantara neoliberalisme dan konsumerisme. Neoliberalisme berikhtiar mengkomoditisasi pengetahuan, pendidikan, kesehatan dan berjargon “survive in competitive environment”. Konsumerisme mengkomodifikasi makna, otentitas, dan identitas di bawah kredo “competing for choice” (202).

Dalam proses neoliberalisasi agama, Gauthier memperingatkan kemunculan otoritas-otoritas karismatik. Model otoritas ini berbeda sama sekali dari otoritas tradisional. Model tradisional memupuk otoritas dari sebuah institusi mapan yang syarat modal pengetahuan legitimit. Otoritas karismatik dibesarkan oleh media dan bisnis. Gauthier menyebut nama-nama seperti Oprah Winfrey, Deepak Chopra, Echkart Tolle dan Amr Khaled sebagai contoh. Otoritas karismatik hadir bukan dari institusi yang merawat rutinitas kesalehan, para pemilik otoritas ini cukup mengandalkan momen dan acara-acara hits yang membuat para follower merasakan refleksi hijrah dan histeria kesalehan.

Kini saatnya membaca Gauthier mengimplementasikan pendekatannya dalam konteks Indonesia. Mengapa Indonesia? Ia membabarkan selain sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia sedang mengalami religious change ‘perubahan agama’ yang berkelindan dengan transformasi sosial, politik dan budaya. Transformasi ini laik dianalisis sebagai sebuah peristiwa yang terjadi dalam konteks bukan Barat. Gauthier ingin menguji bagaimana nasib teorinya jika digunakan untuk melihat peristiwa sosial di belahan bumi bukan Barat tersebut.

Deskripsi pertama Gauthier fokus pada bagaimana negara mengelola agama. Ungkapnya, agama di Indonesia “was nationalized and statised” pada masa Orde Soekarno. Menginjak Orde Soeharto, didiskusikan bagaimana pemerintahan ini melakukan industrialisasi sebagai terjemah modernisasi, dengan meletakkan para ahli ekonomi didikan madzab neoliberal Amerika di pos-pos sentral ekonomi pemerintahan. Program developmentalisme memiliki dampak dalam dunia agama di Indonesia saat itu, yaitu munculnya kebangkitan Islam pada tahun 1990an. Sayang sekali, Gauthier tidak menempatkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dalam peran penting proses merebaknya kelas menengah Muslim di Indonesia.

Setelah Soeharto tumbang, kebangkitan Islam semakin menggelora. Dalam analisis Gauthier, budaya populer ikut memberi warna kebangkitan tersebut. Budaya populer Barat maupun Timur melakukan penetrasi ke dalam wajah Islam baik melalui televisi, majalah, buku atau musik. Melalui manajemen Qalbu (MQ), Aa Gym mewakili provider kesalehan baru yang diderivasi dari tasawuf modern dan manajemen motivasi model Steven Covey’s the Seven Habits. Zikir massal disebut sebagai teladan lain bagaimana kesalehan baru ditawarkan melalui pola-pola pengelolaan emosi dan refleksi di sebuah tempat yang mana jemaat dapat menangis bersama.

Hard work is part of our worship’. Mengutip Rudnyckyj (2010), Gauthier mengemukakan kembali bagaimana program ESQ digunakan sebagai sarana pelatihan karyawan-karyawan sebuah perusahaan terkenal untuk membangun kinerja berbasis keimanan. ESQ menjadi prototipe motivasi dalam proses-proses pengembangan manajemen Islam di dalam sebuah perusahaan (sekuler). Narasi ini dilanjutkan dengan menyuguhkan spiritualitas baru wajah Muslim Indonesia yang menyeruak ke industri-industri jilbab dan busana Muslim lainnya. Industri lain yang disebut di sini seperti  keuangan Islam dan sertifikasi halal. Perubahan wajah Islam ini menegaskan bagaimana perubahan pola keberagamaan terjadi di Indonesia selama satu abad ini.

Dengan menaruh Indonesia sebagai kasus, Gauthier ingin menegaskan kembali proses marketisasi mengubah wajah agama. Bukan hanya Islam sebenarnya, hal tersebut juga terjadi di agama-agama lain, yang kemudian pola ini dirangkum dengan istilah prosperity religion, keberagamaan yang menawarkan kesejahteraan. Namun sayang, Gauthier hanya menggunakan referensi minim untuk menguraikan wajah Islam Indonesia yang berubah. Seandainya dia mau bertandang ke Indonesia untuk melirik secara langsung gerakan-gerakan spiritualitas dan kesalehan baru di lapangan pasti analisisnya akan semakin kompleks.

Terlepas dari masih adanya huruf berdesakan karena proses lay-out yang error (137), sekali lagi buku ini mampu mempersembahkan teoritisasi religious market secara mendalam. Cakupannya juga universal; apa yang disampaikan Gauthier di sini dapat digunakan untuk melihat fenomena perubahan wajah agama-agama, di luar Islam, dengan logika pasar. Gauthier telah membuktikan bahwa teoritisasinya bukan hanya sebuah penerjemahan kosakata ekonomi ke dalam perubahan agama. Istilah yang digunakan didukung dengan proses reasoning yang njlimet dan berbasis pada konsep-konsep sosial budaya. Gauthier menekankan urgensi antropologi dalam melihat religious market.

Terbitnya Religion Modernity Globalisation: Nation-State to Market melengkapi referensi tentang religious market di Indonesia sebelumnya. Riset Daromir Rudnyckyj (2010) dan James Hoesterey (2016) sebelumnya menjadi tonggak kajian religious market di Indonesia. Tentu kita tidak dapat melupakan Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) sebagai embrio telaah tentang isu ini. Nation-State to Market dapat digunakan untuk membaca kembali temuan-temuan dalam buku-buku tersebut, agar tercipta teoritisasi market Islam yang lebih sistematis.

Belum lengkap rasanya, apabila saya tidak menyebut antologi buku lain untuk melengkapi referensi tentang religious market. Religion and the Morality of the Market (2017) dan Modern Religiosities, Modern Capitalism and Moral Complexities in Southeast Asia (2017) adalah dua buku antologi yang menelusuri hubungan agama dan pasar di beberapa daerah. Dua buku tersebut juga memberikan tawaran alternatif dalam melihat hubungan agama dan pasar. Tentu tak cukup sampai di situ, masih banyak referensi lain yang terselip dalam ingatan tak mungkin disebut di sini. Satu lagi yang ingat, misalnya, Muslim Piety as Economy: Markets, Meaning and Morality in Southeast Asia (2020) juga layak ditelaah.

Buku Gauthier penting digunakan untuk mahasiswa studi Islam atau studi agama-agama yang ingin melihat fenomena perubahan keagamaan dari sudut pandang ekonomi politik. Jalinan analisis neoliberalisme, konsumerisme dan marketisasi yang ditawarkan akan membuka celah yang tak terpikirkan bagi penelitian-penelitian sosial keagamaan. Menjamurnya gerakan-gerakan kesalehan kaum muda, dengan coach-coach selebnya, semakin menandaskan bahwa teoritisasi tentang religious market memang urgen diperlukan untuk menjadi kacamata bedah fenomena tersebut. Untuk apa? Tak lain untuk mengintip dinamika perubahan wajah Islam Indonesia yang semakin menggairahkan ini.

 

 

Komentar