Sukron Mazid*

Bagi umat Islam di Nusantara, Ramadan bulan yang mulia ini disambut dengan suka-cita, Masjid dan Musola bersolek dari sudut kota sampai pelosok desa. Terlebih bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadan dianjurkan menyiapkan diri dan menyambutnya dengan hati serta riang gembira. Ibarat seseorang yang akan mendapat kado terindah, tak cuma wajah, tubuh dan berpakaian serta dandanan yang harus diperbaiki, tetapi penampilannya sebisa mungkin menarik. Selain itu, hati dan bekal amalan juga perlu dipersiapkan. Mempersiapkan diri secara lahir dan batin agar senantiasa menjalani ibadah dengan khusyuk, istiqomah, tulus, ikhlas dengan ridho Allah Swt. Ibadah pada bulan Ramadan baiknya diperkuat dzikir, amalan-amalan, dan memperbanyak sunah-sunah, bersedekah dan membuat kebajikan.

Ada yang menarik ketika memaknai frame Pancasila di bulan Ramadan. Ajaran wali sembilan mewariskan tatanan peribadatan pola sosial kemasyarakatan. Jejak situs-ritus tertanam pada akulturasi agama dan kebudayaan sebagai symbol eksistensi keagungan. Termasuk tradisi-tradisi sebelum dan sesudah bulan Ramadan (puasa) sampai saat ini masih dilestarikan. Makna dari tradisi, memberikan pemahaman akan arti pentingnya sisi kemanusiaan yaitu kolektivitisme serta gagasan sosialistik. Perlunya keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memunculkan paradigma baru, yaitu relevansi kehidupan dalam beragama di Nusantara, salah satunya memaknai bingkai Pancasila dalam Ramadan termaktub pada sila-sila Pancasila.

Pertama, nilai ketuhanan; ke-Esa-an, setiap insan beribadah semata-mata karena Allah Swt. Menjalankan tuntunan perintah dan menjauhi laranganNya, memohon dan berpasrah diri agar setiap laku hidupnya diridhoi serta memperoleh rahmat, hidayah dan inayah. Di bulan Ramadan ini seperti ngaji, berdzikir, shalawat, qiyamul lail, tadarus, bersedekah, dan berbuat kebajikan disemarakkan agar membentuk pribadi yang bertakwa.

Kedua, nilai kemanusiaan; nilai universalnya yaitu kebaikan dan kebenaran. Hakikatnya hal baik atau buruk pada sisi kemanusiaan. Berkontemplasi dan intropeksi diri di bulan suci Ramadan, pada diri pribadi dari sifat tercela seperti menjaga lisan dan perbuatan untuk tidak saling menggunjing, membenci, dan menyakiti kepada siapa saja serta menjunjung tinggi akhlak, bertoleransi, tolong-menolong, menghargai, dan menghormati sesama umat beragama dalam setiap perbedaan.

Ketiga, nilai persatuan; gotong-royong cerminan masyarakat nusantara, tersaji sebelum bulan Ramadan, seperti nyadran yaitu sebuah tradisi membersihkan kuburan dan mengirim doa untuk nenek moyang secara bersama-sama dalam satu desa. kemudian adanya bersih-bersih masjid/ musola dengan semangat gotong royong sebagai bekal persiapan ibadah di bulan Ramadan. Selanjutnya salat tarawih berjamaah, tadarus bersama menyiratkan pesan akan pentingnya kerukunan dalam setiap aktifitas. Guyup rukun menjadi simbol makna bersatu dalam kebersamaan. Konsep bersatu di sini sebagai ukhuwah insaniyah dan ukhuwah islamiyah.

Keempat, nilai musyawarah; Berembuk sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia, musyawarah identik dilakukan dalam setiap memutus persoalan baik di keluarga maupun masyarakat. Setiap takmir Masjid/ Musola akan bermusyawarah terkait pelaksanaan dan kegiatan bulan ramadan, di antaranya adalah jadwal pembagian takjil, imam tarawih, pengisi kajian (kultum), panitia peringati nuzulul qur’an, dan pembentukan panitia zakat fitrah. Ini sesuai konsep Pancasila yaitu asa musyawarah mufakat.

Kelima, nilai keadilan; Adil menjadi sebuah tabiat persamaan diri manusia. Bulan Ramadan, keadilan terbungkus dari representasi kegiatan yang ada di masyarakat. Seperti buka bersama di Masjid pembagian menu/sajian/nasi kotak dengan merata isinya sama baik untuk anak, remaja dan orang tua. Kemudian ronda keliling untuk bangunkan warga sahur, apapun profesinya; pegawai, pedagang, buruh atau petani semua harus terjadwal dengan adil, tidak membeda-bedakan kelas (stratifikasi sosial) semua warga masyarakat akan merasakan dan menikmatinya. Ini menandakan bahwa semangat kebersamaan berkeadilan dituangkan dalam kegiatan di bulan ramadan, tanpa membeda-bedakan perlakuan warga masyarakat.

Momentum Ramadan ini perlu kita syukuri, falsafah Pancasila menjadi laku hidup dalam berbangsa dan bernegara. Beribadah di bulan Ramadan melalui kegiatan keagamaan tercermin dari setiap sila Pancasila; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. ini menjadi sekelumit teladan kerukunan dan kebersamaan umat beragama dalam bingkai Pancasila. Pembelajarannya adalah Pertama, Indonesia sebagai surga dunia, kekayaan sumber daya alam serta keragama suku, agama, ras dan adat-istiadat patut kita banggakan dan syukuri. Kedua, semangat ibadah bulan Ramadan dilakukan dengan khusyuk, istiqomah agar mencapai kesalehan. menggapai surganya dan bisa mendapat ridhonya, dengan sealalu taqarrub kepada Allah Swt.

*Pengasuh Padepokan Linglung Bi Dzikri dan Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UNTIDAR & UNSIQ

Komentar