“Sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia, wajar saja jika ada oknum yang tidak ingin Indonesia damai.”
Statemen di atas terlontar dari Dr. Imam Safe’i., M.Pd. Beliau adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Saya berkesempatan bertemu dengan beliau dalam diskusi ilmiah dengan judul “Peran PTKIN dalam Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Indonesia” di kampus IAIN Surakarta, Senin (19/06).
Diskusi yang juga dihadiri oleh para pejabat kampus ini, menambah wawasan saya terkait peran perguruan tinggi dalam menangkal gerakan radikalisme di Indonesia. Baik di bawah Ristekdikti dan khususnya perguruan tinggi di bawah komando Kementerian Agama. Maraknya aksi terorisme dan merebaknya pemahaman berbahaya tersebut menjadi concern tersendiri bagi kalangan civitas akademika.
Tahun 2017 lalu, upaya preventif dalam menekan paham radikalisme sudah dilakukan oleh PT (perguruan tinggi) yang ada di wilayah Jawa Barat (Lipi.go.id, 2017). Para rektor perguruan tingi negeri (PTN) dan swasta (PTS) di wilayah Jawa Barat (Jabar) sepakat membuat deklarasi bersama antiradikalisme di dalam lingkungan pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi. Deklarasi ini pun terwujud di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
Banyak tokoh nasional dan Jabar yang menghadiri deklarasi tersebut. Rektor dan perwakilan rektor dari 47 PTN dan PTS se-Jabar hadir di sini. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), M Natsir, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, bersama pejabat Badan Nasional Penanggulangan Teroris ikut hadir dan memberikan sambutan.
Ada empat pernyataan sikap yang dibacakan. Pertama, menyatakan berpegang teguh terhadap Pancasila, UUD 1945, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, bertekad mempersiapkan dan membentuk generasi muda yang berjiwa nasionalis, demokratis, jujur, dan berkeadilan dengan menjunjung nilai-nilai agama, kemajemukan, kerukunan, HAM, dan kesatuan.
Ketiga, menolak organisasi dan aktivitas yang berorientasi atau berafiliasi dengan gerakan radikal, teroris, atau yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat, Mengajak komponen bangsa untuk mencegah penyebaran faham radikalisme dan terorisme.
Azyumardi Azra, tokoh intelektual muslim, dalam kolomnya yang berjudul Radikalisme di Perguruan Tinggi” (Republika.co.id, 2018) menekankan pentingnya para civitas akademika untuk mencermati dan mewaspadai bukti-bukti kuat adanya infiltrasi dan penyebaran paham radikal di lingkungan kampus yang semakin menjadi-jadi.
Hal ini diperkuat dengan laporan Budi Gunawan, kepala BIN, menyatakan adanya tiga PTN sebagai tempat penyebaran paham radikal. Dia tidak menyebut eksplisit nama ketiga PTN tersebut di antara 20 PT di 15 provinsi yang menjadi sasaran survei BIN.
Budi Gunawan mengungkapkan lebih jauh, 39 persen mahasiswa dari berbagai PT di Indonesia telah terpapar paham radikal. Dari pernyataan Budi Gunawan, kata ‘terpapar’ tampaknya berarti sekaligus mengikuti paham radikal. Selanjutnya, menurut dia, 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen siswa SMA setuju dengan ‘jihad’ untuk menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah. Miris.
Anas Saidi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan upaya untuk mengatasinya perlu strategi kebudayaan yang menyeluruh dan berkesinambungan. perlu deradikalisasi secara halus lewat bahasa-bahasa agama yang relevan dan sosialisasi pandangan tentang adanya nilai-nilai afinitas antara Islam dan Pancasila. Ini untuk mengembalikan corak keagamaan yang jadi ciri khas Islam di Indonesia, yaitu inklusif, toleran, dan moderat.
Hal senada juga disampaikan Imam Safe’i, bahwa sikap moderat adalah benteng terakhir umat Islam saat ini. PTKIN khususnya harus mengambil peran penuh dalam diseminasi pemahaman ini di lingkungannya. Dimulai dari rektor sampai ke level terbawah sekalipun. Kemudian, muncul sebuah pertanyaan, mengapa harus moderat?
Mengapa Harus Moderat?
Muchlis M. Hanafi dalam bukunya Moderasi Islam (2013), menyatakan umat Islam seharusnya bersikap moderat. Hal ini sesuai dengan apa yang ada di QS. Al-Baqarah [2]: 143 yang menyebut karakteristik umat Islam sebagai ummatan wasathan dengan pengertian tengahan, moderat, adil dan terbaik.
Sifat wasath ini diperoleh karena ajaran yang dianutnya bercirikan wasathiyyah. Karakter dasar ajaran Islam yang moderat saat ini tertutupi oleh ulah sebagian kalangan umatnya yang bersikap radikal di satu sisi dan liberal di sisi lain.
Kedua sisi ini tentu berjauhan dengan titik tengah (wasath). Mungkin ada benarnya ungkapan sementara kalangan yang menyatakan Islam tertutupi oleh umat Islam (al-Islam mahjuubun bi al-Muslimin).
Ciri-ciri sikap moderat seorang muslim bisa dilihat dari hal-hal berikut ini: Pertama, memahami realitas. Kedua, memahami fiqih prioritas. Ketiga, memahami sunnatullah dalam penciptaan. Keempat, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama. Kelima, memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Keenam, terbuka dengan dunia luar, mengedepankan dialog dan bersikap toleran.
Lebih lanjut dia menjelaskan ada beberapa faktor yang membuat umat Islam jauh dari wasathiyyah yang ditandai dengan beberapa sikap, antara lain: Fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu pandangan, cenderung mempersulit dalam hal-hal amaliyah, berperasangka buruk kepada orang lain, dan yang terakhir mengkafirkan orang lain.
Dari paparan di atas, kita seharusnya sadar bahwa paham radikalisme bisa menyerang siapa saja. Sudah sepantasnya umat Islam di Indonesia saling menjaga dan melindungi, begitu juga dengan umat dari agama lain. Tugas tersebut tidak sepenuhnya kita serahkan kepada pemerintah, tapi kita bisa memulai dari lingkungan kita sendiri.
Sebagai penutup, mari kita renungi quote dari ulama karismatik NU, Habib Luthfi Bin Yahya. “Jangan main-main dengan Indonesia, karena negeri ini didoakan oleh para wali baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup”. Saya sempat berpikir, apakah kita harus menyewa John Wick untuk melawan terorisme dan paham radikalisme di Indonesia? Semoga saja tidak. Bagaimana dengan Anda?
*Teman belajar di jurusan Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta.