Umat Islam di seluruh penjuru dunia merasa gembira dengan kehadiran bulan Ramadan. Tak terkecuali di Indonesia. Puasa yang kita jalani seharian, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, tidak saja untuk menahan lapar dan dahaga. Memang puasa akan menjadi sah jika kita memenuhi syarat dan rukunnya.
Akan tetapi ibadah yang baik adalah ibadah yang memiliki dampak positif bagi diri sendiri dan bagi lingkungan sekitar, terlebih lagi puasa Ramadan yang sebenarnya memiliki dampak sosial yang tinggi jika kita betul-betul memahaminya. Selain memperbanyak amal ibadah di sepanjang bulan Ramadan, yang sangat penting kita jaga yaitu perilaku kita. Jangan sampai kita melakukan perilaku-perilaku yang buruk dan bertentangan dengan spirit puasa, yang mana kita menahan diri dari berbagai keharaman.
Ramadan adalah madrasah. Tempat belajar dan tempat didik yang harus dimasuki manusia. Karena di dalamnya terdapat banyak pelajaran tentang perbaikan diri, seperti pengembangan rasa dan peluasan pemahaman tentang ajaran Islam. Dengan begitu, manusia bisa memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta. Selama ini kita mungkin merasa sangat senang jika mendapat undangan buka bersama (bukber) di rumah teman, kerabat, atau saudara. Namun, mulai sekarang mari kita ubah mindset atau cara berpikir, bagaimana agar bulan puasa tahun ini dan seterusnya kita tidak hanya menerima undangan bukber ‘gratis’, tetapi juga menjadi tuan rumah yang mengundang orang lain untuk menikmati hidangan berbuka puasa.
Rasulullah SAW bersabda :
من أفطر صائما فله أجر صائم ولا ينقص من أجر الصائم شيء
Artinya: “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR at-Tirmidzi).
Secara jelas hadits di atas mendorong seseorang melakukan hal kebaikan saat bulan Ramadan, seperti bersedekah dengan memberi makanan atau minuman kepada sesama muslim untuk berbuka puasa. Karena pahala yang diperoleh pun tidak tanggung-tanggung, yaitu mendapat nilai yang sama besarnya dengan orang yang melaksanakan puasa. Ini merupakan bukti bahwa dalam ibadah puasa terdapat solidaritas sosial yang sangat tinggi. Puasa harus dijadikan titik ulang untuk menumbuhkan kembali rasa syukur kita akan segala sesuatu. Diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan minuman), kemudian berlanjut ke berbagai hal. Tapi kita juga harus memahami, apa itu “syukur”.
Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi syukur dalam tiga kategori. Dia mengatakan:
والشكر علي ثلاثة أضرب: شكر بالقلب، وهو تصور النعمة. شكر باللسان، وهو الثناء علي المنعم.
وشكر بسائر الجوارح، وهو مكافأة النعمة بقدر استحقاقه
Artinya : “Syukur terdiri dari tiga tipe: (1) syukur dengan hati, yaitu pembayangan (atau penggambaran) nikmat (dalam hati), (2) syukur dengan lisan, yaitu pujian kepada pemberi nikmat, dan (3) syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas (didapatkan tubuh)” (Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 334).
Itu artinya, syukur harus dilatih dan dihadirkan. Dan puasa adalah aktivitas yang tepat untuk melatih rasa syukur. Seperti yang disebutkan di atas, dengan berpuasa, tanpa sadar kita mulai mengapresiasi setiap hal yang seharusnya diapresiasi, seperti air minum, makanan dan lain sebagainya, yang nilainya sering kita abaikan. Karena itu, kita harus mulai melatih rasa syukur dari yang paling ringan, seperti bersyukur dengan hati dan lisan dengan mengucap “Alhamdulillah”.
Tulisan ini merupakan kerjasama antara UKM LPM Dinamika dengan “islamsantun.org”.
Risca Putri Pratama, Mahasiswi program studi Manajemen Dakwah di UIN Raden Mas Said Surakarta