PP Lingkar Studi al-Quran (LSQ) ar-Rohmah adalah salah satu pesantren mahasiswa di Bantul Yogyakarta yang masih tetap menjaga tradisi sorogan sebagai salah satu proses transmisi dan transformasi pengetahuan di Pesantren. Di tengah gempuran arus informasi dan medsos yang semakin banyak, PP LSQ tetap menjaga tradisi para ulama dan kiai pesantren dalam belajar kitab Kuning. Meski demikian, PP LSQ ar-Rohmah juga tetap mengikuti perkembangan zaman dengan tetap memanfaatkan medsos untuk penyebaran ilmu (nasyrul ilmi). Maka, PP LSQ juga membuat website https://www.lsqarrohmah.com/ dan channel LSQ TV https://www.youtube.com/channel/UCF2ynj_tec7pvfXmp7qpF9w yang berisi informasi serta kajian kajian keislaman, terutama kajian al-Qur’an, tafsir dan Hadis. Tulisan ini akan menjelaskan tentang tradisi sorogan, teori dan maknanya dalam konteks transmisi pengetahuan.
Foto pengasuh pesantren LSQ Ar-Rohmah dengan para santri
Apa Itu Tradisi Sorogan?
Sorogan adalah salah satu model proses transmisi pengetahuan yang khas alâ pesantren, khususnya pesantren-pesantren salaf di Nusantara. Kata sorogan dalam Bahasa Arab dapat diterjemahkan dangan qara’a `alâ al-ustâdz ( membaca dihadapan guru). Praktik tradisi tersebut dilakukan dengan cara, di mana para santri membaca “Kitab Kuning”, dengan bacaan baik dan benar secara gramatika Bahasa Arab di hadapan Syaikh, Kiai/Nyai atau ustadz/dzah.
Dalam tradisi Sorogan, biasanya santri terlebih dahulu mempersiapkan dengan baik malam harinya, agar ketika ia membaca di hadapan gurunya, relatif tidak banyak salahnya. Itu sebabnya, santri dituntut lebih aktif dan kreatif dalam belajar dan muthâla’ah , baik ketika mempersiapkan maqra’ (sesuatu yang akan dibaca), lengkap dengan “makna gandul” dan terjemahnya secara mandiri, maupun saat membaca di hadapan gurunya.
Saat sorogan itulah Kiai/Nyai, guru mendengarkan sambil mengoreksi bacaan dan terjemahan yang dinilai kurang tepat. Ada pula model sorogan yang dilakukan dengan cara para santri menyalin teks kitab dengan tulisannya sendiri di buku tulis, lalu diberi harakat (syakl) lengkap dan makna gandul, kemudian dibaca di hadapan gurunya. Cara ini biasa dilakukan oleh santri yang baru belajar kitab kuning, sembari belajar cara menulis teks Arab. Kemudian, setelah selesai, santri akan salaman dengan kiainya sambil mencium tangannya, sebagai simmbol tawadu’ dan hormat pada ilmu dan ilmuan. Jadi, bukan kultus lho, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang tidak memahami tradisi tersebut. Setelah itu, maka Kiai/guru akan memberi tanda tangan atau paraf di kitab yang dipakai sorogan pada bagian yang baru saja dibaca, lengkap dengan tanggal dan tahunnya.
Proses ngaji sorogan ini biasanya dilakukan di waktu pagi, setelah shalat Shubuh berjama’ah, setelah baca wiridan dan muraja’ah (mengulang-ulang hafalan) Juz `Amma. Ini misalnya dipraktikkan di pesantren LSQ ar-Rohmah Bantul Yogyakarta, pesantren yang khusus menampung para mahasiswa yang kuliah di UIN Sunan Kalijaga, UNY, UGM, IIQ, an-Nur, UAD. Begitu juga di Pesantren Krapyak dan pesantren lain yang masih memegang teguh tradisi sorogan. Al-Marhum KH Ali Maksum (guru penulis) adalah salah seorang Kiai yang sangat getol mempertahankan tradisi sorogan ini. Sedemikian semangat beliau mengawal tradisi ini, dulu para santri Krapyak wajib sorogan. Jika tidak sorogan, maka santri akan mendapat ta’zir (sangsi) dari beliau; mulai dari disuruh buang sampah, memijat beliau, sampai suruh nguras kolah dan membersihakn WC dan kamar mandi.
Menurut sebagian peneliti, tradisi sorogan baca kitab ini sangat efektif, katimbang model ngaji bandongan (ngaji dimana guru yang membaca, santri mendengarkan). Mengapa, karena santri memang harus lebih aktif untuk praktik membaca dan memahami kitab yang dibaca. Disamping itu, dengan sorogan santri akan lebih bisa terkontrol, bagaimana progress skill (ketrampilan) membaca kitab tersebut. Bahkan di sela-sela sorogan, santri bisa langsung mendapat keterangan praktis dan detail dari gurunya, mengenai makna kosa kata, i’rab dan kandungan makna teks yang belum dipahami.
Sorogan sebagai Fenomena Living Qur’an-Hadis
Tradisi sorogan ini termasuk bagian dari fenomena Living Qur’an dan Hadis di Pesantren. Artinya, bahwa praktik tradisi ini secara material maupun secara substantiatif memiliki relasi dengan teks utama dalam tradisi Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Meminjam teori Talal Asad, dalam salah satu artikel The Idea of Antropology in Islam 1986” bahwa Islam adalah discursive tradition (tradisi diskursif) bahwa setiap praktik tradisi dalam komunitas masyarakat muslim pasti selalu ingin dirujukkan pada teks al-Qur’an dan hadis. Tradisi sorogan ini intinya adalah proses belajar mengajar, motode dalam transmisi dan transformasi pengetahuan. Maka, jelas bahwa sorogan memiliki jangkar epistemologi dari al-Qur’an dan Hadis. Ada sekian ayat dan hadis yang memerintahkan untuk belajar, membaca dan meneliti. Misalnya, al-`Alaq:1-5, al-Ankabut: 43, al-Zumar: 9 dan al-Mujaidilah: 11). Ada sekian hadis yang mendorong untuk belajar dan mencari ilmu, antara lain; “Barang siapa yang hadir di majelis ilmu, niscaya akan diturunkan ketenangan di nauingi para malaikat dan disebut-sebut Allah di hadapan makhlukNya yang di langit (H.R Muslim), “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menunut ilmu niscaya akan dimudahkan jalan baginya ke surga (HR. Muslim), “Barangsiapa yang mengajarkan suatu ilmu, maka Allah Swt memberikan pahala kepada yang mengajarinya, tanpa mengurangi orang yang mengamalkan ilmu tersebut (HR Ibnu Majah).
Mengapa kemudian muncul fenomena living Qur’an-hadis? Itu karena Al-Qur’an dan Hadis dipandang bukan hanya sebagai fakta linguistic, yang dalam kemudian melahirkan berbagai ragam terjemah, kitab-kitab tafsir dan kitab syarh, namun juga fakta sosial , sebab teks tersebut dapat dibaca sebagai sumber pengetahuan yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, mengubah persepsi dan tindakan yang diambil, termasuk semangat belajar kitab kuning melalui tradisi sorogan. Praktik tradisi dan perilaku itu pasti punya relasi atau jangkar epistemologi dengan teks al-Qur’an dan hadis, agar tradisi dapat dinilai otentik dan legitimet. Dalam saat yang sama, bagi Talal Asad, tradisi itu tidak statis, melainkan dinamis, dari waktu ke waktu. Di situ ada proses negosiasi apropiasi antara teks teks yang dipahami dengan konteks sosial masyarakat yang dinamis. Maka, di situ praktik sosial keagamaan suatu pesantren tertentu, termasuk tradisi sorogan, tentunya bisa saja berbeda dengan pesantren yang lain.
Apa saja Makna dari Tradisi Sorogan?
Lalu saja kira-kira makna dari tradisi tersebut dalam konteks transmisi pengetahuan? Meminjam teori Karl Mannheim dalam dalam Essays on Sociology of Knowledge Routledge & K. Paul, 1952 – Knowledge, Theory of – 327) tentang three kinds of meaning (tiga macam makna). Bahwa sebuah tradisi atau tindakan sosial pasti punya meaning (makna). Makna itu muncul dalam konteks relasi-relasi tindakan antara subjek dan praktik tradisi tersebut. Setidaknya secara kategoris, dapat dipetakan menjadi tiga makna, mulai dari 1) makna ekspresif, 2) makna subjektif hingga 3) makna dokumenter. Berikut ini, penulis mencoba menjelaskan tiga makna tersebut:
Pertama, secara makna objektif, yaitu makna perilaku yang dihasilkan secara sama satu inividu dengan yang inividu lain. Artinya bahwa salah satu metode dan sistem pembelajaran di pesantren yang otentik adalah sorogan itu sendiri. Tidak sorogan, berarti bukan santri otentik. Ingin menjadi santri tulen, ya harus sorogan. Dengan kata lain, sorogan adalah symbol otentisitas santri. Sehingga, para santri setelah mengalami internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi akhirnya menyadiri bahwa sorogan menjadi suatu keniscayaan proses transmisi dan transformasi di pesantren. Sorogan merupakan proses menyambungkan sanad keilmuan antara murid dan guru. Bagi santri, ilmu harus memiliki sanad keilmuan yang jelas. Dari mana ia memperoleh ilmu, kitab apa yang menjadi rujukan, kepada siapa dia mengaji, itu merupakan hal yang sangat dijaga dalam tradisi pesantren.
Praktik tradisi memiliki cantholan dan jangkar epistemologi dari al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, sebagaiman hal ini bisa kita baca dalam kitab Adab Hamalatil Qur’an, karya Syeikh al-Nawawi. Bukankah Nabi Saw ketika belajar membaca al-Qur’an juga sorogan dengan Malaikat Jibril? Turunnya, Surat al-`Alaq dengan perintah iqra’ (bacalah) adalah merupakan proses transmisi pewahyuan al-Qur’an di mana Nabi awalnya diajari membaca terlebih dulu, lalau disuruh menirukan bacaan Malaikat Jibril. Demikian halnya, riwayat hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Saw, setiap tahunnya di bulan Ramadlan, talaqqî (face to face, sorogan) membaca al-Qur’an dengan Malaikat Jibril. Nah, dari situ maka para ulama menyandarkan urut-urutan ayat dan urutan surat-surat dalam al-Qur’an berdasarkan apa yang biasa dibaca Nabi Saw Bersama Malaikat Jibril. Proses tradisi tersebut kemudian dijaga, diteruskan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bukan hanya dalam konteks membaca dan belajar al-Qur’an, tetapi juga belajar hadis dan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya, seperti Ilmu Kalam (Tauhid), Fiqh, Tafsir, Ushul Fiqh, Tasawuf, Nahwu-Shorof dan lainnya.
Kedua, makna ekspresif, yaitu makna yang dirasakan oleh masing-masing subjek (santri) dalam menjalani tradisi sorogan. Bagi sebagain santri, sorogan dimaknai sebagai upaya mencari barokah ilmu. Dalam bahasa para santri, sorogan adalah untuk tabarrukan. Sebab melalui sorogan, berarti santri berguru langsung dengan seorang Kiai/Nyai. Dari sini diharapkan agar santri bukan hanya mendapat ilmu, tetapi juga barokah ilmu dan doa dari Kiai/guru, bahkan juga memperoleh wisdom (kearifan) darinya. Ini berangkat dari satu keyakinan, –atau setidaknya asumsi– bahwa seorang kiai sesungguhnya bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values, bahkan transfer of prayer (doa).
Ketulusan Kiai dalam mendidik dan mendoakan para santri, bahkan kadang juga disertai tirakat adalah kunci dari keberkahan ilmu. Ada pula santri yang memaknai sorogan sebagai sarana untuk memperoleh kedekatan (attachment) dan hubungan batin (‘alaqah ruhiyyah) melalui interaksi yang intensif saat sorogan. Jadi, menyerap ilmu, bukan hanya lewat aspek zhahir, tetapi juga aspek batin. Kedekatan hubungan santri dengan Kiai, mengantar rasa cinta dan khidmah yang tulus. Semua itu menjadi inner power (kekuatan batin) bagi para santri untuk terus mencintai ilmu dan gemar belajar. Ada pula yang memaknai sorogan sebagai best practice, yakni praktik ketrampilan membaca dan menguasai kitab kuning serta mensinergikan teori membaca kitab kuning dan praktik sekaligus.
Ketiga, makna dokumenter, yaitu makna yang tidak disadari oleh pelaku yang disimpulkan oleh peneliti. Sorogan setidaknya memberikan makna bahwa proses transmisi pengetahuan harus dilakukan secara akurat dan otentik. Tradisi literasi pesantren harus tetap menjaga otentisitas keilmuan melalui jalur sanad keilmuan dan transmisi pengetahuan, dari guru ke gurunya, ke gurunya sampai ke Nabi Saw.
Otentisitas ilmu sangat penting. Jangan sampai ada distorsi pengetahuan yang disebabkan oleh kesembronoan dalam memahami kitab kuning. Akurasi dan otentisitas ilmu pengetahuan ini sangat penting, sebab ilmu agama yang hendak disebarkan akan dimintai pertanggung jawaban moral, baik di dunia maupun di akhirat. Itu sebabnya, Abdullah ibn Mubarak pernah berkata, al-sanadu min al-dîn fa laulâ al-sanad la qâla man sya’a mâ syâ’a. (Sanad itu bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad, niscaya orang akan semaunya ngomong, apa yang ia ingin omongkan). Wa Allhu a‘lam bi al-shawab.
Tradisi Sorogan sbg metod pembelajaran di pesantren dalam perspektif pendidikan nilai karakter Islam dalam situasi pandemi covid 19 mungkinkah dapat dilakukan melalui online ( daring) dg zoom meeting???