Salah satu peristiwa yang dicari selama bulan Ramadan adalah momentum lailatul qadar. Apakah lailatul qadar itu? Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa malam “lailatul qadar” adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, di dalamnya malaikat turun dan dijamin kedamaian hingga terbit fajar.

Karena keutamaan tersebut, banyak orang yang menebak dan mencari lailatul qadar. Lailatul qadar memang menjadi teka-teki Ilahi. Menjadi keliru jika niat mencari lailatul qadar hanya untuk memperoleh keutamaan beribadah selama 83 tahun, lantas setelahnya menjadi malas-malasan beribadah. Alasannya sederhana, sudah menabung pahala di malam penuh kemuliaan itu. Karena itu tidak heran jika Allah tak memberikan waktu yang pasti, hanya sebatas kisi-kisi.

Salah satu tanda yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad adalah bahwa lailatul qadar terjadi di sepuluh malam terakhir yang ganjil. “Taharraw lailatal qadri fil witri minal ‘asyril awaakhiri min ramadhaan”, demikian sabda Nabi.

Ada banyak lagi hadis yang menjelaskan tanda-tanda lailatul qadar, termasuk tanda fisik atau fenomena alam yang terjadi. Hanya saja, seringkali kita dibuat pusing mencari kapan itu terjadi? Alih-alih mengisi seluruh malam Ramadan dengan totalitas dalam beribadah.

Meskipun sudah ada tanda-tanda yang dijelaskan oleh Nabi, namun tetap saja tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan itu terjadi. Al-Quran menjelaskannya dengan kalimat “wa maa adraaka maa lailatul qadr”. Kalimat “adraaka” menyiratkan sesuatu yang abstrak dan rahasia. Selain lailatul qadar, hari kiamat juga menggunakan diksi tersebut, misalnya dalam Surat Al-Qari’ah, “wa maa adraaka mal qari’ah”. Ada banyak tanda kiamat yang dijelaskan, tapi kepastian waktunya, hanya Allah yang mengetahui. Persis seperti jodoh bagi para jomlo, semua itu misteri ilahi.

Nah, daripada berpikir kapan lailatul qadar terjadi, lebih baik kita mempersiapkan diri untuk menggapainya. Caranya bagaimana? Kalau kita lihat sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad adalah orang pertama yang menerima lailatul qadar, tepatnya ketika menerima wahyu pertama, QS. Al-‘Alaq ayat 1-5.

Yap, berkaca dari Surat Al-Qadr ayat 1, dijelaskan bahwa Al-Quran turun pertama kali pada malam lailatul qadar, sehingga Nabi adalah insan pertama yang mendapat luapan barokah dari bulan Ramadan.

Sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu, beliau telah mempersiapkan diri dengan menyendiri, ber-tahannuts di goa hira. Di tengah degradasi akidah dan moral yang terjadi, beliau mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, fokus beribadah kepada Sang Pencipta.

Hal ini berbeda dengan suasana kita sekarang. Alih-alih menyendiri, kita justru lebih senang mencari keramaian. Bahasa gaulnya adalah mencari viral. Agar bisa terkenal, apapun dilakukan, bahkan menabrak nilai-nilai moral. Karenanya, kiat memperoleh lailatul qadar adalah dengan mempersiapkan diri, menata rohani, menjaga jasmani, menyendiri dan fokus berkomunikasi dengan Ilahi. Bangun di malam hari tatkala banyak orang terlelap tidur, seraya menengadah, berzikir sekaligus bertafakur kepada Allah ta’ala.

Selain itu, jaminan lailatul qadar adalah kedamaian, “salaamun hiya hatta mathla’il fajr”. Kedamaian dan ketenteraman ini juga menjadi tujuan manusia hidup. Hidup tanpa kedamaian hanyalah merasakan kematian sebelum mati. Sehingga lailatul qadar adalah potret dari idealnya kehidupan manusia. Bagi orang yang memperoleh lailatul qadar, dia akan senantiasa beribadah, mengenal Tuhan dan memancarkan kedamaian.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Beliau menjelaskan salah satu alasan mengapa malam ini disebut dengan malam yang penuh kemuliaan, sebab, pada malam tersebut Allah Swt menurunkan kasih sayang, kebaikan, keberkahan dan ampunan. Siapa pun yang memperoleh karunia tersebut dari Tuhan, niscaya ia pun akan membawa kebaikan pada sesama. Inilah “atsar al-sujud” dari mereka yang mendapat lailatul qadar.

‘Ala kulli hal, lailatul qadar dapat digapai tidak hanya melalui peningkatan ibadah ritual, melainkan juga pengoptimalan ibadah sosial. Memberikan kedamaian pada orang lain dan menghancurkan kebencian yang terpatri pada diri. Sebagaimana namanya, malam yang penuh kemuliaan, akan diberikan kepada mereka yang juga mengagungkan Tuhan seraya memuliakan kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Komentar