Nasionalisme para pahlawan dalam wacana mutakhir memang merupakan napas hidup sebagai pijakan berdemokrasi, yang harus dilalui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, dalam kontestasi hari “kepahlawanan”, baik yang mau dan tidak, tetap harus diterjemahkan dalam laku berkehidupan. Karena, hanya dengan melalui “nasionalisme kepahlawanan” perbedaan dapat diakomodasi secara demokratis dan kemajuan bisa dicapai.
Benarkah ada kalangan yang menilai angin nasionalisme telah mati berembus? Atau, sebaliknya nasionalisme hanya sekadar “angin mamiri” sebagai pertanda akan datangnya “angin puting beliung” yang akan mencerabut akar dan merobohkan batang dari pohon yang sudah tua renta, diganti dengan pohon buatan yang lebih mudah dan berasa segar, namun bukan beringin, tapi pohon kehidupan yang tumbuh (di) seantero kelompok tertentu?
Terhadap pertanyaan itu, masyarakat dan bangsa Indonesia memang harus mencicil perubahan yang revolusioner, melalui koridor kultural dan kebudayaan yang boleh jadi sebagai revitalisasi atau ungkapan awal dari apa yang disebut “revolusi membudayakan nasionalisme kepahlawanan”. Kendati, jalan menuju ke koridor itu tak lain adalah generasi Z dan milenal. Mengapa? Tak pelak, krisis ideologi nasionalisme menyenjakala dari kepunahan di dunia generasi Z dan milenal.
Kejadian itu mempunyai kausalitas dengan sikap dan mental yang oleh Bung Karno dianalogikan sebagai bangsa “bebek”, dan karenanya, jika ingin maju harus berubah bermental “elang rajawali”, yang berani terbang ke angkasa, mencari cakrawala.
Transisi Generasi
Percakapan mengenai generasi Z dan milenal perlu didasarkan bahwa ia bukanlah suatu entitas tertentu. Namun hal yang sulit dibantah, generasi Z dan milenal mampunyai kompleksitas masalah, yang antara lain terjadi di relasi interaksi antargenerasi. Misalnya, siswa dan mahasiswa dengan masyarakat luas, dengan buku bacaan, serta dengan masyarakat akademis lainnya berjeda. Bahkan kepada sejarah bangsanya.
Kita bisa ajukan buku Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transisi, Apropriasi, dan Kontestasi (2018). Di buku itu ditemukan bahwa generasi Z dan milenal dalam literatur keilmuan yang diberikan oleh pengajar, buku-buku, dan kajian dakwah di beberapa kampus Indonesia sangatlah jauh dari nilai-nilai nasionalisme kepahlawanan dan Pancasila. Secara mendasar, aturan yang diberikan pemerintah tidak cocok bagi dosen tertentu, dan itu menyebabkan dosen melakukan pencarian buku sendiri dan materi untuk diajarkan ke mahasiswa. Di situlah terjadi tarik-menarik ideologi nasionalisme dan paham baru (transideologi) yang memupuskan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme Indonesia.
Kenapa sampai demikian? Karena selama lebih tiga dekade, sebagian kita telah mengabaikan dan menjauh dari kepentingan rakyat. Hukum otoritas terlalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para pemegang kekuasaan terlalu mengambil alih segala urusan bahkan yang sepele pun, maka keinginan berubah ke Pancasilais membelok menjadi magma. Ringkasnya, rakyat kebanyakan sudah kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan otoritas yang jauh untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Kekesalan yang akhirnya berujung pada main hakim sendiri.
Kini orang-orang Indonesia makin terdidik. Namun kurang peduli dengan moral. Pendidikan tak bisa diterjemahkan dalam lelaku kehidupan. Di negara demokratis, setiap suara berhak bergaung. Juga keinginan orang untuk mempertanggungjawabkan atas dirinya sendiri makin besar. Maka di situlah Indonesia harus berubah. Kalau tidak, akan terisolasi dengan sendirinya. Dengan apa? Dengan membumikan nasionalisme pahlawan dan Pancasila, dan menarik kembali simpati rakyat yang kemudian mengajak semua komponen bergalang untuk melangkah bersama menuju Indonesia yang benar-benar Pancasilais, yaitu berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di situ harus ada upaya mereformasi ruang mampet demokrasi atau merombak sistem politik yang lebih bermoral. Bukan sistem oligarki dan balas budi. Karena yang kita lihat, otoritas masih meraba-raba bagaimana langkah-langkah konkret menuju kemanusiaan yang berkeadaban. Tentu, pemerintah harus menjalankan semua sila yang tertanam dalam dada garuda. Pemerintah harus menata untuk dicinta.
Meningkatkan Nasionalisme
Yang terpenting, kita musti menggerakkan sikap nasionalisme paham Pancasila sedekat mungkin dengan masyarakat. Merefleksikan dan mengkontekstualisasikan ke dunia generasi Z dan milenal. Memupuk ulang semangat kepahlawanan dan pengajaran Pancasila dengan cara mendesentralisasikan kepada pengajar. Agar pengetahuan dan kepercayaan rakyat di seluruh pelosok daerah kembali.
Tetapi, pengembalian kepercayaan rakyat terhadap nasionalisme dan nilai Pancasila tidak cukup dengan mereinvensi, merekayasa-ulang pemerintahan. Sebagian kita termasuk otoritas pemerintah juga perlu terbuka, sehingga lebih mudah dipahami oleh rakyat. Transparansi tidak cukup hanya sebagai “peringatan Hari Pahlawan”. Tetapi pemerintah musti menggolakkan nasionalisme kepahlawanan dan nilai-nilai Pancasila yang lebih praktis-bermoral, sehingga masyarakat tahu dan percaya bagaimana proses lahirnya keputusan yang mempengaruhi kehidupan rakyat.
Kunci didengarnya suara itu adalah dengan memberi bukti kongkret dan signifikan lebih besar pada persoalan masyarakat. Dan hindari keputusan yang akan merobek hati masyarakat. Semua keputusan harus mengacu pada Pancasila dan tidak ada satu sila pun yang dianakyatimkan. Karena, sebagaimana perkataan Sukarno, Pancasila itu adalah isi jiwa bangsa Indonesia.
Sikap nasionalisme yang telah diajarkan para pahlawan yang disebut sebagai negara Pancasila adalah cita-cita yang harus dijelmakan dalam kehidupan bangsa dan negara. Sebagaimana Roeslan Abdoelgani dalam bukunya Resepkan dan Amalkan Pancasila (1962), sikap itu pada hakikatnya suatu realiteit bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Maka, generasi Z dan milenal sebagai driving force perlu menjadi revolusi yang mengkonsolidasikan strategi gerakan sebagai gerakan moral yang bertanggung jawab bagi kepentingan bangsa. Membersamai pemerintah untuk memberikan warna baru sebagai perwujudan, pertanggungjawaban, dan kekuatan yang berbasis pemahaman nasionalisme kepahlawanan dan Pancasila. Sehingga, Hari Pahlawan tidak sekadar dijadikan caption atau jualan belaka. Tapi sebagai gerak langkah bangsa negara Indonesia menjadi maju berubah. Semangat Hari Pahlawan!
Agus Wedi, Pemimpin Redaksi Islamsantun.org, pengelola Komunitas Serambi Kata Surakarta