Ada banyak jalan untuk berjuang—yang dalam bahasa agama disebut jihad— dalam hidup ini. Dan aku memilih menulis sebagai jalan jihadku.

Berbeda dengan mereka yang memilih jalan jihad—jika memang bisa disebut demikian— dengan cara berorasi di jalan, meneriakkan slogan-slogan agama sembari membawa simbol-simbol agama yang tampak gempita disorot media, aku memilih jalan sunyi yang senyap dari pemberitaan apalagi sorot media. Ya, aku memilih jalan jihadku dengan menulis.

Aku teringat ungkapan Sayyid Qutub yang begitu dahsyat dan menggugah jiwa, “sebutir peluru hanya mampu menembus sebuah kepala. Tetapi sebuah tulisan mampu menembus ribuan bahkan jutaan kepala.”

Ungkapan penuh makna nan menggelorakan semangat itulah yang mendasari pilihanku untuk berjihad di jalan sunyi dengan menulis. Aku berharap, meski jalan yang kupilih ini tidak populis, jauh dari gempita, sepi dari ingar-bingar pemberitaan media, tetapi berdampak luar biasa melebihi efek dari orasi di jalanan yang begitu menggebu-gebu, yang hanya sesaat dan tak lama kemudian hilang ditelan waktu.

Menulis adalah jalan menuju keabadian. Menulis adalah jalan mulia untuk menggugah kesadaran manusia melampaui batas-batas ruang dan waktu. Meski kelak sang penulis sudah kembali ke haribaan Rabbnya, tetapi tulisannya akan tetap ada.

Inilah jalan jihad yang kupilih. Jalan sunyi, sepi, sendiri. Tetapi, aku berharap semoga ianya menghadirkan dampak yang gempita, memendarkan cahaya sepanjang masa.

* Ruang Inspirasi, Rabu, 30 Juni 2021.

Komentar