Agenda terbesar dalam perayaan hari raya idul adha adalah penyembelihan hewan kurban. Agenda tersebut tidak akan lengkap dan tuntas jika tidak ada panitia kurban di dalamnya. Bahkan jauh sebelum perayaan hari raya idul adha, panitia tersebut dibentuk pada masyarakat setiap RT-nya. Sesekali mereka melakukan rapat persiapan berkurban. Terlihat sederhana namun nyatanya membutuhkan pengalaman dan pengorganisasian yang matang.
Panitia saja tidak cukup. Harus ada kerja sama yang baik dengan masyarakat sekitar. Beruntung pada lingkungan yang di dalamnya terdapat pondok pesantren, di mana berkurban menjadi agenda wajib tiap tahunnya bagi para santri. Semua santri akan dimintai tolong untuk terlibat disetiap proses berkurban. Mulai dari persiapan, pemotongan kurban, pencacah daging, pembagian, sampai pengumpulan yang siap di distribusikan kepada masyarakat.
Biasanya bagian pemotongan kurban diserahkan kepada santri putra. Sementara pencacah daging dan pengemasan diserahkan kepada santri putri. Akan tetapi, jika pemotongan kurban sudah selesai, secara otomatis santri putra akan membantu santri putri dalam pencacahan daging. Dengan begitu, agenda berkurban terasa ringan karena dilakukan secara bersama-sama.
Secara keseluruhan, semua rangkaian penyembelihan sampai pendistribusian hasil kurban sangat penting. Akan tetapi, ada satu hal yang sangat berkesan dan memberikan banyak pelajaran. Hal itu terdapat pada rangkaian pencacahan daging dan pengemasannya. Pada rangkaian ini sangat diperhatikan oleh salah satu bapak panitia. Paling pertama terkait jumlah berat (gram) daging yang dibagikan, baik kepada shohibul kurban (pemilik kurban), maupun untuk masyarakat umum.
Dalam pengemasan daging kurban, bagian yang ditunggu adalah hati hewan kurban. Bagian ini sudah diwanti-wanti bapak panitia dengan perintah dibagi menjadi tujuh bagian. Sebelum pengemasan, bagian hati ini terlebih dahulu dicek mengenai kualitasnya. Karena, sangat rawan adanya cacing parasit. Saat dicek kualitasnya, tim pencacah menemukan sejenis cacing yang sebelumnya dijelaskan oleh bapak panitia.
“Aaa… ini apa to kok geli men”, tim pencacah menjerit karena kaget sekaligus geli
“Coba saya lihat dulu mbak”. Setelah cukup lama diamati oleh bapak panitia, ternyata terdapat cacing di dalamnya. Beliau langsung mengambil tindakan.
“Bagian hati ini tidak akan dibagikan, dimasukan trash bag dan dibuang saja mbak”
“Karena cacing jenis ini akan tetap hidup di dalam badan kita walaupun sudah dimasak nantinya”
Padahal, bagian hati ini paling ditunggu-tunggu untuk dibagikan terutama kepada shohibul kurban. Dari sini saja sudah terlihat, tugas panitia bukan secara teknis saja. Akan tetapi harus memastikan kualitas daging kurban yang akan dibagikan kepada masyarakat umum. Dengan begitu, daging yang dibagikan bukan hanya halal secara syariat, tapi juga tayyiban, memberikan kebaikan pada tubuh.
Selanjutnya, tidak hanya cukup pada seleksi kualitas daging kurban saja. Hal ini berlangsung kepada rangkaian selanjutnya, yaitu pengemasan. Memang dari awal tim pencacah hanya mengemas daging dengan total berat 600 gram dari 800 gram. Dikarenakan 200 gram berupa tulang yang masih dalam proses pemisahan dengan daging. Dengan begitu, tim pencacah harus mengemas ulang dengan tambahan 200 gram ketika tulang sudah selesai dipisahkan dengan daging.
Memang tidak mudah untuk mempraktikkan nilai sama rata. Harus dibutuhkan kesadaran, konsistensi dan komitmen yang tinggi. Kembali kepada bapak panitia tadi. Saat jam istirahat dan makanan sudah dibagikan, para tim pencacah sudah melepas tanggung jawabnya. Banyak dari kami selesai makan dan langsung pulang ke pondok pesantren untuk tidur siang. Menyiapkan kesiapan untuk kegiatan bakaran dan nyate bersama nanti malam.
Ketika beberapa personil tim pencacah sapi 2 selesai dan ingin kembali ke pondok pesantren, kami dipanggil dan dimintai tolong oleh bapak panitia tadi. Ternyata, kekuarangan tulang 200 gram belum tercukupi. Tulangnya habis dan tidak semua daging mendapatkan tulang yang telah direncanakan dari awal.
“Mbak, ayo bantuin bapak. Tambahin lagi dagingnya”
“Lah, belum selsai to Pak?”
“Belum mbak, tulangnya kehabisan, kita tambahin aja dagingnya. Biar yang nerima daging juga senang”
“Nggih Pak.”
Dari rangkaian berkurban dan percakapan singkat dengan bapak panitia tadi, kami mendapatkan banyak pelajaran terutama dalam hal sosial. Sekurang-kurangnya, jika belum bisa berkurban karena keterbatasan ekonomi, maka berperan lah dalam pengelolaannya. Memberikan tenaga dalam penyaluran daging kurban. Sampai disini, keterlibatan saja tidak cukup, kesadaran sosial dan memperhatikan kualitas daging yang dibagikan juga menjadi penting.
Bagi warga awam, mereka tidak akan tau bagaimana kondisi baik buruknya daging yang diterima. Maka dari itu, tim pengelolaan harus memperhatikan kondisi yang benar-benar baik dan bersih dari berbagai parasit yang membahayakan kesehatan. Di sisi lain juga perlu diperhatikan ke-samarataan yang akan diterima oleh tiap-tiap penerima daging kurban nantinya. Tidak ada diskriminasi, maupun pengurangan dalam porsi daging kurban yang dibagikan.
Hal itu semua tidak akan terjadi tanpa adanya kesadaran sosial pada setiap individu. Dengan begitu, pembagian daging kurban akan menjadi berkah dan membahagiakan, jika masing-masing pihak sadar. Sadar untuk melaksanakan rangkaian berkurban dengan halalan tayyiban, yaitu halal dan juga baik. Memperdulikan kebaikan dari pihak pemberi maupun penerima daging kuban. Semoga kita semua diberikan kesadaran untuk menjadi bagian dari penyalur nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan ummat. Sekurang-kurangnya pada agenda berkurban dan agenda sosial lainnya. Aamiin….