Sebagian dari kita sering mengira bahwa kehadiran al-Qur’an hari ini tentu adalah yang paling otentik dan sudah di anggap final sebagai akhir kodifikasi al-Qur’an. Namun ada beberapa hal yang sering kita lupakan, yaitu keterlibatan al-Qur’an di panggung sejarah. seperti kitab-kitab sebelumnya, al-Qur’an juga tak lepas dari kedudukan historis yang sangat amat menarik untuk kita cermati. Pasalnya hal ini sangat sekali sedikit terlihat menjadi sebuah pembahasan penting dikalangan pengajar al-Qur’an termasuk di Pondok Pesantren, juga di ruang lingkup Universitas.
Meskipun demikian, sebagian kalangan tampaknya antusias untuk memberikan wajah baru dalam sejarah al-Qur’an yang meskipun hal ini berbanding terbalik atau tidak selaras dengan para pemikir terdahulunya. Merekalah para intelektual muslim amatir (revisionis) yang berani melawan arus dalam merekontruksi pemikiran Islam termasuk kajian studi al-Qur’an.
Dari sini kita harus tahu, bahwa tidak hanya kalangan sarjana barat, tetapi juga beberapa kalangan pemikir muslim modern percaya bahwa al-Qur’an tak lepas dari perjalanan historis, seperti apa yang di alami kitab-kitab sebelumnya. Maka dari itu, tidak menuntut kemungkinan al-Qur’an telah melewati berbagai tahap perkembangan sastra, juga diantara mereka percaya akan adanya suntingan kecil yang meresap kedalam salinan kanonik al-Qur’an Ustmaniyah.
Jejak Al-Qur’an Edisi Kairo Tahun 1924
Degan adanya polemik anatara muslim dan historis al-Qur’an, seorang sarjana mesir terkemuka yaitu Ayman S. Ibrahim menulis buku yang sangat cermat dengan basis dialektis dan gaya argumen intelektual yang solid. Buku itu berjudul Consise Guide To The Quran Answering Thirty Critica Questions, dan ada poin penting yang membuat saya tergelitik yakni pada poin ke 13 dalam buku itu tetang kehadiran al-Qur’an edisi Kairo yang di klaim sebagai al-Qur’an yang paling otentik yang hari ini banyak digunakan di sebagaian besar Negara muslim termasuk Indoensia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ayman S. Ibrahim, ia menyimpulkan bahwa apa yang disebut banyak orang sebagai salinan Al-Quran yang tidak berubah dan tidak salah sebenarnya adalah proyek abad ke 20. Ayman juga menegaskan, bahwa dewan redaksi yang bertanggung jawab atas proyek tahun 1924 menyatakan dalam salinan akhir bahwa proyek tersebut merupakan hasil dari kekhawatiran yang signifikan di kalangan umat Islam mengenai “kesalahan” dalam salinan yang sebelumnya digunakan di sekolah-sekolah lokal Mesir. Meskipun demikian, sebagian besar umat Islam tidak mengakui sejarah ini dan menganggap edisi Al-Quran Kerajaan Kairo tahun 1924 sebagai textus receptus (teks yang diterima) yang ada di sepanjang sejarah Islam sejak Utsman. Atau degan kata lain, salinan ini telah menjadi Al-Quran resmi.
Kemunculan Al-Qur’an edisi Kairo ini memang bukan tanpa alasan, salah satunya karena banyak tersebarnya beberapa varian dialek al-Qur’an termasuk di Mesir. Varian Hafs banyak di jumpai di Mesir dan Arab Saudi dan juga di sebagian besar negara lainnya, tetapi tidak semua. Hafs menjadi terkenal ketika Kekaisaran Ottoman mengadopsinya dari antara banyak varian Al-Quran yang tersedia, dan mengklaimnya sebagai teks yang berwenang. Pengadopsian ini menjadikan bacaan khusus ini sebagai varian resmi kekaisaran. Selain itu, masalah lainnya juga banyak Al-Quran yang diimpor selama dekade terakhir Kekaisaran Ottoman mengandung kesalahan.
Menurut Ayman, pada tahun 1907, pada masa pemerintahan Raja Ottoman Foad, pemerintah Mesir menemukan bahwa salinan Al-Quran yang digunakan di sekolah-sekolah setempat penuh dengan apa yang disebut “kesalahan.” Dari mana salinan-salinan ini berasal? Faktanya adalah bahwa salinan Al-Quran berbahasa Arab (dengan berbagai bacaan) dicetak di Eropa dan dikirim ke negara-negara Muslim.
Al-Quran pertama dicetak di Venesia pada tahun 1537. Kemudian di Hamburg pada tahun 1694, sebuah salinan diterbitkan oleh Abraham Hinckelman. Ini diikuti oleh edisi tahun 1834 yang kemudian menjadi teks definitif bagi para sarjana Barat setidaknya selama satu abad hingga terbitnya edisi Kairo. Edisi Kairo tahun 1924 disahkan oleh Ottoman dan diawasi oleh Universitas al-Azhar dan komite ulama Muslim. Tujuannya adalah untuk menetapkan teks yang berwibawa berdasarkan bacaan Hafs saja untuk menghilangkan kesalahan.
Produksi Al-Quran tahun 1924 didukung oleh dekrit politik kerajaan dan pengaruh keagamaan al-Azhar. Para cendekiawan Muslim Azhar tidak bertujuan untuk membuat edisi kritis Al-Quran. Mereka tidak berusaha untuk meneliti manuskrip yang berbeda dan membandingkan varian. Tujuan mereka adalah untuk menghasilkan teks tetap berdasarkan satu bacaan yang telah dipilih sebelumnya. Dengan kata lain, para cendekiawan Azhar tidak meneliti manuskrip tetapi mempelajari buku-buku yang ditulis tentang satu varian tertentu yang dipilih oleh komite. Dalam arti tertentu, komite mengandalkan sumber-sumber sekunder daripada sumber-sumber primer, yang merupakan kelemahan metode dalam menetapkan teks kuno.
Saat ini Al-Quran tahun 1924 merupakan teks resmi Islam. Bahkan terjemahan asing pun bergantung padanya. Al-Quran telah dicetak secara luas, dan bacaan lainnya hampir menghilang. Meskipun ini bisa dibilang sebagai keberhasilan bagi komite al- Azhar, bukan berarti salinan ini merupakan satu-satunya bacaan kitab suci Islam yang tersedia.
Sebagian besar umat Muslim di seluruh dunia saat ini baik Sunni maupun Syiah mempercayai Al-Quran 1924 dan menganggapnya sebagai satu-satunya Al-Quran yang pernah ada. Bagi mereka, Al-Quran bukan hanya teks Al-Quran resmi, tetapi juga, dan yang lebih penting, dokumentasi yang tepat dari wahyu yang diwartakan oleh Nabi Muhammad pada abad ketujuh, dikodifikasi oleh Utsman beberapa dekade setelah kematian Nabi Muhammad, dan disampaikan dengan sempurna selama empat belas abad Islam. Al-Quran Kairo 1924 adalah kitab suci Islam,inilah kenyataannya. Namun, para pemikir kritis harus mengingat bagaimana teks ini sampai kepada kita.
Bagi Ayman Ini bukanlah rekonstruksi dari apa yang diwartakan oleh Nabi Muhammad. Al-Quran 1924 adalah teks yang dirancang dan dimanipulasi secara khusus yang dibangun di atas satu bacaan terpilih yang mengabaikan banyak teks sah lainnya yang ada sepanjang sejarah Islam. Kita tidak dapat yakin bahwa Al-Quran saat ini merupakan representasi sejati dari teks yang awalnya muncul di padang pasir Arab pada abad ketujuh.
Tentang Buku
Judul Buku : Consise Guide To The Quran Answering Thirty Critica Questions
Penerbit : Baker Academic
Tahun Terbit : Ebook Edition Created 2020
ISBN : 978-1-4934-2928-8

