Kelahiran manusia idealnya membawa suka cita. Terlebih jika yang dilahirkan kelak menjadi sosok besar dalam sejarah. Peringatan kelahirannya pun menjadi momentum untuk belajar keteladanan yang dicontohkan. Bagi umat Islam, kelahiran Nabi Muhammad menjadi penanda risalah Islam yang paripurna. Nabi mendakwahkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Begitu pula dengan kelahiran Isa Almasih yang menjadi tokoh sentral dalam iman Kristiani. Namun sebagai tokoh besar, seperti Nabi Muhammad, Isa Almasih pun menjadi tokoh universal yang teladannya tidak hanya dapat ditiru oleh umat Kristiani, melainkan seluruh manusia.

Yesus Kristus telah mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dalam menjalani kehidupan. Ia menjadi pionir dalam mewartakan prinsip kemanusiaan dan kesetaraan. Khususnya setara dalam relasi gender, laki-laki dan perempuan. Dalam satu kisah, Yesus membebaskan perempuan yang dituduh berzina. Jika membaca fragmen kisahnya (Yohanes 8:1-11), perempuan tersebut diseret ke hadapan Almasih. Menjadi pertanyaan, jika memang ia berzina, mana sosok laki-laki, mengapa hanya perempuan yang dihadapkan?

Hal ini menandakan bahwa konsep saat itu memang sangat mendeskreditkan perempuan. Bahkan ketika melakukan dosa bersama, yang dihukum hanyalah perempuan. Alih-alih menghukum, Yesus justru melepaskan sang perempuan dengan berucap, “pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”. Pernyataan Yesus ini bukan hanya menggambarkan bahwa selalu ada ampunan, ada kesempatan kedua bagi manusia yang berdosa, melainkan juga spirit Almasih untuk mengangkat derajat perempuan.

Wanita tidak boleh dikriminalisasi karena gendernya. Pun jika wanita melakukan kesalahan, sama halnya dengan laki-laki, harus siap menghadapi konsekuensi yang ada. Prinsip kesetaraan benar-benar diperjuangkan oleh Yesus dalam seluruh hidupnya melalui ajaran kasih.

Tatkala membaca kisah kelahiran Isa Almasih dalam Al-Quran, kita akan mendapatkan narasi yang sangat istimewa terkait Bunda Maryam. Dalam Surat Maryam ayat 22-25, Al-Quran menceritakan cukup detail proses persalinan Maryam. Gambaran pilu menahan rasa sakit tersurat dalam curhatan Maryam, “yā laitanī mittu qabla hādzā wa kuntu nasyan mansiyyā”, Duh Gusti, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi orang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.

Pernyataan Maryam tersebut menggambarkan bahwa tidak ada yang istimewa dari kelahiran Almasih sebagai manusia, selain bahwa Isa terlahir tidak melalui proses biologis. Kisah kelahiran Almasih yang dituturkan Maryam tersebut mewakili rasa seluruh perempuan tatkala melahirkan. Proses melahirkan anak manusia bagi seorang ibu adalah pertaruhan hidup atau mati.

Pengalaman biologis yang spesifik hanya dirasakan oleh perempuan ini penting untuk diangkat dan dinarasikan. Sebab mereka yang tidak mengalaminya, bisa menjadi tidak peka dan memberikan beban ganda pada perempuan. Tentu sebagai laki-laki tidak dapat merasakan pengalaman biologis perempuan seperti hamil, melahirkan, menyusui, menstruasi dan nifas. Namun dengan memahami proses dan rasa sakit yang dihasilkan dari pengalaman biologis tersebut, laki-laki dapat memperlakukan wanita dengan layak.

Pengalaman dan realitas kehidupan perempuan ini seringkali tidak dianggap otoritatif untuk menyusun kembali fatwa keagamaan yang ramah pada perempuan. Pun pengalaman biologis perempuan ini juga tidak menjadi salah satu pertimbangan untuk menghasilkan hukum perundang-undangan yang berkeadilan.

Dengan tidak dipertimbangkannya realitas kehidupan perempuan, aturan agama maupun negara cenderung represif dan diskriminatif terhadap perempuan. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah capai mengurus rumah tangga, harus pula menjadi korban kekerasan. Belum lagi akses memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak masih jauh dari harapan.

Pengalaman traumatis yang dialami perempuan itu dirangkum oleh Mansour Fakih menjadi lima bentuk kezaliman yang diterima hanya karena berjenis kelamin perempuan, yaitu stereotip, marginalisasi, subordinasi, beban ganda dan kekerasan.

Belum lama ini, saya mengikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara. Kehadiran KUPI ini menjadi salah satu alternatif untuk menghasilkan fatwa keagamaan yang mempertimbangkan pengalaman perempuan. Dalam buku “Metodologi Fatwa KUPI: Pokok-Pokok Pikiran Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia”, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa “bagi KUPI, pengalaman perempuan juga harus menjadi pertimbangan rumusan pandangan dan sikap keagamaan berbasis semangat raḥmatan lil ‘ālamīn dan akhlak mulia”.

Apa yang dilakukan oleh KUPI adalah melanjutkan spirit Isa Almasih dan Nabi Muhammad dalam menyuarakan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Tidak boleh ada diskriminasi apapun alasannya, termasuk marginalisasi karena identitas gender.

Melalui kisah kelahiran Almasih sang tokoh agung tersebut, kita dapat belajar bahwa dibalik kebesaran seseorang, ada perjuangan ibu yang melahirkan. Perjuangannya tidak boleh dan tidak bisa dilupakan. Setiap tetesan darah perempuan akan menjadi saksi sejarah kemanusiaan. Siapa pun yang menginjak harkat perempuan, ada darah-darah kemanusiaan yang ditumpahkan.

Selamat Hari Ibu, selamat Natal, selamat merayakan kesetaraan manusia.

 

Rahmatullah Al-Barawi, Fasilitator YIPC Indonesia

Komentar