Ramadan melingkupi seluruh bangunan semesta, sementara puasanya menjadi daya penopang kontruksi megah itu, untuk saling bersinergi menyambut turunnya Kalam Allah di bumi. Semua menjadi istimewa karenanya. Perantaranya menjadi punggawa para malaikat (sayyidul malaikah); penerimanya menjelma pemuka para nabi dan rasul (Sayyidul anbiya` wal mursalin).

Ramadan menjadi bulan paling mulia; malamnya lebih baik dari seribu bulan; dan pembacanya menjadi umat terbaik. Begitu dahsyatnya Kalam Allah, hingga umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jejak Baginda bertirakat sebulan lamanya.

Membaca ulang peristiwa Nuzulul Quran tidak hanya memperbincangkan problematika transendental, namun masalah kemanusiaan. Sebagai kitab untuk umat manusia, tentu di dalamnya pesan-pesannya untuk manusia. Bahkan pada awal turunnya sekalipun ada selipan historis yang itu mengingatkan kita betapa persoalan kemanusiaan tak dapat diabaikan begitu saja.

***

Kalam Allah al-Azali itu melintas melalui Malaikat Jibril, lalu merasuk ke dalam diri Nabi Muhammad. Gambaran kedahsyatan saat itu seperti terekam dalam sebuah hadis yang cukup panjang. Saat jelang usia empat puluh tahun, Nabi Muhammad mulai menyelami dirinya dan sering tafakur untuk bermeditasi berhari-hari di Goa Hira.

Puncaknya, pada suatu malam ketika beliau sedang tafakur dan beribadah, Malaikat Jibril muncul di hadapannya, dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau gemetar, menggigil, ketakutan, seakan tak sanggup lagi membedakan antara yang nyata dan tidak nyata. Tubuh manusia ditaklukkan kekuatan Mahadahsyat, tapi beliau terus bertahan. Sampai saatnya muncul suara, “Iqra’…” Muhamamad menjawab, “ma ana bi qari`.” Terus berulang hingga tiga kali.

Bisa dibayangkan betapa susah dan gelisahnya Nabi ketika hendak menerima, lalu melafalkan ayat 1-5 Surat al-‘Alaq. Membacanya tak semudah saat ini yang, pada akhirnya tak menimbulkan bekas apa pun dalam diri. Tak ada sisa kecuali lafal-lafalnya menguap sebelum sempat difahami. Perhatian kita terhadapnya tak serumit peristiwa turunnya. Sesekali kita sapa, kala senggang, atau sapaan tahunan yang berarti basa basi.

Sementara Nabi berjuang dengan sangat keras. Menggingil, penuh peluh, keringat dingin bercucuran seakan berhadapan dengan maut. Beliau merasakan betul kelemahan sifat manusiawi, sekalipun sekadar menanggung kewajiban sehari-hari. Dari sini kita mendapatkan gambaran, kenapa Alquran begitu agung dan mulia dibanding kitab-kitab lain.

Keutamaan itu tidak hanya pada dirinya sendiri, tapi setiap detail huruf, ayat, surat, juz, mengandung daya ajaibnya masing-masing. Ada energi spiritual yang melambung, efek yang mampu menggelorakan keimanan para pembacanya. Dan ini membuat pembacanya, meski ia tidak mengerti maknanya, tapi dibaca dengan penuh keyakinan dan ketundukan maka ia akan menjelma pelipur lara kegelisahan.

Dalam keadaan menggigil beliau pulang ke rumah. Tangan dan kakinya terasa dingin, dan meminta kepada Khadijah agar menyelimutinya. Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kata Nabi kepada Khadijah binti Khuwailid (setelah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya), “Sesungguhnya aku cemas atas diriku.” Khadijah menjawab, “Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan (manusia) yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.” Demikian penggalan bunyi hadis dalam Shahih al-Bukhari.

 

Refleksi Kemanusiaan

Setidaknya ada dua isyarat kemanusiaan yang penulis tangkap dari peristiwa ini: Pertama, dua kata manusia (al-ins) dalam Surat al-‘Alaq 1-5; kedua, narasi Khadijah setelah Nabi Saw. menerima wahyu. Kedua poin di atas, tentu sangat kaitkelindan mengingat Kitab Suci ini teruntuk bagi umat manusia maka tak heran jika perbincangan kemanusiaan lebih dominan.

Seperti ungkapan yang membanjiri tafsir berkaitan dengan ayat ini, kalimat al-ins berarti manusia yang menerima perintah untuk mengembangkan pengetahuannya melalui isyarat perintah iqra’ atau bacalah. Karena manusia yang disebut-sebut sebagai makhluk paling sempurna dan mulia, sejatinya tercipta dari segumpal darah yang hina dan remeh. Dan dengan ilmu itulah ia diangkat ke derajat yang terhormat. Dengan pengetahuannya, ia berpindah dari kebodohan menuju cahaya intelektual. Tak terkecuali pengetahuan tentang diri sendiri yang senantiasa menyadarkan akan sisi kemanusiaannya; mengenalkan pada diri sejatinya yang sering terabaikan.

Kemudian, ketika Nabi merasakan sesuatu di luar kemampuan dirinya maka Khadijah seakan menjelma dokter, psikolog, sekaligus filosof yang mencoba menenangkan beliau. Dengan pilihan diksi humanitas, Khadijah begitu meyakinkan menjabarkan bahwa aktivitas kemanusiaan tak dapat dipisahkan dengan nuansa ilahiah. Nabi Muhammad Saw. adalah sosok yang membangun dirinya dengan bangunan sosial yang kokoh. Lalu melangitkan aktivitas sosial kemanusiaan demi mencari ridha Allah Swt.

Khadijah berusaha meyakinkan, meski sebenarnya Rasulullah sebagai manusia yang memang dipilih Allah tentu mempunyai jaminan tersendiri. Namun simbolisme Khadijah mengajarkan bagaimana tugas seorang istri ketika suaminya mengalami hal-hal genting dituntut menjadi garda depan penenangnya. Ungkapan Khadijah menyapa kepedulian yang seringkali terabaikan. Narasi kemanusiaannya yang begitu gamblang menempeleng kita yang cenderung individual.

Kita, saya dan Anda sekalian, mungkin merasa baik-baik saja. Namun kadang orang-orang di sekitar kita merasa dijauhi karena miskin atau tak selevel dalam pergaulan. Atau persoalan-persoalan remeh yang tak jarang merusak persaudaraan. Demikian pula penghormatan kepada tamu. Nabi mengajarkan untuk menghormati tamu. Karena diakui atau tidak sebagian kita seringkali membedakan penghormatan atas dasar strata sosial. Dan ini bagi yang mengalami akan sangat menyakitkan. Bukankah menghormati tamu dengan baik, mengasihi sesama makhluk, mencintai anak yatim, tanpa bias menjadi prasyarat keberimanan kita kepada Tuhan?

Ungkapan Khadijah yang tak jarang luput dalam keseharian kita termasuk membantu yang sengsara, mengusahakan barang keperluan mereka yang membutuhkan, dan menolong yang kesusahan karena menegakkan kebenaran. Ini penting untuk jadikan permenungan bersama. Ini porsi utama untuk mengundang kasih Allah pada kita. Gerak ganda dalam hadis masyhur Irhamu man fil ardhi yarhamukum man fis sama’ (kasihilah mereka yang di bumi, niscaya siapa pun yang ada di langit akan mengasihimu) secara tegas menjadi turning point untuk menghalau kegelisahan itu.  

Problematika sosial kemanusiaan memang kompleks, namun seakan dirangkum dalam dua poin di atas, ungkapan manusia dalam al-‘Alaq dan kata-kata Khadijah yang singkat tapi bermakna. Pesan pentingnya seperti dijelaskan Imam Ibnu Katsir bahwa ayat-ayat ini adalah yang pertama kali turun. Ayat-ayat tersebut merupakan bentuk kasih sayang dan nikmat-nikmat Allah yang pertama kali bagi hamba-Nya. Di dalamnya mengandung peringatan tentang awal mula penciptaan manusia dari segumpal darah, kemudian Allah Swt. memberikan kehormatan dengan mengajarkan pengetahuan yang belum diketahuinya. Dan dengan ilmu itulah, maka manusia menjadi terhormat dan mulia. Bahkan itulah yang menjadi tolok ukur kemuliaan Adam atas segenap malaikat.

Namun demikian, pengetahuan tertinggi itulah yang menjadi isyarat untuk membumi. Membaca alam dan ciptaan untuk mengetahui hakikat kedirian diri manusia. Dan pengetahuan itulah yang mengantarkan kita pada hakikat Ilahiah yang sekali-kali tak akan membuat Allah membinasakan kita. Seperti Nabi Muhammad Saw. dalam kegalauannya. Bahwa Allah tak akan mengabaikanmu atau membinasakanmu (Muhammad Saw.) Karena engkau adalah sosok yang senantiasa memuliakan hamba Allah, memberikan makan mereka yang lapar, menyirami mereka yang kehausan; memberi pakaian untuk menutup aurat mereka, perhatian kepada anak-anak yatim. Engkau ibarat ayah yang memaafkan mereka yang menyakitimu; engkau seperti ibu yang memberikan kasih sayang tanpa batas; bahkan engkau adalah keduanya; ayah dan ibu bagi seluruh penghuni semesta. Shallu ‘alaihi wasallimu taslima. Wallahu a’lam bish shawab.

Komentar