Islamsantun.org. Terlintas saya mencoba menyadarkan diri. Bahwa semua apa yang terjadi hari-hari ini tak terbukti. Kaca buram. Dan jalan-jalan meliuk tanpa ujung kepastian. Semua seperti tak bisa dibaca. Keadaan tak bisa dirumuskan.
Ajal memang misteri. Ia termaktub dalam ruang azali. Tidak bisa diterka sekalipun oleh usaha dan upaya. Jika saatnya tiba, masa tak bisa dimundurkan juga dimajukan. Ia menjelma sebuah “keputusan”.
Sosok yang dulunya melintas dalam ingatan, meninggalkan apa yang ia sebut “semua hari untuk Gusti”. Keadaan tenang tetapi banjir duka cita. Semerbak bunga segar berhamburan di jalan, mengiringi tokoh panutan.
Malam menjadi tanda kepergian, tanda perpisahan garis Tuhan. Ya, kita ditinggal tokoh umat, Rais Syuriyah PCNU Karanganyar sekaligus dosen FUD UIN Surakarta, Bapak Ahmad Hudaya. Semoga segala amal ibadah dan pengabdian beliau diterima disisi Allah Swt.
Sosok yang Pergi
Saya tak percaya sebagaimana teman-teman. Sosok yang dulunya segar, kini menghadap kepadaNya. Ucapan belasungkawa berhamburan, tapi hati kecil tetap mengatakan, “ini benar apa tidak?” Namun, tangan begitu saja mengikuti ritme hati, untuk mengucapkan hal yang sama: innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sebagai mahasiswanya, jika ditanya tentang sosok Pak Ahmad Hudaya, kemurahan senyum dan keceriaan diri tersemat pada beliau. Tidak pernah untuk tidak menebar senyuman. Tiap kali memasuki kelas, senyuman tak pernah beliau tanggalkan. Senyum yang lebar sambil diiringi cerita dan pengenalan singkat materi kuliah saat itu. Suasana kelas jadi hidup, jauh dari rasa ‘tegang/spaneng’ dan semua perhatian tertuju hanya kepada beliau.
Energik-penuh semangat, humoris, sistematis, disiplin dan pencair suasana kelas, sangat identik dengan ciri khas kepengajaran Bapak Hudaya. Mahasiswa seolah-olah dianggap menjadi sahabatnya sendiri, walaupun baru pertemuan kali pertama tatap muka di kelas. Hal ini menurut saya cukup memengaruhi tersampainya materi-materi yang beliau ajarkan kepada para mahasiswa. Kedisiplinannya membuat mahasiswa turut mengikuti ritme kepengajaran yang ia miliki.
Barangkali sifat itulah yang terpatri dalam dirinya. Sehingga, tidak hanya di alam kampus, banyak kalangan masyarakat luas menerima. Kesejukan yang beliau pancarkan, mendarat sebagai sesuatu kecintaan penuh hikmat keikhlasan.
Di meja kuliah, humorisme ditonjolkan untuk menyempaikan sebuah pesan. Tanpa menyinggung perasaan. Di lembah masyarakat, perjuangan dan dakwah santun-toleran dikobarkan untuk persatuan dan damainya keumatan. Bahkan Bupati Karanganyar, Juliyatmono menyaksikan itu (Tribun Jateng 7/8/2021).
Selain sosok murah senyum, karakter jujur dan ‘apa adanya’ juga implisit ia tunjukkan kepada mahasiswa yang ia bimbing. Perlahan ia tunjukkan dengan hasil kemampuan pengerjaan ujian mahasiswanya di setiap semester. Bagi mahasiswa, yang mampu memaknai karakter jujur beliau inilah, akan terpantik semangat untuk memperbaiki diri, dan lebih gigih memahami materi kuliah yang diajarkan.
Bahkan tak jarang di antara mahasiswa, sering merasa rikuh, jika bertatapan dengannya. Budi kebaikan dan praktik kejujuran beliaulah menjadi tembakan halus, dan pelan-pelan merasuk di sanubari yang sebaliknya. Karakter itu yang tak pernah bakal sirna di benak mahasiswa.
Selalu Allah
“Allah dulu, Allah lagi, Allah lagi, Allah lagi”, kalimat yang sering diucapkan beliau selama melakukan pengajaran di kelas. Tepatnya pada pembelajaran mata kuliah Akhlak Tasawuf Semester 3. Materi kuliah yang bagi saya cukup spesial.
Kami diajak memahami Zat Yang Maha Agung lebih dekat lagi. Allah menjadi prioritas, menjadi tujuan hidup. Spirit yang beliau bawa adalah menjadikan hubungan dengan Allah semakin meningkat yang akhirnya berimplikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Jumat, 6 Agustus 2021, pukul 16.23 WIB pesan singkat masuk di Grup Whatsapp Ikatan Alumni KPI FUD. Hati ini cukup terpukul membaca kabar kondisi terkini beliau. Puluhan pesan lainnya terkirim, masuk satu demi satu, yang berisi doa-doa untuk kesembuhannya, doa-doa agar penyakitnya lekas diangkat dan beliau bisa pulih kembali.
Setelah ihktiar lama dilakukan, barangkali Allah ternyata lebih sayang dengan cara memanggilnya pulang. Mungkin ini jalan terbaik dan tanda bukti sayang Allah kepada beliau. Kini beliau sudah tidak merasakan sakit lagi. Sungguh kepergian beliau hari ini cukup menyisakan lubang yang cukup besar di hati kami. Al-Fatihah.
Edit: Agus Wedi