Memori manusia, jelasnya otak manusia, menjadi tambah problematik di era “pasca post-truth” ini. “Post-truth” telah lewat, sekarang kita pada era di mana internet adalah sumber informasi utama dan untuk generasi milenial adalah sumber  satu-satunya. Buku bermigrasi ke awan. Yang baca buku dan koran adalah pecinta barang antik.

Paragaraf dia atas saya kutip dari esai Bre Redana di Kompas yang berjudul Praha. Pada bagian “generasi milenial menjadikan internet sebagai satu-satunya sumber informasi” dan “pembaca buku dan koran adalah pecinta barang antik” memang terdengar berlebihan. Namun istilah pasca post-truth menarik dicermati.

Sebagai lanjutan dari paragraf di atas Bre Redana menulis: Orang kian nyaman dengan informasi yang berlimpah, tak peduli benar atau tidak, yang penting cocok dengan pendapat sendiri. Data kalah oleh karisma selebritas dan pengkhotbah. Bukti-bukti ilmiah tidak diperlukan lagi, justru mahasiswa dari jurusan sains yang kini banyak terindikasi mengidap virus ketumpulan berpikir, rentan terhadap kebohongan.

Dua paragraf dari Bre Redana di atas memantik perenungan. Betapa kita hari ini telah sampai di suatu masa yang kian mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, data-data dan bukti tak penting lagi, fakta tak berarti, orang-orang maunya hanya mengkonsumsi informasi yang cocok dengan kehendak hatinya sendri. Berpikir objektif dan jernih pun jadi kian susah.

Seorang kawan memberi contoh fenomena post-truth: misalnya kita pendukung Jokowi, kita akan mengabaikan bahkan menafikan berita-berita tentang Prabowo. Meskipun berita tentang Prabowo itu adalah fakta, didukung datang-data. Mereka tak peduli lagi, yang benar hanya berita (positif) tentang Jokowi. Begitu juga sebaliknya jika kita mendukung Prabowo.

Saya kira ini adalah fenomena yang “mengerikan”, apalagi jika masuk ke ruang-ruang akademis. Menjadi insan akademis, bagi saya, harus mau menjadi manusia yang berpikiran terbuka. Tidak bisa ngeyel dan ngotot mengatakan pendapatnya yang paling benar dan yang lain pasti salah. Seorang insan akademis mestinya karib dengan diskusi-diskusi, di mana pendapatnya bisa salah dan dikritik. Ia harus memberi ruang di hati dan kepalanya untuk legowo mengakui kesalahan dan mau direvisi. Bukankah saling mematahkan teori merupakan hal lumrah?

Di era pasca post-truth tidak aneh jika sejumlah kalangan mengatakan bahwa masyarakat samakin terpolarisasi dalam dua kubu setelah pilpres. Sebagaimana dikatakan Bre Redana: Orang kian nyaman dengan informasi yang berlimpah, tak peduli benar atau tidak, yang penting cocok dengan pendapat sendiri, itulah memang yang terjadi kini. Mau informasi itu benar atau salah, selama menguntungkan capres pilihannya maka akan ditelan bulat-bulat, kalau perlu disebarkan biar banyak orang tahu.

Data, bukti, dan fakta telah mati. Padahal dalam sidang-sidang skripsi dosen sering bertanya, “mana data-datamu?”, “ini hanya asumsimu belaka atau disertai bukti-bukti?” dst. Kontras sekali rasanya, di balik dinding kampus orang-orang bekutat dengan data, bukti dan fakta. Sementara tak jauh dari kampus, sebagain orang telah mengubur dalam-dalam itu semua. Yang penting aku paling benar, dan kamu salah (tak heran jika hoaks dan kebencian tumbuh subur).

Jika yang semacam ini dibiarkan berlarut-larut, persatuan bangsa jelas terancam. Bisa dibayangkan jika orang-orang semakin sulit berpikir kritis dan ilmiah. Jangankan kritis, berpikir jernih dan objektif saja semakin susah. Yang terjadi hanya kengototan dan kengeyelan yang tak habis-habis. Sesuatu yang pada titik tertentu mirip dengan kebodohan.

Saya kira perlu peran serta tokoh-tokoh agama dan “orang-orang kampus” untuk terus menerus menggaungkan persatuan bangsa, dan bukan sebaliknya. Mereka harus bersuara. Tentu diiringi semangat untuk tidak saling meninggikan ego masing-masing. Semangat itu hanya bisa muncul dari pikiran yang sehat, waras dan jernih.

Komentar