Ada sebuah adagium, “siapapun yang banyak ucapannya, akan banyak pula potensi salahnya.” Itu juga berlaku bagi para penceramah, para ustadz, para kiai yang banyak memberikan tausiah, ceramah dan wejangan dalam durasi yang panjang, dengan materi yang sangat beragam, dengan pendengar yang juga dari berbagai kalangan dan tingkatan.
Kesalahan itu bisa karena memang salah, terpeleset lisannya (sabqul kalam), ataupun karena pendengar yang salah memahami ucapan mereka. Potensi adanya “kesalahan” dan “salah dipahami” itu semakin besar dengan adanya polarisasi dalam masyarakat Indonesia secara umum, baik karena faktor beda pilihan politik, beda ormas, atau beda faham keagamaan.
“Kasus” yang terjadi pada beberapa penceramah kondang semisal UAS, UAH, Gus Muwaffiq dan beberapa contoh lainnya bisa jadi masuk dalam kategori ini, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi, baik oleh tokoh yang sama maupun tokoh lainnya. Bahkan, jauh sebelum ramainya sosmed seperti sekarang, hal ini juga pernah terjadi pada tokoh sekaliber KH Said Agil Siroj.
Perlu sikap yang lebih bijak dalam menghadapi persoalan seperti ini. Meniadakan kesalahan dari mereka, sebesar apapun ketokohan mereka, jelas bertentangan dengan sunnatullah karena mereka manusia biasa yang pasti pernah salah, lupa dan alpa. Sebaliknya, menghakimi mereka karena satu dua “kesalahan”, juga bukan merupakan tindakan yang bijak. Akan lebih baik jika husnudzdzan atau baik sangka yang dikedepankan, sehingga akan mudah menerima udzur mereka daripada mencela mereka karena kontribusi positif mereka untuk masyarakat dan bangsa ini jauh lebih banyak daripada satu dua kesalahan yang mereka lakukan.
Para pecinta mereka, saat ada kesalahan dan kealpaan yang dilakuan dalam ceramah mereka, tentu akan memahami dan memaafkan walaupun tidak ada klarifikasi dari mereka. Sebaliknya, para pembenci mereka tetap akan mencela dan mencerca mereka walaupun sudah ada klarifikasi, bahkan berkali-kali. Akal sehat kita seharusnya berada dalam posisi yang seimbang, tidak mudah mencela, mencerca, tapi juga tidak ta’assub buta yang mematikan kekritisan. Wallahu A’lam.