Abraham Zakky Zulhazmi*

Saya terdiam cukup lama membaca cuitan seorang kawan di Twitter yang berbunyi: Ancaman pembunuhan terbuka ke Presiden Jokowi, kekerasan verbal ke penjaga gerai toko modern atas nama sedekah, dua-duanya dilakukan orang-orang berpakaian agamis, menunjukkan agama harus dijaga dengan benar dari pemahaman yang sesat. Karena dampaknya memalukan dan mengerikan.

Tulisan ini tidak ingin menyoal kasus ancaman pembunuhan yang ditujukan ke Jokowi atau kejadian minta sedekah dengan paksaan yang videonya viral itu. Tulisan ini bermaksud mendedah perihal baju/pakaian. Cuitan di atas menyebut “pakaian agamis”, ingatan saya  langsung tertuju pada baju koko, baju yang identik dengan umat Islam.

Baju atau pakaian yang kita kenakan sebetulnya berkaitan dengan simbol dan identitas. Memilih pakaian untuk dikenakan dalam suatu kesempatan tentu bukan tanpa alasan. Sadar atau tidak, ada sesuatu yang ingin kita komunikasikan lewat pakaian yang kita pakai.  Sesuatu yang barangkali lebih tepat disebut citra.

Ketika mengajar misalnya, ada dosen yang ingin tampil kasual dengan paduan kemeja kotak-kotak lengan pendek, celana levis, dan sepatu sneakers. Ia boleh jadi ingin membangun citra “dosen gaul”. Ada juga yang selalu memakai kemeja batik lengan panjang, celana bahan yang disetrika halus, sepatu pantofel dan songkok hitam. Barangkali ia sedang menampilkan citra “dosen berwibawa sekaligus religius.”

Gaya berpakaian mahasiswa juga macam-macam. Ada yang masuk kelas dengan menggunakan jersey klub bola kesayangan, ada yang berbatik lengan pendek, ada yang berkemeja flanel, ada yang senang berbaju koko dll. Semua tentu dengan “maksud dan tujuan” masing-masing.

Lantas, apakah pakaian merupakan cerminan kepribadian? Kita tahu, pakaian hanyalah kemasan, hanya bungkus. Ambil contoh misalkan seseorang yang memiliki kesalehan pas-pasan tapi ingin dianggap saleh lalu memilih berbaju koko di setiap kesempatan. Ada juga yang senang memakai setelan jas hanya agar orang-orang menaruh hormat padanya.

Nyatanya, pakaian bisa menipu kita. Bukankah kita sering bertemu orang yang mengenakan pakaian alakadarnya dan kadang tampak “tak menyakinkan” namun memiliki kesalehan atau kedalaman ilmu yang menakjubkan. Ada yang tampilan luar seperti orang gila, berpakaian lusuh compang camping, tapi ternyata seorang wali.

Bicara soal pakaian, saya teringat film P.K yang setiap tahun selalu saya tonton bersama mahasiswa semester 2 di kelas yang saya ampu. Ada satu bagian di film itu yang saya kira menarik. Yakni ketika P.K berhadapan dengan Tapaswi. P.K menghadirkan sejumlah orang dengan pakaian berbeda-beda, pakaian yang mereka pakai identik dengan agama tertentu. Misalnya ada perempuan yang memakai cadar yang boleh jadi mengingatkan kita pada perempuan muslim.

P.K menantang Tapaswi untuk menebak agama masing-masing orang. Tapaswi menganggap remeh pertanyaan itu dan mulai menjawab. Tapi rupanya jawaban Tapaswi tak ada yang benar. P.K sengaja mendandani orang-orang itu dengan pakaian yang “berlawanan” dengan agama yang dianut. Misalnya, Jaggu yang Hindu dipakaiakan gamis dan cadar. Tapaswi terkecoh. Ia menilai orang hanya dari pakaian.

Di kelas, saya sering bertanya kepada mahasiswa: di taman ada dua orang duduk berdampingan, satu berbaju koko, satu berbaju batik, lebih alim yang mana? Banyak yang menjawab lebih alim yang berbaju koko. Meski ada juga yang mengatakan: soal kealiman atau kesalehan tidak bisa diukur dari pakaian.

Kembali ke soal cuitan di atas, pakaian agamis atau baju koko atau baju takwa atau apapun istilahnya bukan jaminan bahwa pemakainya selalu berlaku islami. Lagi-lagi, kemasan yang memikat tak memberi jaminan isinya juga memikat. Mungkin sering kita dapati makanan ringan yang bungkusnya bagus dan besar tapi setalah dibuka isinya hanya seuprit. Zonk.

Meskipun kata orang Jawa ajining raga ana ing busana, jangan sampai kita terkecoh oleh pakaian. Bukankah ironis berpakaian agamis tapi mengancam membunuh kepala negara, berbaju gamis tapi minta sedekah dengan memaksa? Ya, baju koko memang tidak mengandung “sihir”, yang membuat pemakainya otomatis jadi saleh atau berkakhlak mulia.

*)Pengajar di jurusan KPI IAIN Surakarta

Komentar