Cak Nur (Nurcholis Madjid) menulis:“Pada masa-masa Islam awal, banyak pergaulan sosial yang lancar di antara kaum muslimin, Kristen dan Yahudi. Sementara menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu di mana relasi persahabatan pribadi, kerjasama bisnis hubungan guru-murid dalam ilmu pengetahuan dan bentuk-bentuk aktivitas bersama lainnya berjalan normal dan sangat umum di mana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara”. (“Islam Agama Peradaban”, hal. 60).
Membaca sejarah di atas kita bisa melihat bahwa Islam pada masa lalu begitu inklusif (terbuka), ramah dan toleran. Relasi antar umat beragama berlangsung damai dan bersahabat. Perbedaan agama tidak menghalangi mereka untuk saling berbagi pengetahuan dan kebijaksanaan. Berbuat baik dan adil serta “Qabul al-Akhar” (menyambut liyan) tidaklah berarti mengakui keyakinannya. Keyakinan adalah milik individu dan ada di dalam hati masing-masing. Sedang perbuatan baik adalah milik bersama.
Al-Qur’an sudah menyatakan :
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطوا اليهم. ان الله يحب المقسطين.
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. Al-Mumtahanah, 8).
Berkat relasi kesalingan kerjasama dan keterbukaan itu peradaban kaum muslimin mengalami puncak kejayaan dan memberi sumbangan yang berharga bagi kemajuan peradaban dunia.
Apakah kita kaum muslimin hari ini masih menjaga warisan kebijaksanaan yang indah itu atau sedang kehilangan kebijaksanaan itu. Kata orang-orang bijakbestari : “Kita sepatutnya mengambil kebijaksanaan itu di tangan siapapun dan di manapun ia berada, karena ia adalah milik kita”.
خُذِ الْحِكْمَةَ وَلَا يَضُرُّكَ مِنْ أَيِّ وِعَاءٍ خَرَجَتْ .( الحافظ السخاوي في المقاصد الحسنة ).
“Ambillah hikmah, tak ada ruginya, darimana pun datangnya”. (Al-Sakhawi dalam “al-Maqashid al-Hasanah”).