“Perubahan selalu mensyaratkan adanya kegoncangan. Gempa bumi, panas dan badai, hanyalah isyarat alam akan lahirnya tatatan baru. Peperangan, konflik, rusaknya kohesi sosial, adalah bagian tak terpisah dari perubahan sosial. Begitu juga yang berlaku di jagad kecil. Kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan, semua adalah isyarat perubaahan diri menuju kesempurnaan. Maka hadapilah setiap kegoncangan (turbulence) sebagai bagian dari siklus perubahan hidup. Inilah siklus yang harus dijalani dengan kesadaran dan keteguhan batin” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).
Dapat dikatakan, misi terpenting nabi-nabi adalah perubahan. Ibrahim tampil “menampar” keangkuhan Namrud. Musa datang melawan arogansi Fir’aun. Isa berjalan kaki dari kampung ke kampung menyerukan pembebasan dari penindasan penguasa dan hipokrasi agamawan. Al-Amin, Muhammad putra Abdullah, tampil membelalakkan mata para pentolan Quraisy karena mendaku memanggul risalah samawiyah yang bukan cuma lantang berkata “Tiada tuhan selain Allah,” melainkan juga tak gentar menantang kepongahan para juragan Mekkah yang bergelimang harta dan kekuasaan dengan menginjak-injak keadilan dan solidaritas sosial. Untuk apa semua perjuangan para nabi itu? Demi perubahan!
Kapak Ibrahim bukan sembarang kapak, melainkan simbol perubah tatanan zalim di bawah kendali raja lalim, penguasa Babilonia, Namrud bin Kan’an. Tongkat Musa bukan sekadar tongkat yang dengannya Allah menujukkan beberapa mukjizat di tangannya. Melainkan tongkat simbol perjuangan kaum tertindas Bani Israel melawan penindasan penguasa Mesir kala itu, Ramses II bergelar Fir’aun. Isa, setelah selamat dari ancaman pembunuhan yang dilancarkan Raja Herodes, di usia 30 Allah memberinya syariat untuk membenahi Bani Israel yang diliputi penyimpangan, kekacauan, kezaliman dan kejahatan. Mereka sudah jauh menyimpang dari ajaran Musa. Tanpa kapak, tanpa tongkat, Isa mengkhotbahkan kebenaran demi perubahan dan keadilan. Seperti Isa yang tak berbekal “senjata”, Muhammad memanggul risalah perubahan lewat keelokan perilaku dan kefasihan lisan. Jihad fisik memang acap tak terhindarkan tatkala diam malah berarti pembiaran ketidakadilan merajalela.
Setiap perubahan, seperti kata Pak Rektor, “selalu mensyaratkan adanya kegoncangan.” Kerajaan Babilonia di bawah Namrud tiba-tiba goncang oleh keberanian Ibrahim. Singgasana Ramses II goncang oleh heroisme Musa. Tatatan politik dan keagamaan Bani Israel goncang oleh perjuangan penuh kasih Isa. Dan Mekkah goncang oleh risalah Ilahiyah yang diusung Muhammad putra Abdullah yang beberapa tahun sebelumnya mereka menyematkan gelar al-Amin kepadanya.
Perubahan juga (harus) ada di tingkat individu. Tapi memang, seperti dikatakan Pak Rektor, selalu saja perubahan itu mensyaratkan kegoncangan. Tak terkecuali perubahan di tingkat individu. Perubahan sosial menggoncang tatanan sosial. Perubahan individu menggoncang tatanan individu. Kata Pak Rektor, “kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan, semua adalah isyarat perubaahan diri.” Perubahan yang memantik kegoncangan, baik di tatatan sosial maupun di tatanan individu, merupakan jalan menuju kesempurnaan.
Jika kita ingin berubah, jika kita ingin hidup ini tidak “begini begini saja”, jika kita ingin lompatan-lompatan baru yang melesatkan kualitas dan meluhurkan martabat diri kita, maka mulailah dengan langkah-langkah kecil perubahan. Langkah-langkah yang meski kecil tapi terarah, terukur dan terkendali. Tapi, seperi Pak Rektor wanti-wanti, jalan perubahan bukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan. Tapi lagi, bagi para perindu dan pemburu kesempurnaan hidup, jalan perubahan mutlak harus ditempuh, sepenuhnya harus dijalani “dengan kesadaran dan keteguhan batin.” Begitu seorang pembaharu atau pelopor perubahan sampai di pelataran kesuksesan (kesempurnaan), ketika itu mungkin ia akan melontarkan kata-kata bijak: “Tidak ada yang perlu disesali atau pun diratapi dari sebuah perubahan sejauh itu merupakan jalan kesempurnaan.”