Dunia dalam situasi sulit. Pembelokan berita mudah terjadi di pelbagai media cetak dan daring. Adu domba menemui masa sanja kala lewat semaian dinamika politik-agama yang kian semerbak di tahun ini. Para politisi tak ingin berkonflik tapi mudah menajamkan polarisasi di masyarakat. Dalam situasi seperti ini, “media” berkeinginan untuk menempatkan diri sebagai perekat sendi-sendi persatuan bangsa lewat penghargaan. Begitu juga sebaliknya.
Kita beruntung, para intelektual muslim sempat memberikan pandangannya tentang toleransi dan persatuan umat, meski mereka tak ingin diakui sebagai orang paling nomer satu sebagai perekat sendi umat. Kita bisa melihat lewat sepak terjangnya di beberapa organiasi dan institusi. Mereka juga tak lupa menyempatkan menulis tulisan pendek untuk kebutuhan umat yang dibukukan atas kerjasama Yayasan Muslim Indonesia Bersatu dengan Penebit Mizan berjudul Menuju Persatuan Islam, (Mizan 2012)
Kita bisa membaca tulisan Ahmad Syafii Maarif, “ukhwah Islamiah hanyalah mungkin diwujudkan secara mantap bila Alquran kita pahami secara utuh dan tidak untuk sekadar memberi justifikasi terhadap prakonsepsi kita tentang umat, yang mungkin secara tidak kita sadari berasal dari landasan etika-golongan. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil ialah membersihkan kecendrungan-kecendrungan batin-intelektual kita-yang selama ini mungkin didominasi oleh etika golongan, suku, jujur, dan bertanggungjawab.
Langkah kedua, kesedian kita untuk menilai secara menyeluruh warisan inteletual dan kultural Islam melalui kritik sejarah, dengan ruh Alquran di otak belakang kita. Dengan langkah strategis ini memerlukan peralatan intelektual yang memadai, seperti penguasaan pelbagai literatur kelimuan: bahasa, sejarah dan ilmu-ilmu kekinian. Buya Syafii sangat percaya jika langkah itu terealisasi, maka iklim persatuan umat manusia akan terwujud.
Memang di masa sekarang, isu-isu dan kepentingan paling menonjol dalam dinamika politik Dunia dan Islam Indonesia. Para pemimpin menformat politik Islam diusung namun mengesampingkan makna Islam itu sendiri dan lebih menonjolkan pesan simbolis dari pada subtansif Islam.
Kita bisa membaca pandangan Quraish Shihab dengan perenungan, “untuk mewujudkan ukhwah Islamiah, barangkali langkah yang harus kita ambil, meminta pemimpin-pemimpin masyarakat dan para cendekiawan kita, untuk lebih banyak lagi memahami atau mempelajari ide-ide dari pihak-pihak lain. Mungkin dengan mempelajari ide-ide ini justru bisa ditemukan titik-titik temu pertemuan. Jangan malah kita tonjolkan perbedaannya. Hal ini yang penting menyangkut toleransi ukhwah ini adalah, betapapun penilaian kita terhadap kesesatan satu golongan, pada akhirnya kita dianjurkan untuk mengucapkan-sebagai sikap “keluar”, bukan sikap ke “dalam” sebagai keyakinan-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diucapkan kepada kaum musyrikin:
“Kami atau kah tuan-tuan yang berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata? Katakanlah! Kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang dosa-dosa yang kami perbuat, dan kami pun tidak akan dimitai pertanggungjawaban tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah bahwa Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi putusan antara kita dengan benar, dan Dialah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS Saba’ [32]: 24, 25, 26).
Bagi Quraish Shihab, jika semacam ayat di atas boleh diucapkan kepada Non-Muslim, maka tentu lebih boleh lagi diucapkan kepada sesama muslim. Perbedaan dalam terang kehidupan tetap akan tiba, namun pasti tidak akan membahayakan selama kesemuanya terutama pemimpin mendukung tujuan Islam dan selama kesemuanya memiliki iktikad baik.
Tentu umat manusia memiliki ruang gerak dinamis untuk bisa berkonsolidasi tanpa harus merasa permasif dengan masalah pluralitas dan demokrasi. Dalam hal kontestasi persatuan umat di wilayah demokratis, barangkali ajakan (dakwah) yang harus direnungkan. Menurut Said Aqil Siradj. Ia menulis mengacu dalam Fathul Mu’in:
“Gerakan dakwah yang harus dilakukan. Pertama, mari sebarkan agama Islam ini dengan argumentasi, baik secara intelektual mau pun rasional. Kedua, laksanakan ibadah. Ketiga, kalau kita diserang, ya, bertahan. Jadi, ayat wa qatilu (dan perangilah) itu turun ketika Nabi Saw. Berperang, bukan lagi damai. Kalau lagi damai tentu ayat itu tidak berbunyi wa qatilu.
Dan keempat, memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat, yaitu orang yang baik-baik, bukan bos judi, bukan bos pijat, bukan pelaku kriminal, melainkan warga negara Indonesia yang muslim atau non-Muslim selama mereka baik-baik, alias bukan penjahat.”
Di mata Kiai Said Aqil, untuk menuju persatuan umat, berdakwah itu menggunakan cara pendekatan hikmah (bijaksana), dan warga negara dipastikan tidak tersinggung dan baik-baik saja. Persatuan umat perlu dieksperikan dengan memberikan perlidungan kepada Muslim dan non-Muslim. Pangan, pakaian, kesehatan dan tempat tinggal perlu juga mendapat perlindungan.
Kita juga bisa membaca esai M, Dawam Raharjo, berjudul “Mengembangkan Kerja Sama Umat Islam”. Ia menganggap persatuan umat tak akan terwujud jika antarpemeluk atau sesama pemeluk agama merasa saling mengkhawatirkan (tapi beda paham lain). Faktor ini yang merusak ajaran agama itu sendiri sama mereka yang berbeda itu, kekakhwatiran bisa merusak kesatuan ajaran. Penyebab intoleransi lebih hebat terjadi ke sesama pemeluk agama tapi beda paham dari pada golongan yang tidak beragama Islam.
Bagi Dawam Raharjo, ikhtiar menyatukan umat tak melulu menguatkan golongan tertentu untuk bisa menang tanding antar golongan lain. Atau berpesan lewat suara mimbar untuk selalu menguatkan iman agar tak dilibas kelompok lain, bahkan memusuhi kelompok lain yang berbeda lewat bujuk rayu dakwah.
Bagi Dawam, semestinya bukan itu, tapi perselisihan haruslah didamaikan, harus ada islah di antara yang berselisih. Maka, untuk mewujudkan persatuan umat tidak harus ada dalam satu pola pemikiran. Melainkan dalam hal ini kita justru harus beragam, asal ditempatkan dalam kerangka keseluruhan yang terpadu.
Identitas persatuan umat dunia dan di Indonesia adalah harmonisasi gerakan umat Islam itu sendiri di bidang dakwah, politik, ekonomi, budaya, demokrasi, dan kemauan persaudaran dengan masyarakat global untuk mewujudkan bangsa (Indonesia) maju, rukun, dan berdaya. Itu!