Abd. Halim*

Sekitar tahun 2016, saat kami diamanahi untuk mengampu mata kuliah Al-Quran dan Sosial Budaya di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Saya dan Mb Lien Iffah Naf’atu Fiena yang saat itu masih sama-sama dosen pemula merasa kebingungan bagaimana cara menyampaikan materi ‘baru’ tersebut. Akhirnya, kami sepakat untuk sowan kepada ahlinya ahli, Abah Yai Ahmad Rafiq, yang kebetulan disertasinya membahas tentang resepsi al-Quran di Indonesia. Beliau adalah dosen senior di UIN Sunan Kalijaga, pakar kajian living Quran jebolan Temple University, Philadelpia.

Menurut Ahmad Rafiq, kajian al-Quran itu biasanya bermuara pada tiga ranah. Pertama, origin (asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip. Di Barat, kajian tentang asal-usul al-Quran banyak diperbincangkan, salah satunya apakah al-Quran asli atau hanya saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Kedua, form (bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, misalnya kajian tafsir dan pemaknaan. Ketiga, function (fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.

Yang menarik adalah kajian pada ranah ketiga, yakni ranah function. Ahmad rafiq menjelaskan tentang fungsi al-Quran dengan menggunakan perspektif Sam D. Gail, bahwa al-Quran itu memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi informastif dan fungsi performatif.

Fungsi informatif adalah fungsi di mana teks al-Quran dipahami, dibaca dan diamalkan. Contohnya adalah kajian Tafsir Jalalain di pesantren-pesantren, kajian tafsir tematik di majlis taklim dan lain-lain. Dalam konteks ini, al-Quran diyakini sebagai petunjuk bagi manusia sehingga pesannya digali untuk diamalkan.

Sedangkan fungsi performatif adalah ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya al-Quran sebagai wirid atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah), mushaf al-Quran dijadikan sebagai alat sumpah, mushaf al-Quran dijadikan mahar, ayat al-Quran dijadikan obat orang sakit dan lain sebagainya. Jadi yang dilihat adalah bagaimana al-Quran diperlakukan dan hidup di masyarakat. Entah itu selaras dengan pesan al-Quran atau tidak.

Nah, lantas bagaimana dengan fenomena masyarakat yang mempolitisir ayat al-Quran untuk kepentingan politik praktis? Menurut hemat penulis, fenomena tersebut bisa masuk ke dalam dua ranah fungsi al-Quran di atas, bisa informatif dan bisa juga performatif, atau dalam bahasa lainnya politisasi al-Quran itu masuk dalam ranah fungsi informatif cum performatif.

Dikatakan informatif, karena orang-orang yang melakukan politisasi ayat al-Quran itu pada dasarnya ia mencoba untuk memahami al-Quran meskipun hanya berbekal ala kadarnya, misalnya hanya dengan terjemahan saja, namun, pemahaman ini lahir dalam konteks situasi tertentu sehingga pemahaman menjadi sangat bias. Disebut performatif karena pemahaman tersebut secara sengaja dimunculkan untuk menghantam lawan politik dengan menggunakan ayat al-Quran. Artinya, al-Quran dijadikan sebagai alat (tool) untuk mencapai kepentingan tertentu yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan pesan-pesan al-Quran bahkan terkesan terlalu dipaksakan.

Fenomena semacam ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pakar kajian al-Quran, bahwa memahami al-Quran itu tidak bisa ujuk-ujuk jadi. ia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia butuh proses dan perenungan panjang untuk mendapatkan pesan yang selaras dengan tujuan al-Quran diturunkan, yakni menjadi petunjuk dan rahmat bagi alam semesta, bukan justru menjadi alat untuk memecah belah dan menyebabkan konflik berkepanjangan sebagaimana pernah terjadi di era awal Islam saat mereka terpecah belah. Wallâhu a’lam.

 

 

 

 

Komentar