Salah satu yang membuat saya menggerutu membaca karya lulusan Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Indonesia pada 1987 ini adalah bahwa ia seperti menyepelekan orang-orang IAIN, STAIN, UIN, juga para alumninya. Rasanya bukan hanya itu, secara tidak langsung ia seperti juga hendak mempersempit lapangan pekerjaan sekaligus minat alumni IAIN dan sejenisnya pada agama.
Padahal, sebelumnya, saya senang sekali ketika membaca tulisan Josep O Baker dkk bertajuk “Religion in the Age of Social Distancing: How COVID-19 Presents New Directions for Research” pada Jurnal Sociology of Religion, Volume 81, Issue 4, Winter 2020, menyebut agama sebagai sebuah “variabel bebas” (independent variable) dan perlu dielaborasi dalam mengkaji fenomena pandemi sekarang ini.
Pak Hadiz, Guru Besar Masyarakat dan Politik Asia di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia ini, tak terlalu percaya agama berikut doktrinnya sebagai variabel penting dalam mengamati fenomena apapun dalam hidup yang fana ini, termasuk populisme. “Analisis jelas tidak dapat dilakukan dengan rujukan utama pada ayat-ayat Al-Quran, tak peduli betapa dalamnya atau baiknya dipahami oleh sang peneliti,” katanya dengan enteng.
Ditambah lagi embel-embel penjelasan “sosiologi agama saja tidak dapat menjelaskan karakter populisme Islam.” Agama hanya dilihat sebagai fenomena penjelas dari sejarah dan sosiologis. Tak lebih tak kurang. Makanya, tak heran kita tak akan menemukan kutipan tentang al-Quran barang satu kalimat pun.
Pak Hadiz seperti kurang peka pada usaha keras sarjana-sarjana Islam yang sudah mati-matian menunjukkan bahwa ada problem penafsiran terhadap al-Quran lalu mempengaruhi sikap seseorang atau segolongan masyarakat. Ia lupa bahwa mempelajari apa perbedaan tafsir antara tahlili, ijmali, muqaran atau maudhu’i saja hampir satu sementer dan bikin kepala puyeng.
Tapi, sebetulnya, bukan hanya orang-orang IAIN, STAIN, dan UIN yang dikritik. Karya-karya teman-teman yang dekat dengan mereka juga dinilai kurang bisa mampu menjelaskan. Entah itu Pak Greg Barton, Pak Robert Hefner, atau Pak Greg Fealy dan nama-nama lainnya. Mengapa? Karena percaya bahwa kebudayaan atau penafsiran agama dinilai mempengaruhi pola dan bentuk sikap-sikap politik Islam.
Begitulah tampaknya ia memahami populisme Islam di Indonesia. Bukan karena faktor agama dan kebudayaan yang mempengaruhi tetapi “konteks historis dan sosiologis yang membentuk perkembangan politik Islam -bukan perilaku politi yang dibentuk oleh kebudayaan atau doktrin.”
Gerakan populisme Islam yang menguat di Indonesia –namun gagal meraih kekuasaan—hanya menjadikan agama sekedar alat instrumentalisasi melawan oligarki dan dampak buruk neoliberalisme. Keberhasilan penggunaan itu muncul memang karena didukung konteks: kemarahan dan kekecewaan atas berbagai ketimpangan.
Disebutlah macam-macam data tentang jumlah kemiskininan, indeks koefisien gini yang menjelaskan distribusi pendapatan atau kekayaan, dan betumpuknya kekayakaan pada empat puluh oligark di Indonesia versi Winter. Dengan logika ini, gerakan populisme Islam dengan narasi agama juga bisa gagal jika tidak didukung konteks. Karena itu Islam bukan faktor penentu. Islam hanya tepat karena identitas yang melampaui batas kelas.
Teman saya pernah berkata, “Jika agama harus disingkirkan dari percakapan atau dianggap tidak lagi penting, lalu kita-kita dari IAIN ini mau omong apa?” Ia lupa, salah satu kemampuan alumni IAIN dan sejenisnya adalah mereka sudah dilatih tawakal dan menjadi manusia manfaat di bidang apa pun. Coba perhatikan, tidak kurang-kurangnya alumni IAIN atau UIN yang menjadi ahli statistik dan survei, ahli anggaran, ahli kebijakan publik, menteri, ketua DPR. Kalau hanya pengamat sosial dan politik, menurut saya malah sudah umum.
Kalimulya, 14 Januari 2021
Alamsyah M Dja’far