Saya kadang heran masih ada saja orang yang mempersoalkan istilah “puasa” yang konon berasal dari bahasa Sansakerta dengan berbagai konotasi maknanya, lalu seolah menjadi oposisi biner dengan kata “shaum” atau “shiyam” yang berasal dar bahasa Arab. Anehnya, hanya istilah-istilah tertentu yang dianggap berbau “agama” atau tepatnya “syariat” yang dipertentangkan. Sedangkan istilah-istilah lain seperti televisi, handphone, drone, dan yang tidak ditemukan padanannya sama sekali, dibiarkan dan tidak menjadi masalah.
Padahal, bahasa tentu saja adalah budaya yang hampir tidak ada yang benar-benar origin, selalu saja menjadi suatu proses akulturasi, sehingga hampir tidak ada budaya yang benar-benar berdiri sendiri, tetapi terbentuk oleh berbagai elemen tradisi lainnya. Mempermasalahkan istilah-istilah tertentu lalu dipertentangkan dengan istilah lainnya hanya menunjukkan ketidaktahuan atau bahkan kenaifan yang dipelihara atau dalam istilah Arabnya “jahil murokab”.
Bagi saya, sejak dulu istilah “puasa” tidak pernah dipermasalahkan dan dalam terjemahan Al-Qur’an pun kata “shiyam” atau “shaum” disamakan pengertiannya, yaitu “puasa”. Istilah “shiyam” dan “shaum” sendiri sekalipun memiliki akar kata yang sama, namun memiliki muatan makna yang berbeda. Ibnu Mandzur ketika membahas istilah “shaum” tidak berhenti pada pemaknaan dalam konotasi syariat yang didefinisikan sebagai “al-imsak” atau “menahan diri” dari makan, minum, dan kawin.
Menurutnya, istilah “shaum” ini berakar dari kata yang populer dalam suku-suku Arab kuno. Bahkan, “shaum” itu lebih berkonotasi negatif sebagai “kebiasaan buruk melempar sesuatu dari dubur” (urrotu al-ni’am wa huwa ma yarmi bihi min duburihi). Ini artinya “shaum” erat kaitannya dengan makan, karena istilah “shauman” adalah hal yang terkait dengan apa saja yang bertemu dalam perut. Dalam bahasa suku lainnya, “shaum” identik dengan pohon abstrak yang buahnya adalah setan, jelas inipun memiliki konotasi negatif yang berasal dari bahasa Suku Hudail dan Sa’adah.
Karena istilah “shaum” memiliki keluasan makna dan bahasa tentu saja selalu mengalami perubahan makna sesuai dengan perubahan masyarakatnya yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa, bahkan belakangan telah mengalami polusi budaya yang kadang benar-benar keluar jauh dari maknanya, bahkan mungkin tidak lagi diketahui akar katanya berasal dari mana, sebab kebiasaan manusia itu “asal comot” enak dan pas didengar, jadilah bahasa. Istilah “shaum” yang diadopsi dalam Al-Qur’an tentu saja telah terderivasi maknanya, lekat dengan dimensi ibadah dalam konteks pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam beberapa tempat, istilah “shiyam” atau “shaum” cenderung bermakna positif, karena keduanya mengandung makna cara seseorang mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.
Kata “shiyam” dan “shaum” paling tidak disebutkan 14 kali dalam Al-Qur’an yang tentu saja kata “shiyam” dalam pengertian fiqh lebih banyak disebut daripada “shaum” dalam pengertian tasawuf. Sekalipun istilah “shiyam” lebih banyak dan popoler namun di Indonesia istilah “shaum” bahkan cenderung mendominasi, bahkan terserap ke dalam bahasa daerah, seperti istilah “wilujeng boboran siyam”.
Satu-satunya istilah “shaum” disebut oleh Al-Qur’an ketika menceritakan kesalehan Maryam as: فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا (Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”). Puasa dalam konteks Maryam ini dipertegas sebagai kegiatan yang tidak berbicara (diam) atau hanya berbicara yang benar (baik), maka konsekuensinya Maryam berpuasa untuk tidak berkata buruk kepada manusia lainnya.
Menurut saya, istilah “shaum” lebih kuat dalam rangka berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan benar-benar menjaga lisannya, sebab lisan merupakan pangkal segala dosa. Dalam konteks ini tetu saja “jempol” yang berfungsi menggantikan lisan, seberapa sering jempol kita menyuarakan keburukan dan menyebarkannya kepada orang lain? Wajar, jika kemudian Nabi SAW menyindir para Shoimin dengan menyebut, “berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan haus…”. Perkataan Nabi ini bukan terbatas pada waktu saat itu, tetapi berlaku terus menerus hingga kita menemukan kebenaran ucapan itu pada saat ini, berapa banyak orang berpuasa tetapi yang mereka peroleh tak lebih dari rasa lapar dan dahaga, sebab yang dikejar oleh mereka adalah waktu magrib, untuk melepaskan lapar dan dahaga mereka, kemudia mereka lupa puasanya.
Menariknya, ketika Allah menyebut puasa adalah khusus merupakan ibadah yang memiliki hubungan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya, Allah tidak menyebut dengan istilah “shiyam” tetapi “shaum” sebab “shaum” lebih luas, tidak hanya puasa di bulan Ramadan. Tetapi berpuasa terus menerus untuk menahan diri dari perbuatan buruk, baik dari perkataan, perbuatan, atau bahkan sekadar niat berbuat buruk. “Kullu ‘amalin ibni adam lahu, illa ash-shaumu fa innahu li..” (setiap amal anak adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa sesungguhnya ia untuk-Ku..”).
Menghubungkan hadis ini dengan puasa Ramadan tidak ada salahnya, tetapi makna puasa yang dimaksud lebih luas, tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, dan kawin, rasa-rasanya lebih tepat. Puasa yang dimaksud sebagai “untuk-Ku” yang langsung dinisbahkan kepada Allah, jelas bukan puasa dalam rangka menahan lapar dan haus saja, tetapi puasa dalam artian luas: menahan diri dari segala yang membatalkan, dari segala maksiat yang membahayakan, dosa yang berdampak bagi diri, lingkungan dan juga bertanggungjawab kepada Tuhan.
Berpuasalah untuk tidak makan makanan yang syubhat apalagi haram, berpuasalah untuk tidak menzalimi orang lain dengan cara apapun dan dengan bentuk apapun. Makan dan minumlah secukupnya, jangan berlebihan apalagi dilebih-lebihkan dengan mempertontonkan makanan yang berlimpah di tengah saudara-saudara kita yang kelaparan.