Bulan Ramadan 1445 H sedang kita jalani. Ramadan bulan sangat dinanti-nanti dan diharukan. Menurut Al-Qur’an, bulan ini banyak keistimewaan dan menjanjikan pintu ampunan yang terbuka lebar.Al-Qur’an telah menjanjikan yang beribadah dengan sungguh-sungguh dan berhasil di Ramadan, serta sampai pada derajat takwa, maka Tuhan akan melimpahkan semuanya. Termasuk kenikmatan dunia dan akhirat.Derita Umat Islam Luar NegeriNamun di samping kenikmatan-kenikmatan tersebut, masih banyak orang melihat bahwa bulan Ramadan kali ini terjadi perhimpitan kondisi sosial yang buruk.Kabar-kabar menyedihkan di luar negeri seperti di Palestina, Afghanistan, dan negara tetangga lainnya masih perang. Kondisi mereka masih belum beranjak baik. Kacau balau.Di Palestina, nyaris seluruh sektor kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial, pendidikan, pergaulan, hukum, dan bantuan lainnya lumpuh. Dalam satu hari, puluhan manusia mati.Di hari-hari ini, perut mereka kelaparan. Kabarnya, sekadar untuk sahur dan berbuka puasa saja mereka tak makan. Bahkan air untuk minum saja, mereka kesusahan.Mata mereka, terisi dengan kobaran-kobaran penderitaan. Seribu kuping manusia di sana, berbunyi tentang ketakutan-ketakutan. Dan perut mereka, terisi dengan angin (tidak ada isi) yang menyebabkan kelaparan. Hari-hari mereka tertunaikan oleh kesedihan.Salat wajib dan sunnah tarawih, mereka tundukkan di puing-puing gedung masjid yang luluh lantak. Orang-orang berbondong salat berjemaah dengan beralaskan sajadah lusuh, tikar robek dan plastik yang tipis. Lampu-lampu mereka bawa sendiri dengan dhamar templek.Jeritan Derita di IndonesiaJeritan persoalan juga terjadi di Indonesia. Ramadan kali ini ternodai dengan berbagai permasalahan. Masyarakat masih dipertontonkan dengan sikap-sikap culas dan tampang pembohong. Namun masyarakat Indonesia dipaksa tunduk untuk mengatakan bahwa “itu adalah benar”.Karena kondisi ini terus diterima, maka masalah yang lebih besar juga harus dan dipaksa terus terjadi. Harga-harga kebutuhan pokok dan biaya layanan publik meroket naik tinggi. Padahal kondisi ekonomi mayoritas masyarakat kita masih jauh dari kata sejahtera. Lebih-lebih pada bulan puasa.Jika mau berkata jujur, kondisi Indonesia sedang tidak sehat. Kasus-kasus besar dan kecil membayangi warga semua. Misalnya, gizi buruk, kelaparan akut, kasus-kasus stunting, stres sosial bahkan depresi, perceraian hingga kasus-kasus kriminalitas dengan segala variannya, merebak di mana-mana.Persoalan di RamadanPada Ramadan ini, alih-alih kasusnya makin mereda, bahkan kejahatan yang dilakukan generasi muda dan tua, justru kian merajalela. Dan ini juga terjadi dan dilakukan oleh seorang muslim Indonesia.Lihatlah, pergaulan bebas, miras dan narkoba, tawuran, bunuh diri, perampokan, penyimpangan perilaku hingga pemerkosaan yang berujung pembunuhan, sudah jadi berita biasa. Sayangnya, ini dilakukan oleh kaum muslim yang tahu hukum dan tahu segala dampaknya.Semua ini melengkapi deretan kasus lainnya, termasuk soal moral para akademisi yang melakukan pelecehan seksual di tempat-tempat privat seperti kantor tempat mereka mengheningkan (memikirkan) kedigdayaan mutu kampus dan mahasiswa.Perilaku pejabat dan akademisi ini kian parah dan sulit diberantas. Karena mereka begitu pintar menyembunyikan kasus dan menghilangkannya. Banyak sih, komunitas-komunitas yang mengaku penyintas dan gender. Tapi apalah daya, kalau komunitas macam ini hanya “ketiak” (bau ke luar dan harum ke dalam) dan hanya menjadi tempat pelindung sebuah lembaga.Jangan tanya soal korupsi. Di semua lini, di tempat-tempat pengkhutbah moral itu, korupsi begitu membudaya. Berkelindan dengan kian kuatnya jaringan para mafia yang juga kian banyak jenisnya. Mulai jenis mafia yang terlihat bringas, intelek, dan zuhud.Faktor MasalahMengapa ini bisa terjadi ke semua lini masyarakat (meski tidak semua)? Karena faktor budaya menjilat. Persoalan ini sudah mengakar dan menjadi strategi bagi masyarakat watak rendahan. Baik si miskin ke si kaya, si mahasiswa ke dosen, bawahan ke atasan. Jika kondisi liurmu deras dan luber, bisa dipastikan masa depanmu cerah. Anda bisa membasahi sekujur tubuh si majikannya.Kedua, karena faktor non-integritas. Cek saja, banyak sekali orang-orang salah tempat, tapi dipaksa untuk menduduki di singgasan tempat itu. Ini terjadi karena bukan integritas yang jadi acuannya, melainkan garis keturunan, percintaan, dan tukar-tambah jabatan-inkam (pemasukan).Daya manusia rendah ini, di tengah sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dan tingkat inflasi yang berfluktuasi, Ramadan jadi hari-hari oase diri. Kita tahu kemiskinan otak, harga diri, non-integritas, faktanya induk berbagai persoalan. Tapi momen Ramadan bagi kita setidaknya bisa menjadi setitik oase yang menenangkan.Dengan demikian, hadirnya Ramadan semestinya menjadi momentum untuk meningkatkan ketakwaan yang mewujud dalam bentuk ketaatan total kepada Tuhan. Atau Ramadan kita jalankan, untuk sekadar menarik napas, berkontemplasi dan menikmati semarak Ramadan yang sudah menjadi kebiasaan.

Komentar