Para pemberani tak pernah takut dikucilkan, dicacimaki dan difitnah. Tak pernah khawatir kehilangan jabatan, popularitas dan kehormatan di hadapan massa dan penguasa. Pemberani tak pernah gentar dengan tekanan massa dan berbagai hambatan yang menyulitkan. Dia berani melawan arus kekuasaan dan kehendak massa demi kebenaran yang diyakini, meskipun sendirian. Sang pemberani tidak pernah sepi dalam kesendirian karena selalu ditemani keyakinan. Tidak merasa terhina meski terbuang karena dia tak membutuhkan penghormatan.
Para pemberani juga tidak hanyut dalam kerumunan massa dan gelombang popularitas. Karena hati dan jiwanya kokoh tertaut pada keyakinan dan kearifan. Dia tak pernah menggunakan massa untuk menutupi segala kekurangan dan kelemahannya. Tak pernah mengatasnamakan kebenaran untuk memenuhi kepentingannya. Mereka berani sepi dalam keramaian dan ramai dalam kesepian.
Pecundang dan pengecut selamanya akan selalu berada di balik klaim-klaim kebenaran mayoritas. Hanyut dan larut dalam arus deras kekuasaan dan kekuatan massa karena takut kehilangan popularitas dan jabatan. Hidupnya selalu berada di tengah gerombolan dan kerumunan agar kelihatan hebat. Tak mau sendiri dan menyepi, karena takut tidak dilihat dan dikenal. Dalam sepi tak ada sanjungan umat padanya. Senangnya bertabur popularitas dan pujian yang menghanyutkan. Tidak jarang para pengecut tega berkhianat demi mempertahankan semua itu.
Demikian sejarah mengajarkan kita. Hampir semua pemberani nasibnya terlunta-lunta. Hidupnya penuh caci maki dan fitnah. Mereka rela dirinya dihujat dan dihinakan umat yang dididik dan dibelanya. Tapi menjadi mulia katika mereka telah tiada. Dialah para Nabi, wali, ulama dan pejuang.
Sedangkan para pecundang dan penakut akan dilupakan bahkan dihinakan ketika telah tiada. Segala popularitas, kemewahan dan jabatan yang dibanggakan saat masih hidup menjadi sirna dan sia-sia. Inilah ayat-ayat kehidupan. Banyak juga diantara mereka yang hancur dan dihinakan saat masih di dunia.
Tetus terang aku lebih respek dan kagum pada para pemberani sekalipun mereka dinista, dikucilkan dan tak punya massa. Karena oarang-orang seperti inilah yang bisa menjadi pembuka pintu kebenaran dan perubahan.
Dan aku tak pernah hormat pada para pecundang yang takut kehilangan jabatan, popularitas dan dukungan massa. Yang tega melakukan pengkhianatan, manipulasi dan kedhaliman untuk mempertahankan semua itu. Orang-orang seperti ini tak pernah berani jujur pada kebenaran dan keyakinannya sendiri. Jangankan membuka kebenaran, mereka justru menjadi hijab atas kebenaran meski yang diomongkan seringkali atas nama Tuhan dan kebenaran.
Ingin rasanya aku belejar pada para pemberani tentang makna sabar dan ikhlas dalam kehidupan. Aku juga ingin mengikuti jejak laku hidup mereka yang penuh makna. Tapi kerapuhan jiwa ini selalu membuatku gagal mewujudkan keinginan ini, meski sudah beberapa kali mencoba.
Selain itu, kebekuan hati dan kegelapan nuraniku membuatku tak bisa melihat jejak mereka. Meski sejarah telah banyak mengajarkan dan ayat kehidupan telah nyata membuka mata kita, namun tetap saja aku kesulitan membedakan para pecundang dan pemberani. Batas keduannya sangat tipis dan samar.
Aku sering tersesat, karena menganggap pemberani sebagai pecundang, sehingga dengan pongah dan perasaan diri paling suci aku ikut-ikutan arus massa menghujat dan mencaci mareka yang sebenarnya pemberani. Demikian sebaliknya, kadang-kadang, bahkan sering kali aku memuja dan mengidolakan para pecundang dan pengkhianat karena aku mengira mereka adalah para pejuang dan pemberani.
Dalam dunia yang makin riuh dengan tipu daya ini, aku merasakan seperti meniti di atas titian serambut di belah tujuh untuk sekedar membedakan antara pejuang pemberani dengan pecundang pengkhianat. Dalam suasana seperti ini hanya kewaspadaan, ketulusan dan kebersihan hati yg bisa menembus sekat yang membedakan antara pemberani dan pecundang.*