Jika kita membuka kitab fiqh, biasanya ada kupasan tentang makna “Id”. Misal kitab al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii atau al-Fiqh al-Syafii al-Muyassar. Kata ‘id berasal dari ‘aud’ yang berarti kembali. Mengapa kembali? karena ‘id selalu kembali/ berulang setiap tahun ( al-Fiqh al-Syafii al-Muyassar,Syaikh Wahbah al-Zuhailiy, juz 1, Dar al-Fikr, 2008, hal.284), atau karena dengan kedatangannya, umat Islam kembali bergembira/ berbahagia ( al-fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 1, dar al-‘Ulum al-Insaniyah, 1989, hal.221). Oleh karena itulah kita sering menyebutnya hari raya, karena memang hari itu kita diperintahkan untuk merayakannya dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Yang namanya merayakan biasanya identik dengan kegembiraan. Sedangkan pengetahuan dan pengalaman, saya belum pernah tahu ada satu perayaan yang disengaja untuk merayakan kejadian yang menyedihkan. Kalau memang benar ada yang melakukannya tentu akan terasa aneh.

Kehadiran Islam di dunia ini adalah untuk memberikan keselamatan dan kebahagiaan bagi umatnya di dunia dan juga di akhirat. Karena itulah agama Islam sangat memperhatikan aspek ini. Semua ibadah yang dilakukan–bila kita renungkan lebih dalam–sejatinya megantarkan umat Islam ke arah sana. Apakah itu kebahagiaan yang terkait dengan individu umat Islam melalui ibadah individualnya, maupun kebahagiaan sebagai dampak dari ibadah sosial yang dilakukannya. Hanya memang tidak semua umat Islam bisa langsung merasakan kebahagiaan dalam semua rangkaian ibadah yang dilakukannya di dunia ini. Hal tersebut tergantung pada tingkat ketakwaan, keikhlasan, kekhusyuan dan pemahaman keislaman pada masing-masing individu muslim.

Oleh karenanya kita tidak perlu heran bila ada orang yang salat ia merasa tidak betah apalagi bila berjamaah dengan imam yang agak lama yang sebenarnya bagi orang kebanyakan ya biasa saja, tapi bagi dia salat itu seperti beban berat yang ada dipundaknya, jadi dia tidak menikmatinya dan tidak bahagia. Begitu pula ibadah puasa, saat Ramadan datang, ada yang mengeluh: “Kok sudah Ramadan lagi, perasaan baru banget…udah puasa lagi.” Bila sudah seperti itu kondisinya bagaimana ia akan bahagia dengan ibadahnya. Meskipun demikian, nanti ketika id —saya yakin— ia termasuk orang yang bergembira/ berbahagia, walaupun puasanya bolong-bolong dan salat lima waktunya lebih banyak tidaknya, apalagi tarawihnya. Nah itulah indahnya id yang membawa suasana kegembiraan dan kebahagiaan pada siapa saja, meski tidak puasa dan salat.

Belajar dari id yang memberikan kegembiraan dan kebahagiaan dengan kehadirannya, sejatinya kita umat Islam bisa melakukan hal tersebut. Kehadiran kita hendaknya bagaikan id buat orang lain, yaitu bisa memberikan rasa gembira dan bahagia kepada orang lain. Pelaksanaan id apakah itu idulfitri atau iduladha tidak bisa dilepaskan dari amaliyah yang membuat orang lain gembira dan bahagia terutama fakir miskin. Sebelum idulfitri kita diperintahkan untuk berzakat fitrah dan sebelumnya dianjurkan untuk memperbanyak sedekah di bulan Ramadan, dan saat iduladha kita juga diperintahkan untuk berbagi dalam bentuk hewan kurban sehingga bisa memberikan kegembiraan dan kebahagiaan pada orang lain. Itulah indahnya ajaran Islam yang mengajak kita untuk tidak gembira dan bahagia sendirian tapi mengajak orang lain untuk bergembira dan berbahagia bersama.

Kita bisa belajar dari suri tauladan kita, Rasulullah SAW. Dimana saat beliau sudah bertemu Rabb-nya di sidratul muntaha, yang sesungguhnya merupakan kebahagiaan yang tiada tara bagi seorang hamba Allah saat berjumpa dengan Rabb-nya–bukankah kebahagiaan yang paling indah nanti di akhirat saat kita bertemu dan memandang Allah SWT, Wujuhun Yawmaidzin Nadhirah ila Robbiha Nazhirah–, tapi beliau kembali ke dunia untuk mensyiarkan risalahnya untuk mengajak umat manusia memperoleh kebahagiaan. Dan memang begitulah Rasulullah SAW, beliau sangat tidak ingin umatnya megalami penderitaan.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. ( Q.S. al-Taubah : 128).

Begitulah akhlak Rasulillah SAW yang selalu ingin memberikan kebahagiaan dan tidak ingin umatnya mengalami penderitaan. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, RA Rasulullah SAW juga memotivasi kita untuk bisa memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan kepada sesama.

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani)

Di akhir renungan, sama-sama kita ketahui dan fahami bahwa setelah iduladha ada rangkaian hari Tasyriq (تشريق) selama tiga hari, hari yang kita masih diperkenankan untuk melakukan pemotongan hewan kurban. Kata “tasyriq” berasal dari “Syaraqo” (شرق)yang dalam derivasi katanya memiliki beragam arti antara lain membikin dendeng, menyinari dan bersinar atau bercahaya. Dari rangkaian makna kata tersebut pada hari iduladha ini kita diharapkan bisa menyinari orang-orang yang membutuhkan dengan berbagi daging hewan kurban kepada mereka sehingga mereka bisa membuat dendeng atau yang semisalnya dan dengan demikian hati dan wajah kita yang memberi dan mereka yang menerima bersinar dan bercahaya karena bergembira dan berbahagia.

أَسْعَدُ النَّاسِ مَنْ اَسْعَدَ النَّاسَ

“orang yang paling bahagia adalah orang yang membahagiakan orang lain.”

Wallahu a’lam bi al-Showab. Semoga Bermanfaat. Salam Bahagia dari Ahmad Rusdi

 

Renungan Subuh ke 55, 02-08-2020

Komentar