بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

 

Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Sahabat yang mendengarnya dari Nabi adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash. “Sampaikan dariku meski cuma seayat”, sabda Baginda Nabi. Jika yang menyampaikan dari beliau adalah para sahabat, tentu kita tidak ada persoalan. Mereka adalah jago-jago bahasa Arab. Bagaimana mereka tak paham seluk-beluk bahasa Arab, sedang mereka asli orang Arab. Mereka juga pasti paham betul sabab wurud setiap ujaran Nabi; kapan, di mana, tentang apa, sama siapa, disampaikan seperti apa, dan lain-lainnya. Jadi, kehilangan satu ayat saja tentang atau dari Nabi adalah sebuah kerugian yang harus segera ditutupi.

 

Sementara itu, bagi kita sekarang dimana jarak waktu dengan Nabi terbentang hingga 15 abad dan jarak geografis terbentang hingga ribuan kilometer, ditambah pemahaman tiap-tiap kita tentang ujaran Nabi yang jelas tidak merata, hadis “walau ayatan” ini tidak bisa serta-merta dijadikan pegangan untuk menyampaikan sesuatu dari Nabi tanpa perangkat akademik yang memadai.

 

Syarat “menyampaikan” bukan cuma “pernah dengar”, lebih-lebih kalau hanya “katanya”. Selain piranti moral, menyampaikan ajaran agama juga menuntut piranti akademik. Saya sedang ngomongin yang kedua. Untuk yang pertama, kita serahkan saja pada pribadi masing-masing penceramah agama tentang kualitas dan kemapanan perangkat moral mereka. Tapi yang kedua, yakni piranti akademik, cukup mudah kita menentukan dan menangkap indikator-indikatornya.

 

Mulai saja dari yang paling mudah menangkapnya: tajwid dan kefasihan bacaan al-Quran. Sangat sulit membayangkan kematangan dan kepakaran dalam tata-bahasa Arab dari orang yang kacau tajwid dan kefasihannya. Kefasihan tidak selalu terkait dengan aksen lo ya. Kamu yang fasih bahasa Arab, bisa saja aksen Sunda atau Jawa-nya masih terasa. Soal aksen ini saya kira bukan masalah serius. Yang sedang saya “gugat” adalah tajwid dan kefasihan.

 

Bagaimana bisa diharapkan kedalaman ilmu bahasa Arab dari orang yang misalnya, membaca “wal’abdun” padahal yang betul “wala’abdun”, atau baca “wallahu yad’una (والله يدعون)” padahal yang benar “wallahu yad’u (والله يدعو).” Mungkin ada yang menyela: “Halah…cuma keliru baca. Khilaf, mohon maaf.” Jika yang keliru itu anak kita yang sedang belajar meluruskan tajwid dan kefasihan, maaf bisa diberikan. Tapi jika itu diperagakan orang yang diustadkan (dan mengustadkan diri), maaf maaf, itu tak termaafkan. Solusinya: turun dari mimbar ceramah, belajar lagi ke guru yang relevan. Kapan? Ya sekarang juga, jangan nunggu Upin-Ipin masuk SMP!

 

Bukankah kebenaran bisa datang dari siapa saja? Benar. Tapi jika yang ingin disampaikan ada embel-embel agamanya, mau-tidak-mau penguasaan atas ilmu agama yang standar tetap harus dikuasai. Lain soal kalau yang disampaikan sifatnya “umum”, seperti tentang bagaimana mengelola hati saat galau, bagaimana mengusir sedih saat dunia terasa menghimpit, bagaimana bisa bertahan dalam jiwa yang tegar saat semesta seakan memunggungi kita. Kalau hal-hal seperti itu yang ingin disampaikan, jadilah motivator kehidupan yang kalau sesekali ngutip ayat atau hadis dengan bacaan belepotan tidak terlalu terlihat “menggelikan”.

 

Kesadaran dan keinsafan untuk menjadi pribadi yang baik dengan menjadikan rambu-rambu agama sebagai pedoman, adalah baik dan amat dihargai. Tapi jika kesadaran dan keinsafan itu mendorong yang bersangkutan terlalu jauh sehingga berani juga melabeli diri atau dilabeli ustad atau penceramah agama, maka satu pertanyaan layak diajukan: apakah kita sudah kehabisan stok ustad atau penceramah agama yang jelas riwayat keilmuannya dan masyhur kualitas kesalehannya?

 

Kembali ke “walau ayatan”. Jika ayat itu ayat al-Quran, cukupkah hanya kesadaran dan keinsafan tersebut di atas sebagai piranti yang memadai untuk mengupas gamblang satu ayat saja? Jelas tidak! Di S1 Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Matkul Ulumul Quran disajikan berseri hingga tiga semester. Itu masih ditambah Qawa’id Tafsir, Manahij Mufassirin, Linguistik al-Quran, dan banyak cabang ilmu tafsir lainnya. Kamu pikir semua itu dapat digantikan dengan semangat “ballighu ‘anni walau ayatan” walau tanpa ilmu?

 

Jika kamu ngotot untuk tabligh ayat dengan dalil ballighu ‘ani, maka sejauh-jauhnya yang dapat kamu lakukan hanyalah tabligh: menyampaikan doang. Titik. Jangan menghukumi, jangan berfatwa, jangan mensyarahi ayat ke mana-mana sesuai kecenderungan pribadi. Setelah menyampaikan, katakan saja: Ini ayat atau hadits yang pernah saya dengar. Adapun penjelasan dan syarahnya, mari kita sama-sama ngaji sama ustadz dan kiai yang terkenal kesalehan perilakunya dan masyhur kedalaman ilmu serta keluasan wawasannya.

 

artikel ini pernah tayang di http://www.reksanews.com/2020/06/ballighu-anni-walau-ayatan.html?m=1 tanggal 29 Juni 2020

 

Komentar