‎“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya ‎yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang ‎khusyuk, yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan ‎menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya.” (Q.S. ‎Al-Baqarah : 45-46)‎

Judul tulisan ini merupakan pertanyaan penulis secara pribadi, juga ‎merupakan pertanyaan sebagian besar kita (umat Islam) yang menjalankan ‎ibadah salat lima waktu sehari semalam.‎

Salat khusyuk, mungkinkah? Sebuah pertanyaan singkat, tetapi ‎membutuhkan jawaban panjang, mendalam, berdasarkan kajian yang serius ‎dengan merujuk ke sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits, ‎juga keterangan para ulama salaf al-shalih melalui karya-karya mereka, baik ‎dalam bidang tafsir, hadis, fiqh hingga tasawuf.‎

Jawaban atas pertanyaan, yang menjadi judul tulisan ini tentu tidak ‎mungkin dijawab melalui tulisan singkat ini. Apa yang akan saya uraikan ‎hanyalah mengantarkan kepada pembahasan tentang makna khusyuk dalam ‎salat, sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw, serta keterangan ‎para ulama, serta langkah-langkah yang dapat mengantarkan seseorang ‎menuju sikap khusyuk dalam salat.‎

Tentu, apa yang akan saya tulis ini hanyalah merupakan pemahaman ‎pribadi saya yang sangat terbatas, yang bersumber dari hasil bacaan saya atas ‎sejumlah literatur yang berbicara tentang tema khusyuk ini.‎

Kata khusyuk dalam bahasa Arab bisa berarti adz-dzull (tunduk), al-‎inkhifadh (merendah), dan as-sukuun (tenang). Secara istilah, khusyuk ‎adalah ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan. ‎

Dalam konteks ibadah salat, sebagaimana dijelaskan pada ayat yang ‎penulis kutip di awal tulisan ini, orang yang khusyuk adalah orang yang ‎meyakini dengan penuh kesadaran ruhani bahwa dirinya tengah berjumpa ‎dengan Tuhannya. Dengan kesadarannya itu pula mereka kembali kepada ‎Tuhannya.‎

Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ketika menafsirkan ayat ‎ke-45 dan 46 surat Al-Baqarah di atas menyatakan bahwa sesungguhnya ‎salat merupakan alat komunikasi dan pertemuan antara hamba dengan ‎Tuhannya. Sehingga, dari komunikasi ini muncullah ikatan yang kuat di dalam ‎hati seorang hamba kepada Tuhannya, sampai kemudian ia merasakan bahwa ‎ruhnya berhubungan dengan-Nya.‎

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa ‎khusyuk dalam salat menuntut manusia untuk menghadirkan kebesaran dan ‎keagungan Allah, sekaligus kelemahannya sebagai manusia di hadapan-Nya. ‎Puncak khusyuk adalah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota badan, ‎dalam keadaan pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju kehadirat ‎Ilahi.‎

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan, “Salat ‎adalah mikrajnya orang-orang mukmin.” Makna mikraj di sini adalah ‎perjalanan ruhani (spiritual) seorang hamba (mukmin) menuju Tuhannya. ‎Melalui media salat inilah seorang hamba bisa ‘berjumpa langsung’ dengan ‎Tuhannya. Dia bisa mengadukan segala persoalan, keinginan dan harapannya ‎kepada-Nya. Kuncinya adalah adanya kesadaran dan keyakinan bahwa Allah ‎Swt. sedang ‘menatapnya’ dan ‘mendengarkan’ segala munajat yang ‎disampaikan kepada-Nya.‎

Abu Sangkan, Penulis Buku Best Seller Pelatihan Shalat Khusyu’: ‎Shalat sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam” menegaskan bahwa perasaan ‎khusyuk tidak mungkin bisa didapatkan jika kita tidak memiliki kesadaran dan ‎kepercayaan, bahwa sebenarnya di saat salat kita sedang berhadapan dengan ‎Allah.‎

Lebih lanjut, Abu Sangkan menyatakan bahwa melalui ayat ke-45 dan ‎‎46 surat Al-Baqarah tersebut kita disadarkan secara kejiwaan tentang ‎khusyuk, bukan diajak berkonsentrasi dan mencari khusyuk. Kita disadarkan ‎bahwa Allah itu dekat. Allah menyambut setiap doa. Allah memandang dan ‎menurunkan ketenangan secara langsung ke dalam hati kita yang gelisah. ‎Allah menerangi hati yang gelap. Dalam konteks ini sebenarnya kita tidak ‎dituntut apa-apa kecuali hanya disuruh yakin dan beriman, karena Allah yang ‎akan lebih banyak berperan terhadap kita.‎

‎ Dari sejumlah keterangan di atas dapat dipahami bahwa salat khusyuk ‎adalah salat yang tidak sekadar menghadirkan jasmani kita di tempat ibadah, ‎seperti masjid dan mushalla, tetapi juga sekaligus menghadirkan hati (rohani) ‎dalam aktivitas ibadah salat itu.‎

Menyatunya jasmani dan rohani, raga dan jiwa, tubuh, pikiran dan hati ‎dalam aktivitas ibadah salat, disertai kesadaran dan keyakinan akan kehadiran ‎Allah akan menjadikan seseorang merasakan kekhusyukan dalam salatnya. ‎Walhasil, salat yang kita lakukan tidak sekadar aktivitas gerakan fisik yang ‎disertai bacaan-bacaan yang kita lafalkan, tetapi lebih jauh dari itu, salat ‎merupakan media komunikasi penuh keintiman yang menyatukan rohani kita ‎dengan Tuhan. Sehingga melalui salat kita akan merasakan ketenangan batin, ‎kedamaian hati dan ketenteraman jiwa.‎

So, Salat khusyuk, mungkinkah? Jawaban atas pertanyaan ini ada ‎pada diri kita masing-masing. ‎

* Ruang Inspirasi, Selasa, 6 Juli 2021.

Komentar