Menjadi santri bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan hal yang sulit, tergantung persepsi masing-masing orang. Santri adalah siswa dari Pondok Pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan Islam yang berasrama sejak zaman prakemerdekaan Indonesia. Agama Islam dibawakan oleh pedagang Arab dan Gujarat melalui jalur perdagangan laut pada abad ke-8. Perkembangan agama Islam lebih masif melalui dakwah yang dilakukan oleh kyai-kyai, melalui penanaman nilai dan teladan perilaku, hingga kemudian mendirikan pondok pesantren sebagai pusat belajar agama di suatu daerah.
Dalam perjalanannya pondok pesantren memiliki peran yang vital, terutama pada masa mendekati kemerdekaan, banyak lahir tokoh-tokoh nasional yang tangguh berjuang melalui semangat ajaran Islam, yakni KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis), Kyai Wahid Hasyim, Pangeran Diponegoro (Raden Mas Antawirya), dsb. Pondok pesantren bisa mencetak orang berkualitas tidak terlepas dari metode dan iklim budaya yang ditanamkan oleh para kyai. Selain itu sistem pendidikan lebih mengutamakan spiritual (SQ) disamping kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan intelektual (IQ).
Salah seorang pakar Psikologi California, Roberts A. Emmons, Ph.D. mengungkapkan bahwa Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan yang berdasar pada pemaknaan sebuah kehidupan, ketika SQ sudah berjalan dengan baik, maka dengan sendirinya jalan bagi IQ dan EQ akan terbuka. Oleh karenanya orang yang memiliki SQ akan mudah diterima oleh masyarakat umum dan akan selalu dilibatkan dalam setiap agenda. (Your Perfect Right, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002, hal. 213).
Faridhotun Nikmah (Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Darussalam Kartasura) mengatakan, “dorongan yang membuat bisa betah sejak smp hingga mahasiswa saat ini adalah nasehat orang tua, yakni kita sebagai manusia harus saling menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan akhirat, mencari ilmu umum dan agama. Karena saat kita berada di masyarakat tidak cukup hanya ilmu umum saja, hal tersebut harus disesuaikan dengan ilmu agama sehingga keduanya dapat diperoleh”. Selain motivasi dalam belajar agama, dipondok pesantren secara tidak langsung santri diajarkan disiplin waktu, apalagi bagi mahasiswa yang “nyantri”, harus pintar bagi waktu (skala prioritas). Mahasiswa santriwati semester 8 itu juga mengatakan bahwa, “bisa belajar membagi antara jadwal ngaji, kuliah, ngeles, sama organisasi, walaupun masih ada beberapa yang keteteran“.
Pondok pesantren menjadi salah satu wadah pelatihan kedisiplinan melalui rutinitas kegiatan sehari-hari, dari sholat tahajud, madrasah, tadarus, hingga tidur. Disiplin menurut James Drever dari sisi psikologis, adalah kemampuan mengendalikan perilaku yang berasal dari dalam diri seseorang sesuai dengan hal-hal yang telah diatur dari luar atau norma yang sudah ada. Dari sisi etika menurut John Macquarrie, disiplin adalah suatu kemauan dan perbuatan seseorang dalam mematuhi seluruh peraturan yang telah terangkai dengan tujuan tertentu. Jadwal kegiatan yang padat dan ketat menjadi ciri khas pondok pesantren. Dalam penelitian Dzulfiqar tentang, “Pengaruh Peraturan Pesantren Terhadap Kedisiplinan Santri pada Pondok Pesantren Jabal Nur Jadid Desa Meurandeh Kabupaten Aceh Barat Daya”, dengan jumlah 100 santri pada tahun 2018, menunjukkan pengaruh signifikan dengan persentase 54,8 %.
Pondok pesantren adalah upaya pembentukan karakter melalui pengondisian lingkungan (Enviroment Conditioning), dengan tujuan menciptakan manusia yang cerdas, bertakwa, beretika, berestetika, mengikuti perkembangan masyarakat dan budaya, berpengetahuan, dan berketrampilan, sehingga menjadi manusia yang paripurna dan berguna bagi masyarakat. (Ahmad Muthohar, dalam Dzulfiqar: 2018). Walaupun dalam praktiknya masih ada beberapa santri yang tidak sejalan dengan tujuan pesantren itu sendiri, namun tidak sedikit pula yang menjadi agen perubahan untuk masyarakat. Semangat pondok pesntren adalah semangat untuk berkehidupan bangsa yang lebih baik dan mewujudkan masyarakat yang santun.