Pernikahan. Bagi orang yang belum menikah, pernikahan memiliki nilai misteri tersendiri. Mereka gelisah memikirkan dengan siapa menikah, kapan akan menikah dan lain sebagainya. Alih-alih memikirkan hal yang lebih fundamental, anak muda di masa kini kerap kali terkecoh oleh hal-hal remeh yang bersifat material.
Sebagian dari mereka melupakan pentingnya ilmu dalam dunia pernikahan.
Tujuan dari pernikahan bukan saja pelegalan suatu hubungan atau manifestasi dari aktivitas punuh romansa. Lebih dalam dari itu pernikahan diibaratkan sebuah motor untuk mencapai suatu tujuan. Katakanlah tujuan kita adalah mencari ilmu dan menjadi manusia yang bermanfaat atas ilmu yang dimilikinya. Maka sudah semestinya dalam relasi pernikahan tersebut memberikan ruang seluas-luasnya untuk terus tumbuh dan berkembang. Saling support satu sama lain dan tentu tak lupa open minded. Open mided yang dimaksud adalah berfikir secara kritis dan univiersal tentang kehidupan sampai menyentuh akar-akarnya.
Manusia, baik itu laki-laki atau perempuan memiliki peran yang sama. Mereka adalah kholifatul fil’ard dimuka bumi ini. Maka demikian, laki-laki dan perempuan wajib memberikan kebermanfaatan dimuka bumi ini seluas-luasnya. Namun dewasa ini, kasus yang kerap kali terjadi di akar rumput masyarakat adalah “perempuan yang kehilangan dirinya” dalam sebuah relasi pernikahan.
Mereka adalah perempuan yang hidup bersama laki-laki patriarkis. Laki laki tersebut menggunakan otoritas teks-teks keagamaan untuk mengatur kendali perempuan yang dinikahinya. Bahkan hal ini pernah disampaikan oleh seorang publik figur, ia mengklaim bahwa “suara suami adalah suara tuhan”. Pandangan ini mengarah pada posisi dan peran istri sebagai makmum, yang berarti harus tunduk secara mutlak pada suami selaku imam.
Mengenai tugas dan peran istri, terdapat sebuah stigma yang mengakar di masyarakat bahwa tugas istri hanya berfokus pada hal-hal yang bersifat domestik, seperti halnya mencuci, membersihkan rumah, memasak, merawat dan mendidik anak dan lain sebagainya. Sungguh melelahkan, menjadi seorang istri di dunia misoginis. Ia tidak lepas dari debu-debu kotor yang tak ada habisnya. Bisa dikatakan bahwa tugas istri diranah domestik adalah bentukan dari kontruksi sosial masyarakat.
Sejatinya pekerjaan domestik adalah suatu pekerjaan yang tidak membutuhkan jenis kelamin tertentu. Baik suami, istri dan anak memiliki peranan penting dalam berbagi tugas dosmestik. Kesalingan untuk saling membantu pekerjaan domestik dalam rumahtangga menjadi sebuah langkah untuk membangun pernikahan yang punuh ketentraman
Sejatinya, Islam memiliki konsep dasar bahwa pernikahan adalah mitsaqan galizhan atau janji yang kokoh. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 21:
“Dan kamu akan mengambil kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil berjanjian yang kuat (Ikatan pernikahan) dari kamu”.
Perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci yang memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi sekaligus. Maka dari itu, Islam mengatur hak dan kewajiban dalam relasi suami-istri, hubungan orangtua dan anak, serta hubungan mereka dengan keluarga lain sehingga terciptanya ketenangan dan kedamaian antar sesama (Mulia, 2020). Disamping itu, untuk menunaikan janji yang kokoh, sebuah pernikahan memerlukan fondasi yag kuat sebagai landasan agar tetap kokoh. Fondasi itu adalah tauhid. Tauhid yang berarti mengEsakan Allah dalam segala aspek kehidupan. Tidak menomorsatukan harta, kekeyaan, jabatan atau suami sekalipun. Bahwa Allah menjadi yang utama dan pertama, tiada yang lain selaniNya.
Disampaikan dalam buku yang ditulis oleh Soekarno yang berjudul Sarinah, bahwa perempuan dan laki-laki ibarat sepasang sayap. Sayap kanan yang diibaratkan perempuan dan sayap kiri yang diibaratkan lak-laki. Kedua sayap tersebut seharusnya saling beriringan dalam mencapai suatu tujuan. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai kepuncak yang setinggi-tingginya. Jika patah satu dari kedua sayap itu, maka tak dapat terbang burung itu sama sekali (Soekarno, 1947). Pemikiran soekarno ini, sudah selayaknya kita refleksikan bersama, guna mencapai kehidupan maslahah untuk seluruh umat manusia.
Wallahu’alam