Para tokoh masyarakat di Bitung, Sulawesi Utara telah mendeklarasikan perdamaian pada Selasa (28/11) usai bentrok antara organisasi masyarakat adat Manguni Makasiouw yang dituding pro-Israel dengan massa Barisan Solidaritas Muslim (BSM) yang menggelar aksi bela Palestina.

Sejauh ini, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah dan aparat di Bitung merespons situasi dengan dialog dan mendeklarasikan perdamaian. Dan tampaknya hingga saat ini, pergerakan di kedua belah pihak belum ditemukan tanda-tanda bahwa bentrokan akan terulang kembali.

Hentikan Narasi Rasis

Satu pesan dan narasi yang tersebar di warganet, menghimbau agar masyarakat tidak terprovokasi, baik oleh narasi-narasi rasis atau aktivitas yang bisa menyinggung antar kelompok. Katanya, masyarakat harus “menolak narasi yang beredar di media sosial dan pergerakan massa dari luar”.

Lebih lanjut, Bitung dulunya adalah kota yang toleransinya sangat tinggi. Dan mengagetkan sekali tiba-tiba Bitung terjadi bentrok antara Barisan Solidaritas Muslim (BSM) yang menggelar aksi bela Palestina. Sungguh ini jauh dari perkiraan.

Dari segi sosiokultural, masyarakat Bitung umumnya memiliki logika berpikir yang cerdas dan mendalam. Bahkan kalau dilihat dari populasi demografinya, Bitung penganut Islam dan Kristen yang relatif seimbang. Karena alasan demikian itulah Bitung seharusnya menjadi kota yang rukun dan sangat toleran.

Data dari indeks kerukunan beragama yang diluncurkan oleh Kementerian Agama pada 2022 menyebutkan, bahwa Bitung menduduki peringkat ketiga terbaik nasional. Ini artinya, Bitung secara nyata menjadi kota yang rukun bahkan melebihi kota-kota di Jawa. Namun demikian, karena bentrokan telah terjadi di kota ini, kiranya telah tepat jika akar masalahnya dideteksi sebagai bagian dari pencegahan masalah-masalah yang bakal diakibatkan ke depannya.

Misinformasi Konflik Israel-Palestina

Konflik yang terjadi di Bitung ternyata akibat dari pemahaman yang keliru terhadap isu Israel-Palestina. Menurut sebagian kelompok di sana, konflik isu Israel-Palestina adalah soal agama. Maka itu, mereka melakukan protes dan aksi dengan alasan dan landasan perihal agama.

Tepat kiranya, ketika melihat dua kelompok yang bentrok saat ini. Satu, ormas Pasukan Manguni, bagian dari kelompok bercorak suku di Minahasa. Secara kultural orang Minahasa beragama Kristen, organisasi pun lekat dengan identitas Kristen. Sedang kelompok yang menggelar aksi bela Palestina pun lekat dengan identitas sebagai Muslim.

Jadi yang terjadi di akar rumput dikiranya adalah, kalau Kristen itu dukung Israel, sedangkan kalau Muslim itu Palestina. Dari sinilah kemudian memicu rasa solidaritas terhadap pihak yang mereka dukung, yang kemudian memicu bentrokan.

Ditangani Secara Konstruktif

Namun, saya pribadi masih bertanya-tanya dan belum yakin bahwa alasan-alasan di atas menjadi akar dari kobaran konflik di Bitung. Bagaimana bisa konflik pada tataran global bisa sampai memicu bentrokan pada level akar rumput seperti di Bitung, bahkan sampai menimbulkan korban?

Saya rasa orang Bitung sudah pasti tahu bahwa Palestina tidak semuanya beragama Islam. Dan orang Israel tidak semuanya di sana beragama Kristen. Saya rasa pemahaman yang keliru dan misinformasi ini sudah seharusnya ditindaklanjuti sebelum melebar jauh. Dan saya kira aparat kepolisian di sana memiliki rasa keadilan dan cara selektif dalam membaca persoalan genting ini.

Kita minta polisi, ketua adat, dan ormas agar bentrok tersebut dideteksi dan ditangani secara konstruktif. Tidak boleh dijadikan sebagai mainan politik dan tidak boleh pula dijadikan untuk meraup keuntungan. Dengan demikian, kita berharap Bitung tercegah dari konflik serupa di masa depan.

Komentar