Sore itu, Studio Radeka Podcast tampak tidak seperti biasanya. Ramai, gemuruh suara cekikian dan rangkain gelak tawa pecah silih bergantian. Menyadari akan hal itu, saya yang kebetulan berada di ruang office Radeka, tak jauh dari studio, bergegas pergi untuk mengeceknya. Selepas pintu terbuka, saya mendapati para anggota Radeka yang sudah pw, saling bersenda gurau di sana.

Tentu saya terkejut dan seketika ingat kalau sore itu adalah jadwal rapat bulanan. Pantas saja kok ramai banget, pikir saya. Tanpa pikir panjang, saya ikut nimbrung dan join rapat dengan penuh khidmat.

Setelah rapat usai, Maya, teman saya, juga punggawa Radeka menghampiri saya seraya berkata, “Mas, besok pagi sampeyan jadi host, ya! Podcastan bareng Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD), Pak Islah.”

Lho, kan bukan jadwalku,” protes saya.

“Pokoke kudu iso sampyan, mas. Tolong Ganteni aku. Wis tak siapke tema sak daftar pertanyaane.”

Tentu saya tidak lantas mengiyakan permintaan Maya begitu saja. Namun, setelah kami berdebat panjang lebar. Pada akhirnya, saya luluh juga, atau lebih tepatnya mesakke.

Esok harinya, sekitar pukul 10 pagi saya standby di studio, menunggu Bapak Dekan. Tak lama kemudian, ia rawuh dengan senyum merekah dan tak ketinggalan pula songkok gusdurian yang melekat di kepalanya.

“Assalamualaikum. Maaf ya terlambat. Barusan ada sedikit urusan yang harus saya selesaikan.”

“Waalaikumussalam. Nggih, Pak. Mboten nopo-nopo,” jawab saya.

“Ini sandalnya dilepas apa dipakai, saja, mas?” tanyanya.

“Biasanya dilepas, Pak.”

Oh, maaf, ya. Tidak tahu saya,” responnya sembari beranjak keluar untuk melepas sandalnya.

“Hehehe. Mboten nopo-nopo. Silakan duduk, Pak.”

Oya, langsung dimulai saja, ya, Pak!” pinta saya.

“Iya, mas. Boleh. Ini gak lama, kan?”

“Tidak, Pak. Sebentar saja, ya 15-20 menitan lah, Pak.”

“Yasudah, mau tanya apa?”

Pak Dekan, begini, dari tahun demi tahun kita kan selalu berpuasa. Namun, tentu saja tantangan dan dinamika puasa kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Nah, sebelum membahas itu lebih jauh, apa sih hakikat puasa menurut, Bapak?

Dalam pengertian fiqh, puasa itu dimaknai dengan istilah al-imsak. Orang jawa dulu memberi terjemah ngeker. Tahu ngeker, kan, mas? Saya ingin memperkenalkan bahasa-bahasa klasik ke generasi milenial biar bahasa ini tidak punah. Ngeker itu artinya menjaga. Menjaga dari apa? Dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Nah, dalam fiqh kita tahu hal-hal yang membatalkan puasa yaitu memasukkan segala sesuatu di lubang dalam tubuh kita, mulai sejak fajar terbit, shubuh sampai tenggelamnya matahari waktu maghrib. Seperti makan, minum, dan yang lain. Itulah definisi puasa dalam pengertian fiqh.

Tetapi, kalau kita mau melihat lebih jauh bahwa puasa itu orentasi tujuannya atau lulusannya, dalam konteks Al-Quran, adalah menjadi orang yang bertakwa. Jadi, meski kita berpuasa tapi belum tentu kita lulus. Karena ada banyak indikasi yang diungkapkan oleh Nabi dalam beberapa hadis bahwa puasa itu bukan hanya menahan lapar dan minum. Tetapi ada hal-hal yang bersifat spiritual.

Kita ambil contoh misalnya ada hadis yang artinya banyak orang yang berpuasa tapi hasilnya hanya lapar dan dahaga. Aspek-aspek spiritual seperti ini saya rasa relevan dalam konteks milenial di era digital sekarang. Sehingga puasa ini harus kita letakkan secara lebih komprehensif.

Lantas, menurut jenengan, bagiamana penerapan puasa dalam konteks digital seperti ini, Pak? Tentu saja penerapannya berbeda dong dengan zaman dulu.

Tentu saja berbeda, mas. Dulu, orang jawa mengenal istilah “topo mbisu” atau puasa tidak berkata-kata. Karena apa yang keluar dari mulut kita tak bisa ditarik kembali. Dan, betapa banyak perkataan kita yang bukan hanya melukai orang tapi juga menjadi pintu di mana kerusakan terjadi. Dan, inilah yang dimaksud dengan puasa spiritual.

Nah, dalam konteks digital bukan hanya ihwal perkataan yang harus dikendalikan. Kita juga harus berpuasa dan mengendalikan diri dari ibu jari kita. Sebab sekali kita menggerakan ibu jari kita, dan kemudian diunggah di media sosial, baik di Facebook, Instagram, dan yang lainnya, tidak akan bisa ditarik kembali. Jejak digital tetap saja bisa dilacak.

Ini lho maksud saya, bagiamana spiritualitas puasa itu bisa mengendalikan kita untuk arif bermedia sosial. Membuat statement yang mempunyai spirit Islam sebagai agama rahmah, agar menjadi rujukan dari proses kita bermedia sosial.

Apakah kita perlu puasa media sosial, Pak?

Iya, perlu. Puasa dalam artian mengendalikan diri tadi itu, mas. Karena nanti ada banyak yang membatalkan puasa kita di media sosial. Misalnya, begini, mas, kita tiduran di kamar. Kita memang tidak berkata apa-apa tapi ibu jari kita terus bergerak. Kita membuat statement-statement berita hoaks, memfitnah orang misalnya. Secara spiritual hal seperti itu membatalkan puasa.

Pak Dekan, apa sih tips dan triknya agar kita bisa mengendalikan diri di media sosial?

Yang pertama, kita harus menjadi subjek dari media sosial, mas. Jangan sebaliknya! Kita yang mengendalikan media sosial, bukan kita yang dikendalikan. Dengan begitu kita bisa mengontrol apa yang pantas untuk kita lihat, komentari, membuat narasi status, dan yang lain sebagainya.

Selanjutnya, kita juga harus punya kesadaran bahwa eksistensi kita di media sosial bukanlah bersifat personal. Karena kita akan dibaca dengan sekian banyak status. Misalnya, ketika saya mengunggah sebuah statement di Facebook. Orang akan melihat saya bukan hanya sebagai Islah, tapi saya akan dilihat juga sebagai Dekan. Tak hanya itu, saya akan dilihat juga sebagai umat Islam, dan banyak atribut-atribut yang lain. Dan ini tentu punya implikasi. Jadi, kita harus memahami dan menyadari bahwa kita ini tidak hidup sendiri dalam dunia digital.

Komentar