Cinta tak selamanya bersatu dan bersama secara fisik, namun ia selalu bersama dalam doa terbaik.

Lihatlah Ibumu, tanpa kau pinta begitu tulus mendoakan meski terpisah samudera dan benua.

Lihatlah mereka yang jatuh cinta, mampu setia membisikkan doa terbaiknya meski telah terpisah nyawa.

Setia tak berarti harus selalu bersama, setia adalah saat kita bisa menjaga cinta dengan tulus doa.

(#LogikaCinta, 2020)

 

Seorang ibu, sudah renta namun semangatnya tak pernah usang dimakan usia. Memasak, mencuci, menyapu, dan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang sudah menjadi rutinitasnya, dari dulu hingga usianya masuk senja. Ketika anak-anaknya melarang, “tak perlu kau larang nak, ini kebutuhanku, sehari ga gerak, pegel-pegel badanku”, jawabnya.

 

Saat anak-anaknya masih balita, berebut jajan dan berkat kondangan atau masakan enak yang saat itu masih jarang-jarang tersaji di meja makan. Dengan senyum penuh kasih sayang ia berkata, “makanlah nak, Ibu ndak lapar, lagian Ibu tak suka makanan itu, sini Ibu suapin.” Dan di saat yang sama, ia menahan lapar. Tapi lapar itu segera sirna saat ia menatap betapa lahap anak-anak menyantapnya. Ia ‘berbohong’, ‘pembohong’ ulung untuk membahagiakan anak-anaknya. Dan entah sudah berapa ‘kebohongan’ yang Ibu ciptakan untuk membuat anak-anaknya senang, agar anak-anak tak cemas mengkhawatirkan.

 

Saat anak-anaknya beranjak dewasa, sibuk merajut bahagia dengan keluarga kecil mereka masing, tak jarang air matanya berlinang. Tangis kerinduan akan kehadiran anak-anak yang disayang. Bukan! Bukan untuk meminta uang, bukan pula agar dibelikan bermacam barang. Ia hanya rindu, kangen yang menggebu, itu saja, bukan yang lainnya. Tapi seketika ia hapus lagi untuk kesekian kali dan dipendam dalam-dalam dengan doa dan penuh keyakinan bahwa anak-anaknya bahagia dengan keluarga mereka.

 

Maka, tak heran bila hari raya tiba, atau momen-momen liburan dan pertemuan keluarga yang langka baginya. Dengan semangat ia menyiapkan semua; beberes rumah, merapikan kamar anak-anaknya, menyiapkan hadiah buat cucu-cucunya. Dan yang pasti, memasak makanan terlezat di dunia untuk mereka. Dengan penuh harap anak-anaknya akan bersantap ria dengannya, mengenang masa bersama saat ia merawat mereka.

 

Tapi apa yang seringkali ia dapatkan? Anak-anak jarang pulang, sekali dua kali pulang, tak ada yang menyambut hangat rindunya, pulang kampung hanya sebatas ritual dan tradisi saja. Anak-anak sibuk dengan gawainya, bercanda dengan anak istrinya, makan dengan mesra depan tv tanpa ibunya. Sang Ibu hanya sanggup menatap mereka dengan berkaca-kaca, “tak apalah, asal mereka bahagia, aku bahagia.”

 

Kadang, sesekali sūuẓẓan, jangan-jangan pernikahan memang membuat anak berjarak dengan orang tua. Bukan hanya jarak jasmani, tetapi juga pikiran yang terbagi. Dan seringkali ketika keduanya tidak bisa dikompromikan, istri atau suami yang didahulukan.

Atau memang beginilah adanya? Orang tua yang harus merelakan anak-anaknya selepas menikah dan berkeluarga.

 

Setidaknya, saat bersama, bahagiakan orang tua; mereka tak butuh hartamu, tak berharap oleh-olehmu. Mereka hanya ingin senyum tulusmu menyambut rindu yang ia pendam dalam-dalam, makan semeja dengan canda tawa. Angka dan usia, kita tak bisa mengaturnya. Usia adalah misteri, hanya Tuhan yang mengetahui. Jangan sia-siakan, jangan sampai nanti kau isi dengan tangisan dan penyesalan.

 

Selagi ada waktu, bersimpuhlah, peluk ibumu, cium dan pegang tangannya. Lihatlah kerutan diwajahnya, wajah yang berlalu dengan waktu bersama rindu terpendam. Tangan yg merawatmu, membelaimu, kini sudah keriput. Tak rindukah dirimu pada belaian sayangnya?

Bukankah kita hafal betul bahwa “surga itu berada di bawah kaki Ibunda?”

Atau ‘saking’ hafalnya kita mati rasa dan tak bisa menyelami lagi maknanya?

Ingatlah sabda Rasul kita, “Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru Ayahmu.”

 

Wallāh A‘lam bi al-Ṣawāb

Komentar