Islamsantun.org. Tafsir ini karya Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Tafsir dengan model tartib nuzuli terbaru yang saya tahu. Al-Jabiri membuka Mukaddimah untuk kitab ini dengan pertanyaan: “Kaifa nafham al-Qur`an; bagaimana kita memahami al-Qur`an?” Pertanyaan yang sama pernah ia lontarkan juga di Mukaddimah bukunya yang lain: “Madkhal ila al-Qur`an al-Karim”.

Bagaimana pun, demikian al-Jabiri, memahami al-Qur`an merupakan tugas yang tidak pernah absen kapan pun dan tuntutan yang tak pernah luput di setiap zaman. Cukup diingat bahwa slogan: “Al-Qur`an menyapa siapa saja di setiap zaman dan tempat” yang kita banggakan itu sejatinya mengharuskan kita untuk berbekal diri dengan pemahaman yang berkebaruan tentang al-Qur`an sejalan dengan gerak zaman dan dinamika masyarakat. Ibarat kata, pertanyaan “Kaifa nafham al-Qur`an” ini ringan di lisan, berat di jawaban. Al-Jabiri menyebut beratnya jawaban itu sebagai “mughamarah kubra (petualangan besar)” mengingat berat dan kompleksnya persoalan kehidupan.

Al-Qur`an memang bukan sekadar teks di atas kertas. Yang kita butuhkan darinya juga lebih dari sekadar penjelasan, komentar atau paparan berisikan kisah, wejangan, nasihat, janji, dan ancaman. Al-Qur`an bukan cuma lembaran-lembaran yang dijilid lalu diberi cover bertuliskan “Mushaf”. Ia adalah teks yang telah melampaui dua puluh tahun lebih perjalanan sebuah sejarah. Untuk memahaminya tidak bisa hanya dengan melihat teksnya yang dipenuhi dengan berbagai penjelasan dan paparan, aneka tafsir dan bermacam takwil.

Yang diperlukan justru “melepaskan” teks al-Qur`an dari semua itu, bukan untuk meletakkannya di “recycle bin”, melainkan untuk mengaitkannya dengan zaman dan tempatnya. Maksudnya, berbagai penjelasan dan paparan, aneka tafsir dan bermacam takwil seputar teks al-Qur`an, itu semuanya merupakan produk zaman dan tempat tertentu; terkait dengan zaman dan tempat tertentu, yang belum tentu relevan dengan zaman dan tempat di mana kita sekarang hidup. Semua itu “penjelasan tentang al-Qur`an”, bukan “al-Qur`an itu sendiri”. Teks sebagai teks memiiki “kemandirian”-nya.

Yang dimaksud “kemandirian teks” bukanlah teks sebagaimana ia diturunkan. Itu sudah tidak dapat kita “utak-atik” lagi dengan segala kemapanannya dalam lembar-lembar mushhaf. Teks adalah teks semenjak ia dikodifikasi di zaman Khalifah Utsman. Yang dimaksud “kemandirian teks” di sini ada di tataran pemahaman. Yaitu teks yang harus “disterilkan” dari segala macam ragam pemahaman tentangnya yang terkodifikasi dalam kitab-kitab tafsir dengan segala rupa corak dan arahnya.

Di sini yang hendak ditegaskan oleh al-Jabiri adalah bagaimana “melucuti” konten-konten ideologis yang termuat dalam beragam pemahaman dan penafsiran itu. Dalam amatan al-Jabiri, di luar konten-konten ideologis yang terkandung dalam aneka pemahaman dan penafsiran yang berkepanjangan itu, sedikit sekali apa yang dapat disebut sebagai saripati pengetahuan tentang al-Qur`an. Itu pun secara umum diulang-ulang dari satu kitab tafsir ke kitab tafsir berikutnya. Sehingga sesungguhnya kita bisa hanya mengandalkan (membaca) dua kitab tafsir utama saja, yaitu Jami’ al-Bayan karya al-Thabari dan al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari.

Sebelum melaju ke soal bagaimana “melucuti” segala rupa pemahaman tentang teks al-Qur`an dari teks itu sendiri, dan bagaimana “mensterilkan” teks dari segala rupa pemahaman tentangnya, al-Jabiri terlebih dahulu membedakan antara “mengenal al-Qur`an (al-ta’rif bi al-Qur`an)” dan “memahami al-Qur`an (fahm al-Qur`an)”. Untuk yang pertama dijawab dengan berbagai referensi dan karya di bawah core: ‘Ulum al-Qur`an. Sedang yang kedua dijawab dengan berbagai referensi dan karya di bawah core: Tafsir. Anda ingin mengenal apa itu al-Qur`an? Bacalah buku-buku ‘ulum al-Qur`an. Anda ingin memahami isi-kandungan al-Qur`an? Bacalah kitab-kitab tafsir. Demikian ringkasnya.

Al-Jabiri kemudian mengaku bahwa dirinya sudah lama meninggalkan kitab-kitab tafsir dalam bentuk fisik. Ia berpindah ke kitab-kitab tafsir yang tersaji secara virtual di komputer. Kata al-Jabiri, berselancar di dunia virtual mengunjungi satu kitab tafsir ke kitab tafsir lainnnya, betapa pun tebalnya, berapa pun jumlahnya, itu terasa lebih mudah. Yang jelas, setelah berkelana di dunia tafsir secara virtual itu, al-Jabiri sampai pada satu kesimpulan umum nan penting: bahwa untuk memahami al-Qur`an tidak cukup hanya dengan mengkaji beberapa tema dalam al-Qur`an, lalu darinya beranjak ke upaya memahami al-Qur`an secara keseluruhan, lalu melahirkan tafsir. Tidak cukup dengan itu.

Dalam keyakinannya bahwa apa yang disebut terakhir di atas bukan merupakan cara terbaik untuk memahami al-Qur`an, al-Jabiri terpikat dengan kata-kata singkat al-Syathibi dalam al-Muwafaqat. Al-Syathibi bilang begini: “Surah-surah madaniyah pastilah diturunkan dalam rangka memahami surah-surah makiyah. Demikian pula surah-surah makiyah satu-sama-lain (saling menjelaskan) dan surah-surah madaniyah satu-sama-lain (saling menjelaskan) sesuai urut kronologis turunnya. Jika tidak begitu, maka tidak akan sah (pemahaman tentang al-Qur`an).”

Sebelum membaca kata-kata al-Syathibi ini, al-Jabiri pernah pula menekankan pentingnya memperhatikan urut kronologis nuzul surah. Hanya saja, seperti diakuinya, kata-kata al-Syathibi ini benar-benar menyentuh bagian terdalam kesadaran al-Jabiri, yaitu bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara al-Qur`an al-matluw (al-Qur`an yang dibaca) dan al-Qur`an al-maktub (al-Qur`an yang ditulis). Untuk yang pertama (al-Qur`an al-matluw), perangkat utama yang diperlukan adalah hati. Sedang yang kedua (al-Qur`an al-maktub), untuk memahaminya diperlukan kecermatan menelusuri kronologis nuzul-nya sebagai sebuah Kitab. Tanpa itu, seperti dikatakan al-Syathibi, pemahaman tentang al-Qur`an tidak akan sah.

Dari paparan di atas, al-Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa untuk memahami al-Qur`an kita membutuhkan tafsir yang memperhatikan tartib nuzul. Dan kitab “Fahm al-Qur`an al-Hakim” yang ditulis al-Jabiri adalah tafsir yang disusun berdasar tartib nuzul. Dalam menggarap tafsirnya ini, al-Jabiri mempedomani setidaknya tiga langkah yang secara konsisten ia lakukan terhadap setiap surah yang ia tafsirkan. Tiga langkah itu: taqdim, hawamisy, dan ta’liq.

Taqdim berisikan paparan ringkas pembuka setiap surah berupa riwayat-riwayat terkait surah atau terkait beberapa ayat surah yang dapat disebut sebagai sabab nuzul. Kalau tidak ada riwayat terkait sabab nuzul, maka riwayat lain yang dapat membantu memahami kapan surah itu turun atau seperti apa kondisi yang melingkupinya. Di bagian ini sedikit sekali disajikan rantai sanad. Al-Jabiri berargumen, buat apa menyajikan untaian panjang sanad kepada orang (pembaca) yang bukan ahlinya.

Kemudian hawamisy (catatan kaki). Adanya di bawah halaman utama. Di dalamnya al-Jabiri memasukkan penjelasan atau komentar yang kiranya dibutuhkan pembaca untuk mengetahui pendapat mufasir tertentu atau catatan-catatan yang tidak bisa dimasukkan dalam teks utama lantaran terlalu panjang atau tidak ada hubungan langsung dengan teks utama. Lalu terakhir ta’liq. Jika di awal surah ada taqdim khusus, maka di akhirnya terdapat ta’liq yang berisi poin-poin penting isi-kandungan surah. Pendapat tentang poin-poin itu dijunjukkan di sini.

Yang “khas” dalam tafsir tartib nuzul garapan al-Jabiri ini adalah upayanya yang serius untuk menemukan keserasian antara kronologis nuzul dengan perjalanan (fase-fase) dakwah Nabi Saw. Upaya ini ditandai dengan “judul” untuk setiap fase dakwah.

Al-Jabiri yakin bahwa meskipun al-Qur`an turun secara berangsur-angsur dalam rentang lebih dari dua puluh tahun, tapi kesinambungan surah-surahnya berdasar kronologis nuzul-nya mengandung kesinambungan yang logis setelah kita melihat tema utama setiap surah yang kita urut berdasar tartib nuzul. Kesinambungan logis itu akan lebih terlihat lagi kalau kita merujuk pada rangkaian peristiwa historis dalam sirah Nabi Saw.

Dengan kata lain, rangkaian tematis yang dikandung oleh surah-surah al-Qur`an yang kita urut berdasarkan tartib nuzul menggambarkan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam rentang sirah Nabi Saw. Jika kita ingin melihat sirah dan perjalanan dakwah, cermati kronologis nuzul surah. Pun sebaliknya, jika kita ingin melihat kronologis nuzul surah, membaca sirah dan perjalanan dakwah, cukup membantu. Al-Jabiri menyebut hubungan erat antara kronologis nuzul al-Qur`an dan perjalanan dakwah Nabi sebagai ‘alaqah hamimah (hubungan yang hangat).

Dalam pencermatan al-Jabiri atas surah-surah Makiyah yang diurut berdasar tartib nuzul, dakwah di Mekah melewati enam fase dengan temanya masing-masing. Fase pertama: nubuwah (kenabian), rububiyah (tentang Tuhan sebagai Rabb), dan uluhiyah (tentang Tuhan sebagai Ilah). Fase kedua: ba’ts (kebangkitan akhirat), jaza` (pembalasan akhirat), dan musyahadah al-qiyamah (berbagai kejadian di hari kiamat). Fase ketiga: ibthal al-syirk (menunjukkan kebatilan syirik) dan tasfih ‘ibadah al-ashnam (menunjukkan kebobrokan menyembah berhala). Fase keempat: al-shad’ bi al-amr (berdakwah secara terang-terangan), dan al-ittishal bi al-qaba`il (menjalin komunikasi dengan suku-suku). Fase kelima: boikot atas Nabi serta Bani Hasyim dan hijrahnya orang-orang Islam ke Habasyah. Fase keenam: pasca boikot, melanjutkan komunikasi dengan suku-suku serta persiapan hijrah ke Madinah.

Menegaskan apa yang sudah jelas: fase-fase ini dapat “dipantau” dengan menelusuri surah-surah Makiyah yang diurut berdasar tartib nuzul. Pun sebaliknya, penelusuran fase-fase itu lewat kitab-kitab sirah dan perjalanan dakwah memudahkan kita mengurutkan surah-surah Makiyah berdasar tartib nuzul. Kronologis logis serta hubungan mutual antara tartib nuzul dan perjalanan dakwah inilah yang membuat al-Jabiri “jatuh hati” pada tafsir tartib nuzul dan terdorong menyusunnya.

Komentar