‎“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di ‎muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang ‎siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan ‎Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke ‎tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. ‎Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-‎Nisa’: 100)‎

Hemat penulis, momen tahun baru adalah momen terbaik untuk ‎menyusun mimpi-mimpi baru, langkah-langkah baru, yang jauh lebih baik dan ‎bermakna dari tahun lalu. Inilah momentum untuk memperbaiki diri, setelah ‎sebelumnya melakukan refleski, koreksi serta introspeksi diri. Inilah saat yang ‎tepat untuk melakukan apa yang dalam bahasa agama disebut “Hijrah”. ‎

Ditinjau dari segi bahasa kata “Hijrah” berasal dari bahasa Arab, yang ‎mempunyai arti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan ‎suatu perbuatan, dan menjauhkan diri dari pergaulan yang buruk. ‎

Adapun secara istilah, hijrah mengandung beberapa makna: Pertama, ‎hijrah (meninggalkan) semua perbuatan yang dilarang Allah Swt, ‎sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi Saw: “Orang yang ‎berhijrah adalah orang yang mampu menjauhi serta menghindari apa yang ‎dilarang Allah untuk melakukannya.”‎

Kedua, hijrah (menjauhkan diri) dari lingkungan yang tidak ‎mendukung aktivitas ibadah yang kita lakukan. Jika kita tinggal di suatu ‎tempat yang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas ibadah, karena ‎ada gangguan dan cobaan orang-orang yang membenci ajaran agama kita, ‎maka kita wajib berhijrah dari tempat itu ke tempat lain yang lebih aman, ‎untuk dapat melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Inilah ‎hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para pengikutnya.‎

Selain itu, kita juga dianjurkan berhijrah dari daerah yang tidak aman ‎ke daerah yang aman, seperti adanya bencana alam, kebanjiran, gunung ‎meletus, tsunami dan lain-lain.‎

Menurut Mahmud Syaltout, hijrah dibagi menjadi dua bagian, yakni ‎hijrah “Badaniah”, dan hijrah “Qalbiyah”. Hijrah badaniah yaitu hijrah ‎menggunakan kekuatan fisik, dengan berpindah dari satu daerah atau tempat ‎yang tidak nyaman, menuju daerah yang memberikan harapan hidup lebih ‎baik di masa yang akan datang. Sedangkan hijrah “Qalbiyah” adalah hijrah ‎yang didasari oleh keyakinan dan hati nurani. Hijrah ini dilakukan tanpa ‎pindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi pindah dari kondisi batin yang ‎tidak sehat berupa kemaksiatan, kejahatan dan kemunkaran, kepada sikap ‎batin yang baik yang diridloi Allah Swt.‎

Pandangan yang dikemukakan Mahmud Syaltout ini sejalan dengan ‎apa yang dipahami oleh para sufi ketika menafsirkan ayat wa man yakhruj ‎min baitihi muhajiran ila Allahi wa rasulihi… ‎

Dalam beberapa kitab tafsir sufi dijelaskan bahwa makna bait (rumah) ‎dalam ayat tersebut, selain secara zahir diartikan sebagai rumah tempat ‎tinggal, makna hakiki (substansi)-nya adalah rumah di dalam diri setiap ‎manusia. Maka, tafsir ayat tersebut adalah bahwa “…dan barangsiapa yang ‎keluar dari (ego) dirinya menuju Allah dan rasul-Nya…”‎

Hijrah secara hakiki adalah keluar dari ego, menuju keridlaan Allah ‎Swt., sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis di atas. ‎

Orang yang berhijrah secara hakiki adalah orang yang meninggalkan ‎segala bentuk kejahatan, kemungkaran dan kemaksiatan yang bersumber dari ‎dirinya. Dia tinggalkan kesombongan, prasangaka buruk (su’uzhan), ‎kedengkian, kemarahan, kebakhilan, keputusasaan. Dia hiasi dirinya dengan ‎kerendahhatian (tawaduk), kesabaran, rasa syukur, berbaik sangka, istiqamah ‎dalam kebaikan serta tawakkal kepada Allah. Inilah hijrah yang ‎sesungguhnya, keluar dari ego.‎

So, tahun baru 1443 H. yang baru saja kita buka halaman keduanya ini, ‎adalah momentum yang sangat tepat untuk kita melakukan hijrah qalbiyah, ‎yaitu keluar dari segala perangai dan perilaku buruk kita selama ini. Kita ‎hijrahkan diri, keluar dari ego menuju keridaan Allah Swt.‎

* Ruang Inspirasi, Rabu, 11 Agustus 2021 / 2 Muharram 1443 H.

Komentar