Vera Imanti
Beberapa tahun belakangan ini semakin banyak bermunculan majelis-majelis yang pesertanya sebagian besar para emak. Jika sebelumnya perkumpulan emak ini eksis dengan arisan-arisan yang dikemas dengan dresscode unik, tempat yang instagramable dan menjadi penjelajah kuliner sekelas cafe. Di mana besaran setoran arisan kadang nggak kira-kira, dari ratusan ribu hingga jutaan. Ending-nya upload foto-foto di sosmed, di mana gambar-gambar itu kadang membuat iri emak lain yang tidak tergabung, akhirnya bikinlah arisan tandingan.
Nah, setelah arisan tak se-booming dulu, maka alhamdulillah bergeser ke majelis taklim. Beberapa kalangan masih menganggapnya sebagai kumpulan sosialita. Kenyataannya tidak seperti itu, karena ternyata banyak ilmu yang mereka pahami dan mereka pun termasuk rajin untuk mendatangi kajian-kajian. Majelis ini pun banyak memberikan pengetahuan tentang agama. Mulai dari kelas tahsin, tasmi’, kitabah, fiqih, hingga bahasa Arab. Nah, jika masuk Ramadan dibuka kelas khusus, yaitu Qurma (Qur’an Ramadan).
Bagi sebagian ibu-ibu rumah tangga, pastinya akan membosankan dengan rutinitas pekerjaan rumah. Maka sering sekali mendengar istilah “me time”, di mana seorang ibu rumah tangga yang membutuhkan waktu khusus untuk dirinya sendiri, terlepas dari semua urusan rumah. Tujuannya untuk me-refresh kondisi fisik dan psikisnya. Me time ini tidak lagi selalu dengan spa, salon, dst. Berkumpul dengan teman-teman ternyata juga cukup ampuh untuk dijadikan me time. Salah satu agenda mereka adalah mengikuti majelis taklim. Juga demikian dengan ibu bekerja, dari berbagai kalangan juga berbagai profesi. Di sela-sela sibuk bekerja, mereka tetap menjadwalkan rutin untuk menghadiri majelis taklim.
Majelis taklim ini memang dikemas dengan menarik dan terkesan santai. Mungkin karena sebagian besar pesertanya adalah emak-emak, yang terkadang suka ngeyel dan harus selalu benar. Bisa dibayangkan jika majelis ini kaku, lenyap sudah audience-nya. Majelis ini ada beberapa macam, ada yang dalam bentuk Lembaga Tadzabur Qur’an dengan kelas-kelas dan terjadwal dengan rutin, ada yang majelis berisi kajian-kajian yang rutin dan mendatangkan beberapa narasumber kondang di masjid-masjid ternama, ada majelis dari rumah ke rumah secara bergilir dengan anggota tetap, juga ada yang di masjid-masjid komplek perumahan. Majelis tersebut dipandu oleh seorang ustad atau ustadzah. Kenyataannya bagi sebagian orang yang tidak berlatar belakang sekolah di pondok, atau sekolah agama nonformal, dan hanya mengandalkan mata pelajaran di sekolah negeri, bisa ditebak seberapa dalam ilmu agamanya. Sehingga perlu di-upgrade ilmu agamanya.
Ustad atau ustadzah yang mengampu dengan sabar mengajarkan membaca Qur’an dengan benar, yang semacam ini ada di kelas tahsin. Membetulkan pengucapan makhraj-nya, tajwid=nya, panjang pendeknya, hingga tempat-tempat yang aman untuk berhenti. Percayalah, kalau emak-emak ini tidak sadar diri untuk memperbaiki bacaan, maka mengaji pun menjadi kurang tepat. Asiknya peserta juga diajari untuk menggunakan irama seperti nahawan, hijaz, rast, bayati, dll. Beberapa orang awalnya memiliki ekspektasi yang tinggi ketika ikut belajar ngaji ini, dikira output-nya bakal seperti seorang qori’. Namun kenyataannya untuk bisa menggunakan beberapa irama itu pun sudah cukup puas, tidak jadi muluk-muluk.
Biasanya yang paling laris pesertanya adalah fiqih, karena ternyata banyak sekali aturan-aturan yang belum dipahami. Sederhana saja, seperti membenarkan cara berwudhu, membetulkan gerakan salat, hingga urusan hukum-hukum kewanitaan. Bagusnya, para ustadz atau ustadzah memaparkan dari semua madzhab, bagaimana riwayatnya serta kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an.
Sisi lain, berkumpulnya para emak di majelis taklim ini, bisa meningkatkan social skill-nya. Adanya pertemuan rutin dapat menjalin silaturahmi, saling mengingatkan, menjadi tempat diskusi, dan biasanya mereka tidak hanya mengikuti satu majelis taklim. Mereka bisa menularkan “serunya” mengikuti majelis, sehingga bisa mengajak emak yang lain untuk bergabung atau bahkan membentuk majelis baru. Dengan kebutuhan sosial yang terpenuhi, maka berpengaruh pula terhadap kestabilan emosinya, apalagi selalu mendapatkan siraman rohani.
Selain itu, bukan emak-emak namanya jika tak ada embel-embel lain semacam dresscode majelis ini dan itu yang berbeda-beda. Tanpa mengurangi niat beribadah, dengan dresscode maupun kegiatan emak-emak tetap butuh medsos untuk upload keeksisannya. Semacam mengaktualisasikan dalam bentuk yang lain sesuai dengan imajinasi emak, tak mau kalah dengan generasi Z. Jadi, biarkan para emak tetap mendatangi majelis taklim, tetap dukung mereka untuk belajar dan berilmu.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mau terus belajar dan mencari ilmu
*) Dosen BKI FUD IAIN Surakarta