Pepatah Arab mengatakan “an-naasu a’daa`u maa jahilu”, musuh manusia adalah hal-hal yang tidak diketahuinya. Sering terjadi di masyarakat, kita membenci suatu kelompok, agama dan suku karena belum mengetahui secara benar pemahamannya. Satu level di bawahnya, boleh jadi kita tidak membenci, tetapi kita tidak mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap satu topik, karena tidak ada relasi yang dekat dengan hal tersebut.
Hal ini yang saya alami terkait isu disabilitas. Meski di UIN Sunan Kalijaga sejak mahasiswa S-1 sering berjumpa dengan teman-teman difabel, saya tidak begitu peka dengan kehadiran mereka. Selain karena tidak berteman, saya juga bingung apa yang harus dilakukan untuk membantu mereka. Alhasil saya lebih banyak “cuek” dengan teman-teman difabel. Prinsipnya satu: tidak mengganggu mereka.
Jika ditarik ke belakang, sebenarnya saya sempat berinteraksi cukup intens dengan kawan di pondok yang tunanetra. Saya sering menyimak bacaan hafalan Al-Qurannya di mushola pondok. Kala itu ada ketakjuban, di tengah ketidakmampuannya melihat, ia diberikan kekuatan hafalan. Memang pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di sinilah penting untuk melihat teman-teman difabel secara tepat.
Sebagaimana namanya, different abled, orang yang mempunyai kemampuan yang berbeda. Pada dasarnya kita mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini adalah hukum alam. Karenanya alih-alih menganggap mereka yang berbeda itu cacat, sakit atau tidak normal, lensa kacamata kita harus diubah.
Tentu tidak mudah mengubah paradigma yang sudah mengakar. Saya bersyukur tahun lalu berjumpa dengan Mas Andika dalam pelatihan yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Saat itu saya kagum dengan semangat Mas Andika menyuarakan isu disabilitas.
Mas Andika adalah seorang difabel Cerebral Palsy (CP) yang gigih menuntut pemenuhan hak-hak difabel. Beberapa hari yang lalu, saya pun bertandang ke kediamannya di daerah Prambanan. Ia menceritakan bagaimana perjuangan dan tantangan sebagai kawan difabel Cerebral Palsy (CP) sekaligus upayanya dalam menyuarakan isu difabel.
Secara khusus, ia banyak mendampingi orang tua anak difabel CP. Menurutnya, masih banyak orang tua yang “memanjakan” anaknya daripada mengedukasi sang buah hati bagaimana hidup mandiri. Memanjakan anak CP bukanlah solusi untuk menjalani kehidupan yang keras. Saya rasa, Mas Andika menjadi contoh tepat kawan difabel yang berhasil menaklukkan kehidupan.
Dalam satu kesempatan Mas Andika bercerita, ia pernah diundang bersama kawan-kawan difabel pada satu acara pelatihan keterampilan. Sayangnya tempat yang digunakan tidak ramah difabel. Sebab tidak dapat dilalui menggunakan kursi roda. Hal ini tentu menyedihkan, mengundang kelompok difabel, tetapi tempatnya tidak dapat diakses dengan baik.
Saat ini Mas Andika telah berkeluarga dengan istri yang juga berstatus difabel CP. Meski demikian, ia mempunyai seorang putri cantik non-difabel. Bukan hanya dikaruniai anak, ia pun merintis usaha menjual kerupuk karak buatan sendiri. Dalam banyak kesempatan, Mas Andika sering berujar bahwa difabel tidak perlu dikasihani. Mereka hanya butuh diberikan akses dan fasilitas serta dibantu usaha yang mereka jalani. Dengan demikian, kawan-kawan difabel dapat bangkit berjuang mandiri dan berdikari.
Mengapa kisah Mas Andika ini diangkat? Sebab kembali ke pernyataan di awal, kita membenci atau tidak peduli dengan sesuatu karena ketidaktahuan dan minimnya ruang perjumpaan. Pertemuan saya dengan Mas Andika membuat saya lebih paham dan peduli dengan teman-teman difabel.
Kisah Mas Andika ini mengingatkan saya pada fragmen turunnya Surat ‘Abasa dalam Al-Quran. Saat itu, Nabi Muhammad Saw mengutamakan tamu pemuka Quraisy daripada menjamu Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat yang tunanetra. Awal Surat ‘Abasa ini menjadi penegur terhadap sikap Nabi tersebut.
Jika kengganan Nabi mendahulukan tamu yang tunanetra saja sudah ditegur oleh Allah, bagaimana dengan sikap kita yang dengan sadar memarjinalkan difabel. Layanan publik, sekolah, tempat ibadah dan perkantoran masih banyak yang tidak ramah difabel.
Teringat dengan momentum bulan Desember ini. Sepekan lagi umat Kristiani merayakan hari kelahiran Isa Almasih. Salah satu teladan yang dihadirkan oleh Almasih adalah mengayomi mereka yang terdiskriminasi dalam status sosial. Di kala orang banyak mengucilkan orang yang sakit kusta, Isa datang menyambut mereka.
“(18) Ruh Tuhan ada pada-Ku, sebab Ia sudah melantik Aku supaya Aku memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin. Ia mengutus Aku untuk mengumumkan kepada orang yang tertawan bahwa mereka akan dibebaskan, kepada orang buta bahwa mereka akan melihat lagi, dan kepada orang yang tertindas bahwa akan ada kelepasan bagi mereka, (19) serta mengumumkan bahwa tahun rahmat Tuhan telah tiba” (Lukas 4:18-19).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kehadiran Almasih mewartakan kabar baik kepada mereka yang terusik dan memberikan rahmat kepada mereka yang terdepak dari masyarakat. Lantas siapa saja hari ini yang terdiskriminasi? Salah satunya adalah teman-teman difabel. Mereka hingga detik ini belum mendapatkan haknya secara utuh sebagai warga negara. Aksesibilitas ramah difabel masih jauh dari harapan.
Jika menuntut negara sangat sulit di tengah luasnya cakupan wilayah serta sistem pemerintahan yang kian rapuh, bisakah kita menuntut institusi agama yang belum menyediakan fasilitas memadai bagi mereka yang membutuhkan? Belajar dari teladan Isa Almasih, kelompok difabel adalah salah satu elemen yang harus dirangkul. Pertanyaannya adalah apakah kita mau meneladani Almasih yang menjunjung tinggi nilai-nilai inklusi? Ataukah prinsip inklusi yang dirumuskan hanyalah sekadar basa-basi?
Rahmatullah Al-Barawi, Fasilitator YIPC Indonesia