Kemarin, desa kami menggelar pawai karnaval Sedekah Bumi. Kabarnya ada 21 sound horeg yang berpartisipasi, yang itu sumbangan dari tiap-tiap RT, masing-masing dengan volume maksimal seolah berlomba siapa yang paling keras.
Sejak malam sebelumnya, mereka sudah melakukan cek sound hingga pukul 11 malam masih terdengar hiruk pikuknya. Saya yang sedang menulis di depan laptop masih bisa mendengar hingar bingar itu dengan jelas, meski rumah saya cukup jauh dari lokasi, bahkan getarannya terasa di kursi yang saya duduki.
Ngobrol dengan suami yang bertemu seorang tetangga katanya semalam mengungsi karena tidak bisa beristirahat dengan tenang. Sesiangan saya menikmati hentakan getaran sound horeg yang melintas di gang sebelah, relatif terkendali dan pukul lima sore sudah mulai bubar, saya menyuruh anak saya keluar nonton tapi dia menolak dengan dalih katanya: “bising banget kok ma, pusing aku dengarnya”. Ya, kami memang tidak terbiasa menikmati musik terlalu keras.
MUI Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram untuk penggunaan sound horeg yang melanggar norma syariat, dengan dukungan dari MUI Pusat. Fatwa ini bermula dari hasil bahtsul masail Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Ponpes Besuk, Kabupaten Pasuruan, yang kemudian didukung oleh Ketua MUI Cholil Nafis. Keputusan ini diambil setelah dialog dengan berbagai pihak termasuk pelaku usaha, masyarakat, dan ahli kesehatan, dengan pertimbangan utama dampak negatif sound horeg terhadap kesehatan dan ketenangan warga sekitar.
Di level pemerintahan daerah, Pemkab Pati mengalami dinamika kebijakan yang menarik terkait sound horeg. Awalnya, Pemkab Pati melarang total penggunaan sound horeg dalam kegiatan masyarakat dengan sanksi bagi pelanggar, termasuk larangan semua acara menggunakan sound dengan volume lebih dari 60 desibel.
Namun setelah mendapat tekanan dari 230 pengusaha yang tergabung dalam Paguyuban Sound Horeg Kabupaten Pati, kebijakan berubah menjadi lebih akomodatif. Bupati Sudewo akhirnya memperbolehkan penggunaan sound horeg dengan ketentuan ketat: maksimal 16 sub single, larangan sexy dancer dalam parade, serta pembatasan volume dan waktu penggunaan hanya untuk acara tertentu dengan izin.
Dalam keriuhan getaran horeg, tidak ada lagi yang protes secara terbuka, sebagaimana yang pernah viral tahun lalu, pada kasus penyiraman oleh salah seorang warga. Bukan karena mereka setuju dengan kebisingan itu, melainkan dalam asumsi saya mungkin karena pemahaman masyarakat yang lebih dalam bahwa di balik setiap hentakan sound horeg itu, ada keluarga yang sedang berjuang mencari nafkah, ada tetangganya yang mencoba menjaga api dapurnya supaya tetap mengepul.
Mungkin bagi sebagian orang, ini terasa berlebihan. Tapi bagi para pemilik sound system itu, acara sedekah bumi adalah momen emas kesempatan langka untuk meraup penghasilan tambahan di tengah lesunya ekonomi desa. Realitas ekonomi desa hari ini memang tidak mudah.
Sektor pertanian, perikanan, yang menjadi tulang punggung ekonomi mengalami berbagai tekanan, mulai dari perubahan iklim, fluktuasi harga komoditas, hingga persaingan dengan produk impor, naiknya kebutuhan pokok sehari-hari, menuntut masyarakat desa harus kreatif mencari sumber penghasilan alternatif.
Sound horeg bisa jadi menjadi salah satu pilihan. Modal yang relatif terjangkau speaker, amplifier, dan mixer bekas cukup untuk bisa menghasilkan pendapatan lumayan ketika ada hajatan atau acara desa. Tidak heran jika bisnis ini menjamur, bahkan di desa kecil seperti kami, tiap sedekah bumi bisa ada puluhan unit sound system pawai berderet-deret.
Saya kepo bertanya pada salah satu mahasiswa saya yang kemarin sedang berada di lokasi, berapa operasional yang diperlukan untuk sekali karnaval? saya mendapatkan informasi kisaran 15-25 juta ditanggung oleh penyewa, jika plus dancer 10 orang tambah 1,5 juta, jasa crew minimal lima orang selama karnaval masing-masing 200 ribu, solar 1 juta.
Mungkin ini sebuah ironi, sebetulnya masyarakat memilih diam bukan karena tidak terganggu, melainkan bisa jadi karena empati ekonomi.
Mereka memahami bahwa protes keras terhadap kebisingan sound horeg sama artinya dengan menutup peluang ekonomi bagi tetangga mereka sendiri. Tapi diamnya masyarakat ini sebenarnya adalah bentuk pembungkaman ruang publik yang halus. Hak untuk mendapatkan ketenangan, untuk bisa beristirahat dengan nyaman, untuk tidak terganggu kebisingan berlebihan, secara tidak langsung “dibeli” dengan alasan ekonomi.
Hentakan bas yang memekakkan telinga itu, bila dipahami lebih dalam, adalah manifestasi dari luapan emosi masyarakat yang sesungguhnya tidak memiliki cukup ruang untuk mengekspresikan potensi ekonomi mereka. Sound horeg menjadi outlet baik secara harfiah sebagai sumber penghasilan, maupun simbolis sebagai pelampiasan frustrasi ekonomi.
Ketika jalur-jalur ekonomi konvensional semakin sempit, sound horeg menawarkan alternatif yang mudah diakses. Tidak perlu keahlian khusus, tidak perlu modal besar, dan yang terpenting akan selalu ada permintaan di tengah budaya hajatan dan pawai Sedekah Bumi yang masih kental di masyarakat desa.
Bisa jadi dentuman sound horeg adalah ekspresi kolektif masyarakat yang lelah, masyarakat yang tertekan, atau masyarakat yang ingin didengar, mungkin sound horeg menjadi pelampiasan teriakan yang tenggelam dalam dentuman bass yang bergetar supaya tetap waras di tengah kegilaan dan negara yang tidak benar-benar ‘hadir’ untuk rakyatnya.
Dalam konteks resistensi budaya, fenomena sound horeg merefleksikan bentuk perlawanan tidak langsung terhadap struktur sosial-ekonomi yang tidak memberikan ruang memadai bagi kelompok marginal untuk berkembang.
Sound horeg bukan sekadar hiburan atau bisnis, tetapi telah berkembang menjadi ruang ekspresi bagi masyarakat akar rumput. Hentakan bass yang menggelegar adalah metafora dari suara rakyat yang mencari pengakuan eksistensi ekonomi dan budaya mereka.
Ketika jalur-jalur formal untuk berpartisipasi dalam ekonomi semakin terbatas, bisa sound horeg hadir sebagai ruang alternatif yang tidak hanya memberikan penghasilan, tetapi juga memungkinkan mereka untuk “bersuara” dalam arti yang paling literal.
Resistensi ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak sepenuhnya pasif menghadapi tekanan ekonomi, melainkan secara kreatif menciptakan ruang-ruang baru untuk bertahan hidup untuk menjaga agar tetap waras lahir batin.

