Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang tak kau ketahui dengan pasti. (Pramoedya Ananta Toer).

Kasus publikasi “cerpen LGBT” yang dirilis pers mahasiswa Suara USU, Universitas Sumatra Utara menimbulkan pro kontra. Setelah kampus sempat memblokir laman suarausu.co, rektorat juga memecat semua pengurus pers kampus tersebut. Pemimpin Umum Suara USU Yael Stefani Sinaga mengatakan, dirinya dan enam belas anggota redaksi Suara USU dipanggil rektorat, Senin (25/3/2019). Keputusan rektor hari itu adalah memberhentikan seluruh kepengurusan Suara USU dan memecatnya sebagai anggota pers mahasiswa.

“17 orang ini mencoreng nama USU. Oleh karena itu secepatnya kami pecat. kami bentuk panitia, dan merekrut anggota baru. Awalnya mau saya bubarkan, tapi saya berpikir dan sadar Suara USU memiliki banyak alumni yang bagus,” kata Runtung Sitepu, Rektor USU. (tirto.id).

Saya telah membaca cerpen Suara USU yang dipermasalahkan Rektor USU yang berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”, bagi saya cerpen itu masih dalam batas kepantasan, tidak mengandung pornografi. Alangkah memprihatinkan sikap rektor seperti itu, yang menyelesaikan ketidaksetujuan terhadap konten persma dengan cara memecat.

Sebuah paradoks ketika “pembredelan” dilakukan oleh lembaga akademis. Harusnya mereka tahu, dunia sastra itu luas, bahkan dalam karya sastra lain ada kata-kata yang lebih vulgar dibanding dengan isi cerpen tersebut.

Lagipula si penulis Yael Stefani Sinaga, dia tidak bermaksud mempublikasikan cerpen “jorok” atau ingin mencoreng nama baik kampus. Ia hanya menyuarakan pendapatnya. Ia ingin membuat sadar para pembaca bahwa diskriminasi sudah begitu akrab dengan kita, membuat kita lupa dengan rasa kemanusiaan dan toleransi. Saya teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer: kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar keserjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra kalian tinggal hanya hewan yang pandai.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang menganggap bahwa kebijakan yang diambil Runtung selaku rektor USU, tidak mencerminkan kebebasan mimbar akademik. Menurut PPMI, rektor harusnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi di kampus. Hal serupa juga diutarakan oleh Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) Faisal Bachri, “Padahal tulisan yang demikian seharusnya dianggap wajar karena merupakan perwujudan keresahan penulis melihat diskriminasi minoritas seksual.” (tirto.id).

Sementara itu Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan mengatakan, “Cerpen itu tidak vulgar, tudingan bahwa cerpen itu berbau pornografi sangatlah berlebihan, sama saja cerpen itu disandingkan dengan karya Enny Arrow. Lembaga akademis harusnya memberikan toleransi yang lebih besar”. (tirto.id)
Ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Jalan Universitas, kampus USU (pintu 1), Kamis (28/3/2019). Mereka menamai dirinya sebagai Solidaritas Mahasiswa Bersuara (Somber). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk proses terhadap keputusan rektor yang membubarkan para pengurus Pers Mahasiswa Suara USU. (jawapos.com)
Menurut hemat saya, pembungkaman terhadap hak untuk berekspresi adalah wujud dari pelecehan terhadap demokrasi. Tindakan Rektor USU yang memecat 17 anggota redaksi Suara USU karena menerbitkan “cerpen LGBT” mencerminkan bahwa birokrasi lembaga pendidikan di negeri ini masih alergi dengan keberagaman.

 

Komentar